FILSAFAT
DAN ILMU PENGETAHUAN
Antara filasafat dan ilmu pengetahuan, di
samping adanya kesamaan-kesamaan, terdapat pula perbedaan-perbedaan yang
prinsipil. Hal ini menurut adanya sistim berpikir yang berbeda.
Baik ilmu pengetahuan maupun filsafat tertarik
pada pengetahuan, yang merupakan materi-materi atau perbendaharaan milik
manusia sebagai hasil dari usahanya untuk mengetahui. Kedua-duanya adalah
lapangan yang mengadakan pemerikasaan dan penemuan. Berarti bahwa untuk
semuanya di perlukan aturan-aturan tertentu yang mengikat.
Adapun perbedaan utama yang terdapat antara
filsafat dan ilmu pengetahuan pada jenis dan macam pengetahuan yang di cari.
Dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat “yang di
terima saja”, filasafat berusaha memperlihatkan pandangan yang merupakan akar
dari lain-lain pandangan dan sikap yang praktis. Oleh karenanya bersifat
radikal, filasafat tidak mengarahkan pandangan-pandangannya kepada sebab-sebab
terdekat, melainkan kepada mengapanya yang terakhir sepanjang kemampuan yang
ada yang dapat di capai oleh akal budi manusia.
Fakta, dalam filasafat, adalah suatu hasil
tinjaun dan penelitian yang merupakam hasil interpretasi atau penafsiran dalam
konteks dengan lingkungan-lingkungan yang lebih luas. Makna dari pengetahuan
tentang atom, baru mulai tampak bila di hubungkan dengan peradaban. Misalnya
seorang ahli atom berusaha menemukan fakta, menciptakan tehnik-tehnik yang di
perlukan dan menyusun instrumen-instrumen yang di perlukan. Semuanya ini di
lakukan demi pengetahuan tentang atom itu dan dapat makin luas dan mendalam.
Akan tetapi mungkin sekali ahli atom itu kurang atau tidak memperhatikan apa
yang di perbuat manusia, atau malahan apa yang seharusnya di lakukan. Hal ini
menjadi tugas dari filsafat, karena menyangkut nilai, yang berarti filsafat
akan menetukan apa yang paling baik yang harus menjadi pegangan manusia.
Jelaslah bahwa apabila ilmu pengetahuan
menjurus kepada sasaran yang sempit dan tinjauan yang mendalam, filsafat
menjurus kepada sasaran yang sempit dan tinjauan yang mendalam, filsafat
menjurus pada sasaran yang luas, menyeluruh, total dan komprehensif.
FILSAFAT
DAN ILMU PENDIDIKAN
Orang
pada zaman sekarang ini telah menyakini tentang eksistensi pendidikan dari yang
sifatnya umum sampai kepada yang khusus. Keyakinan itu di perkuat dengan
berkembangnya metode dan cara analisa yang dapat di percaya untuk menghasilkan
data yang di percaya pula. Dengan bahasa ilmia lazim di katakan “Apa yang ada
itu dapat di hayati karena dapat di ukur”.
Prisip dasar yang di kemukakan oleh
Thorndike ini menjadi salah satu motor pengerak pembangunan ilmu pendidikan,
yang pada waktu ini dapat di hayati dengan pengungkapan data kuantitatif yang merupakan salah satu dari kekayaannya.
Tugas ilmu menjadi nampak hasilnya bila telah sampai pada terjangkaunya
hasil-hasil penelitian yang pengujian hipotesa, laporan serta rekomendasinya.
Di samping pertanyaan-pertanyaan yang
sifatnya kuantitatif seperti tersebut di atas, ada yang lain-lain yang
memerlukan jawaban yang dapat menunjukan hakiki dan kearah mana pendidikan itu
di bawah. Misalnya : Untuk apakah sebenarnya sekolah itu di dirikan ? Anak
didik itu ada sebagai ia berada, sedangkan masyarakat dan negara menginginkan
anak didik terbina sesuai idiologi yang telah digariskan. Maka timbul
pernyataan apah yang seharusnya pendidik lakukan untuk memimpin anak didik itu
untuk mewujudkan tujuan di atas.
Jawab mengenai pertanyaan pertama
harus berkisar pada konsep atau landasan pikiran bahwa pendidikan memerlukan
suatu lembaga di luar keluarga, yang mempunyai peranan bagi terbinanya
masyarakat yang ideal.
Sedangkan untuk pertanyaan kedua di
perlukan jawaban yang berupa konsep-konsep tentang isi dan proses yang
mempertemuakn potensi anak didik dan gambaran manusia ideal menurut masyarakat
dan negara itu.
Dua jenis pertanyaan menganai
pendidkan di atas bersifat filosofis dan memerlukan jawapan filosofis pula.
Maka dari itu di maksudkan ke dalam bidang filsafat pendidikan.
FILSAFAT
PENDIDIKAN
Di atas telah di rumuskan bahwa
filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Oleh karena bersifat filosofis
dengan sendirinya filsafat pendidikan ini pada hakekatnya adalah penerapan
suatau analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan.
Hubungan antara filsafat dan ilmu
pendidikan tidak hanya ke-Insidetal, melainkan suatu keharusan. John Dewey,
seorang filsuf Amerika, mengatakan bahwa filsafat itu adalah teori umum dari
pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan. Lebih dari itu,
memang filsafat mengejukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor
realita dan pengalaman yang banyak terdapat dalam lapangan pendidikan.
Oleh karena filsafat mengadakan
tinjauan yang luas mengenai realita, maka di kupaslah antara lain pandangan
dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep mengenai ini dapat menjadi landasan
penyusunan konsep tujuan dan metodologi
pendidikan. Di samping itu, pengalaman pendidik dalam menuntun pertumbuhan dan perkembangan anak akan
berhubungan dan berkenalan dengan realita. Semuanya ini dapat di sampaikan
kepada filsafat untuk dijadikan bahan-bahan pertimbngan dan tinjauan untuk
memperkembangkan diri.
Sebagai contoh, dapat dikemukakan
bahwa filsafat mengadakan soal aku dan tujuan, yang perlu menjadi perhatian
pendidikan sebelum ia terjun-aktif-dalam prosesnya. Bahwa pandangan filsafat
karena akunya manusia (individu) adalah sesuatu yang lain dari pada yang lain,
dapat menjadi landasan pandangan mengenai hakekat anak didik. Berarti pandangan
mengenai kesungguhan (forma substansialis) mengenai manusia ini dapat menjelma
menjadi pandangan pendidik mengenai anak didik. Beberapa misal
diutarakan di bawah ini.
Bila pendidik memandang forma
substansial manusia bersifat biologis, dapat mempunyai visi pendidikan yang
naturalistis. Pendidik dalam lingkungan ini adalah Jean Jacques Rousseau, yang
menuliskan pandangan-pandangannya dalam bukunya yang berjudul Emile. Dalam buku
ini dituliskan bahwa latihan indera adalah praktek pendidikan yang amat penting
artinya.
Lain halnya bila anak didik dipandang
sebagai makhluk spritual. Landasan untuk menentukan ide dan tujuan pendidikan
adalah pandangan keabadian dan ke-Tuhan-an. Anak didik dipandang mempunyai
kepribadian-bukan sebagai entitet mekanistes belaka.
Filsafat pendidikan telah sewajarnya
dipelajari oleh mereka yang memperdalam ilmu pendidikan dan keguruan. Ada
beberapa alasan untuk ini :
(a). Adanya
problema-problema pendidikan yang timbul dari zaman ke zaman yang menjadi
perhatian ahlinya masing-masing. Pendidikan adalah usaha manusia untuk
meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin bangasa dan masyarakat. Banyak
tulisan yang dihasilkan oleh ahli fikir, dan tidak jarang gagasan ahli yang
satu mempengaruhi ahli-ahli yang lain. Corak gagasan yang berlandaskan filsafat
sering timbul dari ahli-ahli fikir. Hal ini masuk dalam lapangan filsafat
pendidikan.
(b). Dapatlah diperkirakan bahwa barang siapa yang
mempelajari filsafat pendidikan dapat mempunyai pandangan-pandangan yang
jangkauannya melampaui hal-hal yang diketemukan secara eksperimental atau
empirik. Maka dari itu filsafat pendidikan dapat diharapkan merupakan bekal
untuk meninjau pendidikan beserta masalah-masalahnya secara kritis.
(c) Dapat
terpenuhi tuntutan intelektual dan akademik. Dengan landasan azas bahwa
berfilsafat adalah berpikir logis yang runtut-teratur dan kritis, maka
berfilsafat pendidikan berarti memiliki kemampuan semacam itu. Oleh karena itu
diharapkan dapat mempunyai pengaruh terbentuknya pribadi pendidik yang baik. Maka,
mempelajari filsafat pendidikan itu mengandung optimisme dan menggembirakan .
SISTEM-SISTEM
FILSAFAT
Filsafat,
sebagai ilmu yang mengadakan tinjauan dan mempelajari obyeknya dari sudut
hakekat ini, berhadapan dengan beberapa problema utama. Ini meliputi :
a)
Realita,
ialah mengenai kenyataan, yang selanjutnya menjurus kepada masalah kebenaran.
Kebenaran akan timbul bila orang telah dapat menarik kesimpulan bahwa
pengetahuan yang dimiliki ini telah nyata. Realita atau kenyataan ini
dipelajari oleh metafisika.
b)
Pengetahuan,
yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara
manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan itu, dan jenis-jenis pengetahuan.
Pengetahuan dipelajari oleh epistemologi.
c)
Nilai, yang
dipelajari oleh cabang filsafat yang disebut aksiologi. Pertanyaan-pertanyaan
yang dicari jawabnya antara lain adalah seperti: nilai-nilai yang bagaimanakah
yang dikehendaki oleh manusia dan yang dapat digunakan sebagai dasar hidupnya.
Di samping adanya tiga problem utama,
ada promlem yang masuk ke dalam ruang lingkup pengetahuan (b). Ini menyangkut
masalah hubungan yang benar dan tepat antar gagasan-gagasan yang telah dimiliki
oleh manusia. Cabang filsafat yang mempelajari lapangan ini adalah logika
(Ajaran berpikir).
John S. Brubacher, gurubesar filsafat
di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa filsafat dan pendidikan itu mempunyai
hubungan yang erat satu sama lain karena problema-problema tersebut berada
dalam lingkungan dua disiplin ini. Pendidikan, dalam pengembangan konsep-konsepnya
dapat antara lain, mengunakan sebagai dasar hasil-hasil yang dicapai
olehcabang-cabang di atas.
Dalam menyelenggarakan pendidikan
diperlukan pendirian mengenai pandangan dunia yang bagaimana yang diperlukan
oleh kita ini. Hal ini termasuk di dalam lingkungan metafisika.
Epistemologi diperlukan antara lain
dalam hubungan dengan penyusunan dasar-dasr kurikulum. Kurikulum yang lazim
diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, dapat diumpamakan
sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh siswa atau murid dalam usahanya
untuk mengenal dan memahami pengetahuan. Agar mereka berhasil dalam mencapai
tujuan ini perlu mengenal hakekat pengetahuan, sedikit demi sedikit.
Aksiologi sebagai cabang yang filsafat
yang mempelajari nilai-nilai dekat pula dengan ilmupendidikan, karena dunia
nilai menjadi dasar pendidikan pula dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam
menentukan tujuan-tujuan pendidikan. Perumusan mengenai tujuan yang tanpa
memperhatikan prinsip-prinsip dari dunia nilai adalah hampa. Di samping itu
pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan tidak
dapat lepas dari sistem nilai.
Logika sebagai cabang filsafat yang
meletakkan landasan mengenai ajaran berpikir diperlukan oleh pendidikan
kecerdasan. Pendidikan kecerdasan menghendaki seseorang mampu mengutarakan
pendapat dengan benar dantepat. Untuk ini ia memerlukan penguasaan logika
dengan baik.
Di samping adanya beberapa problema
dengan adanya cabang-cabang filsafat yang mempelajari masing-masing itu, ada
pula aliran-aliran filsafat yang juga mempunyai visi tertentu terhadap
masalah-masalah di atas. Dapatlah diidentifikasikan dalam hubungan ini;
aliran-aliran naturalisme, idealisme, realisme, dan pragmatisme.
Masing-masing aliran ini mempunyai
sumbangan tertentu terhadap pendidikan. Khusus mengenai ini akan dibicarakan
dalam lingkup sistem-sistem filsafat pendidikan. Sebagai pengantar sebelum
sampai kepada bagian tersebut akan dibicarakan lebih dahulu empat aliran itu
pada garis besarnya
NATURALISME,
IDEALISME, REALISME DAN PRAGMATISME.
Pembicaraan berturut-turut tentang
naturalisme, idealisme, realisme dan pragmatisme ini berdasarkan perkembangan
menurut sejarah filsafat. Berarti naturalisme adalah aliran yang tertua
sedangkan pragmatisme yang paling muda. Di samping itu perlu kiranya dicatat
bahwa di sela-sela aliran-aliran pokok itu terdapat aliran-aliran lain yang
lebih sempit.
Tinjauan mengenai masing-masing di bawah ini terutama akan mengenai
kenyataan. Oleh karena kenyataan adalah masalah utama maka tinjauan tentang ini
dapat dianggap memberikan gambaran mengenai ciri pokok yang dimiliki oleh empat
aliran tersebut.
Naturalisme mempunyai pandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam-semesta-fisik ini. Hal ini
berarti bahwa yang dimaksud adalah bukan kenyataan spritual atau supernatural
maka, menurut naturalisme, jiwa itu dapat menurun kedudukannya menjadi dan
mempunyai hakikat sebagai unsur-unsur materi. Maka, naturalisme dapat menjadi
materialisme.
Filsafat naturalisme adalah filsafat dunia ini, karena memandang sesuatu
ini berasal dari alam, dan tiada sesuatupun yang ada ini terdapat di baliknya.
Atas dasr prinsip ini naturalisme modern cenderung untuk menjadi pluralisme;
suatu faham yang berpendirian, bahwa kenyataan itu dapat terdiri dari banyak
tipe benda-benda alamiah.
Idealisme mempunyai pendirian bahwa kenyataan itu terdiri dari atau
tersusun atas substansi sebagaimana-gagasan-gagasan (ide-ide) atau sspirit.
Alam fisik ini tergantung dari Jiwa Universal atau Tuhan, yang berarti pula
bahwa alam adlah ekspresi dan Jiwa tersebut.
Jiwa mempunyai tempat utama dalam susunan alam semesta ini karenanya
dinia yang sebenarnya adalah berbeda dengan apa yang nampak oleh indera di
hadapan manusia. Lain dari pada itu dunia beserta bagian-bagiannya harus
dipandang sebagai mempunyai hubungan satu sama lain, Sehingga keseluruhannya
merupakan suatu sistem. Dunia adalah suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis
dan bersifat spritual.
Realisme adalah filsafat yang timbul pada zaman modern dan sering disebut
‘’anak’’ dari naturalisme. Dengan berpandangan bahwa obyek atau dunia luar itu
adalah nyata pada sendirinya, relisme memandang pula bahwa kenyataan itu
berbeda dengan jiwa yang mengetahui obyek atau dunia luar tersebut. Kenyataan
ini tidak sepenuhnya bergantung dari jiwa yang mengetahui, tetapi
merupakanhasil pertemuan dengan obyeknya.
Orang dapat memiliki pengetahuan yang kurang tepat mengenai benda atau
sesutu hal yang sesungguhnya, tetapi sebaliknya dapat memiliki gambaran yang
tepat mengenai apa yang nampak. Maka dari itu pengamatan, penelitian dan
penarikan kesimpulan mengenai hasil-hasilnya perlu agar dapat diperoleh
gambaran yang tepat secara langsung dan tidak langsung mengenai sesuatu.
Pragmatisme meletakan pemakaian mengenai sesuatu di atas pengetahuan itu
sendiri. Maka dari itu utilitas (kegunaan) beserta kemampuan perwujudan nyata
adalah hal-hal yang mempunyai kedudukan utama di sekitar pengetahuan mengenai
sesuatu itu.
Pragmatisme, karenanya, memandang realita sebagai suatu proses dalam
waktu, yang berarti orang yang mengetahuimempunyai peranan untuk menciptakan
atau mengembangkan hal-hal yang diketahui. Ini berarti bahwa tindakan yang
dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan tersebut dapat menjadi unsur
penentu untuk mengembangkan pengetahuan itu pula.
Filsafat berusaha untuk mengadakan penyelidikan mengenai hakekat dari
segala sesuatu. Hal ini berarti filsafat berusaha mempelajari mana yang paling
utama dari segala sesuatu itu. Di samping itu sepanjang zaman, filsafat menjadi
sarana utama manusia untuk mengatur diri sendiri, menyesuaikan dan mengikuti
perkembangan dan tuntutan keadaan. Oleh karena itu manusia dapat mengenal
dirinya sendiri untuk menegakkan eksistensinya di dalam suatu lingkungan
kebudayaan.
KEBUDAYAAN
DAN PENDIDIKAN
Pendidikan, sebagai usaha manusia yang disengaja untuk memimpin angkatan
muda untuk mencapai kedewasan dan meningkatkan taraf kesejahteraanya, berada
dalam suatu lingkungan kebudayaan dan karenanya tidak dapat terlepas dari
persoalan eksistensi tersebut di atas. Maka, untukmengetahui bagaimanakah
sesungguhnya pendidikan itu berarti orang perlu melewati dan mendasarkan diri
atas tinjauan filosofis.
Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai bentuk dan
manifestasinya, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak
beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka dariitu pendidikan, sebagai
usaha manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan, dapat diperkirakan
mempunyai sifat-sifat yang sejiwa dengan kebudayaan tersebut.
Corak-corak baru dari kebudayaan dan peradaban manusia, yang telah
mendasari dan menjiwai sejarah manusia selama ini mengantarkan manusia ke zaman
modern dan ultra modern. Untuk zaman-zaman ini pendorong utamanya adalah
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dua lapangan ini, karena sifatnya
yang selalu dianggap sebagai unsur-unsur potensial yang menimbulkan “revolusi”
dalam peradaban manusia, dengansendirinya dapatr dipandang potensial pula dalam
pendidikan.
KONSEP
FILOSOFIS MENGENAI PENDIDIKAN.
Perkembangan dan perubahan dalam lapangan pendidikan menimbulkan
tantangan agar para pendidik mempunyai sikap tertentu yang telah bersendikan
atas pendirian tertentu pula. Untuk ini, yang lazim dianut, menurut Theodore
Brameld, adalah kemungkinan-kemungkinan sikap seperti konservatif, bebas dan
modifikasi, regresif, atau radikal rekonstruktif.
Beberapa sikap di atas dalam penjabarannya mengenai pendidikan dapat
dirumuskan berikut :
a).
Menghendaki pendidikan yang pada hakekatnya progresif. Tujuan pendidikan
hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus.
Pendidikan hendaklah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak
didik untuk diterima saja, melainkan yang lebih penting dari pada itu adalah
melatih kemampuan berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli. Yang dimaksud
dengan berpikir adalah penerapan cara-cara ilmiah seperti mengadakan analisa,
mengadakan pertimbangan, dan memilih diantara beberapa alternatif yang
tersedia.
Semuanya ini diperlukan oleh pendidikan agar orang yang melaksanakan
dapat maju atau mengalami suatu progres. Dengan demikian orang akan dapat
berbuat sesuatu dengan intelegen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali
sesuai dengan tuntutan dari lingkungan.
Aliran
ini disebut progrevisme.
b). Menghendaki pendidikan yang bersendikan atas
nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai
ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan telah teruji
oleh waktu.
Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang
ada di dalam “gudang” di luar ke jiwa anak didik. Ini berarti bahwa anak didik
itu perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi yang tinggi.
Aliran
ini disebut esensialisme.
c). Yang menghendaki agar pendidikan kembali kepada
jiwa yang menguasai Abad Pertengahan, karena jiwa abad pertengahan telah
merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata
kehidupan yang telah ditentukan secara rasional. Abad Pertengahan dengan
jiwanya itu telah dapat menemukan adanya prinsip-prinsip pertama yang mempunyai
peranan sebagai dasar pegangan intelektual manusia dan yang dapat menjadi
sarana untuk menemukan evidensi—evidensi diri sendiri.
Aliran
ini disebut perenialisme.
d). Yang menghendaki agar anak didik dapat
dibangkitkan kemampuannya untuk secara konsntruktif menyesuaikan diri dengan
tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh
dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan penyesuain seperti ini anak didik
akan tetap berada dalam suasana aman dan bebas.
Aliran
ini disebut rekonstruksianisme.
Theodore Brameld mengutarakn bahwa
visi-visi filosofis tersebut di atas tidak sepenuhnya utuh atau kompak, karena
komponen-komponen yang membentuknya tidak sepenuhnya bersendikan pada satu corak.
Namun, di samping itu satu sama lain mempunyai kesamaan pandangan sementara
segi kefilsafatan, pendidikan dan kebudayaan, terutama antara esensialisme dan perenialisme serta
progresivisme dan rekonstruksianisme. Selain itu Brameld juga mengemukakan
bahwa keempat aliranitu ada sebagai hasil dari usaha untuk menyusun dan
menafsirkan teori-teori pendidikan utama, yang berarti semuanya adalah konsep.
Konsep ini diharapkan menjadi landasan intelektual untuk menyusun, mengadakan
analisa dan mencari saling hubungan antar unsur-unsur dari berbagai jenis
pengalaman pendidikan dan kebudayaan.
Dalam uraian-uraian berikutnya akan
dipaparkan tiap-tiap aliran. Mula-mula secara umum, iaitu mengenai ciri-ciri
utama disusul secara khusus : mengenai beberapa aspek pendidikan. Termasuk ke
dalam ciri-ciri utama ini adalah pandangan mengenai realita, pengetahuan dan
nilai dari tiap-tiap konsep, sedangkan pada bagian yang khusus akan dibicarakan
masalah-masalahbelajar dan kurikulum.
Oleh karena bagian umum tersebut memuat
problema-problema dari filsafat (pada umumnya), maka dalam hubungannya dengan
masing-masing konsep di atas (progresivisme, ensensialisme, perenialisme dan
rekonstruksianisme), maka tinjauan bagian umum itu penulis harapkan telah dapat
merupakan konsep sebagai pembawaan dari filsafat-filsafat pendungkungnya. Jadi
bila di antara konsep tersebut ada dilandasi oleh lebih dari satu aliran
filsafat, maka metafisika, espistemologi dan aksiologi tersebut merupakan
konsep-konsep pembentuk suatu keutuhan.
Bagian yang khusus, ialah yang
mengenai pendidikan, diharapkan telah terambilkan aspek-aspek pendidikan yang
berlangsung di dalam maupun di luar kelas. Konsep mengenai belajar (secara umum
ini) dan konsep mngenai kurikulum diharapkan oleh menulis mempunyai peranan
sebagai misal variabel pendidikan yang dapat digunakan untuk menjangkau
masalah-masalah yang bersifat praktis.
PROGRESIVISME
CIRI-CIRI
UTAMA
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh
penegtahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wahar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat
menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. Berhubung dengan itu
progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik
baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan
mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang
menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemapuan-kemampuan tersebut
dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak
manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti
perhatian progresivisme, maka beberapa ilmu pengatahuan yang mampu menumbuhkan
kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagia-bagian utama dari
kebudayaan. Kelompok ini meliputi: Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi dan Ilmu
Alam.
Ilmu-ilmu ini dipandang telah mengembangkan hal-hal yang
hakiki bagi kemajuan kebudayaan pada umumnya, dan bagi pragmatisme pada
khususnya. Ilmu hayat menunjukan bahwa manusia adalah makhluk yang berjuang
untuk mempertahankan kehidupan dengan mengatasi rintangan-rintangan yang
dihadapi dan melewati jalan yang terbuka baginya. Antropologi menunjukkan bahwa
manusia telah mempunyai sejarah yang lama, pencipta kebudayaaan, yang karenanya
dapat mencari dan menemuakn jalan yang perlu baginya. Dari psikologi dapat
dipelajari bahwa manusia adalah makhluk berpikir yang mempunyai faham mengenai
diri sendiri, lingkungannya dan pengalam-pengalamannya. Sedangakn limu alam dan
ilmuilmu lain yang sejenis menunjukkan bahwa dengan penguasaan ilmu-ilmu
tersebut manusia mampu mengetahui sifat-sifat alam, menguasai dan mengatur
sebagain dari padanya.
Jelaslah, bahwa selain kemajuan atau progres, lingkunagndan pengalaman mendapatkan
perhatian yang cukup dari progresivisme. Sehubungan dengan ini, menurut
progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita itu tidaklah cukup hanya
diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari arti bagi
suatu kemajuan atau maksud-maksud baik yang lain. Di samping itu manusia harus
dapat mengfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan
dan yang silih berganti ini.
PANDANGAN
MENGENAI REALITA
John Dewey, dalam bukunya yang berjudul creatife
intelligence, mengatakan bahwa,
“…..Sifat utama dari pragmatisme mengenai realita,
sebenarnya dapat dikatakan dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum.”
Diantara kaum pragmatis (Jadi
progresivis) John Dewey mempunyai pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh
lain seperti George Santayana, John Childs tidaklah demikian. Mereka mengatakan
bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai berbagai konsep tentang
eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi, alam bukanlah diartikan sebagai
pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau dipandang dari sudut prosesnya…
Pragmatisme tidak menggunakan istilah alam semesta,
melainkan dunia. Yang dimaksud dengan dunia adalah proses atau tata di mana
manusia hidup di dalamnya. Istilah dunia ini dapat dianggap sinonim dengan
kosmos, realita dan alam.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme
mengandung pengertian dan kualitas evoluasionistis yanf kuat. Untuk ini, pengalaman,
diartikan sebagai ciri dari dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan,
tindakan dan perbuatan. Berarti pengalaman adalah perjuangan pula.
Dalam pengisian pengalaman ini manusia mempunyai peranan
jauh di atas makhluk-makhluk yang lain, karena ia mempunyai kecerdasan,
ingatan, kemampuan membuat penggambaran tentang masa depan,danlain-lainnya.
Selain itu, semuanya inimemberikan kemungkinan ia dapat berhubungan dengan
orang lain dan lingkungan lain yang lebih luas, dalam mengalirnay pengalaman ia
memberi isi dan kemungkinan untuk berbuat. Berarti bahwa jiwa adalah sumber
sebab dan pendorong yang amat penting bagi adanya perbuatan. Sedangkan yang
ada, adalah yang berbuat.
PANDANGAN
MENGENAI PENGETAHUAN
Tinjauan
mengenai realitadi atas memberikan petunjuk bahwa pragmatisme lebih
mengutamakan pembahasan mengenai epistemologi daripada metafisika. Misal yang
jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman ___ yang keduanya
tidak dapat dipisahkan satu sama lain__ agar dapat dimengerti arti dari masing-masing
itu. Maka dapatlah disimpulkan lebih lanjut bahwa pragmetisme itu sebenarnya
adalah teori pengetahuan.
Untuk mengetahui teori pengetahuan yang dimaksud,
diperlukan tinjauan mengenai arti dan istilah-istilah seperti induktif,
rasional dan empirik. Induktif adalah usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan
mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti oleh penarikan kesimpulan
yang bersifat umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya adanya pengetahuan yang
diperoleh yang berlandaskan ketentuan umum yang berupa dalil atau pangkal duga.
Pragmatisme mengutamakan secara induktif.
Rasional berasal dari kata rasioyang berakal atau budi.
Dalam epistemologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal itu adalah
instruman utama bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Empirik adalah sifat
pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi manusia
untuk memahami lingkungan.
Pragmatisme tidak menyetujui adanya semua bentuk
generalisasi baik yang a priori atau yang a posteriori. Pengalaman sebagi suatu
unsur utama dalam epistimologi adalah semata-mata bersifat khusus dan
partikular.
Sifat rasional dan pragmatisme terletak pada pemberian isi
dan pengertian-pengertian mengenai suatu proses adanya pengalaman menjadi
pengetahuan. Fakta yang masih murni saja (yang belim diolah atau disusun) belum
merupakan pengetahuan. Untuk ini masih diperlukan adanya penentuan pola-pola,
cara pengaturan, dan pengorganisasian tertentu dari “bahan-bahn mentah”
tersebut.
Pragmatisme tidaklah empirik dalam arti yang tradisional.
Indera tidaklah dianggap sebagai pintu gerbang pengetahuan dan persepsi indera
adalah suatu entited yang pasif pada waktu jiwa menerima kesan-kesan indera
yang berasal dari dunia luar (manusia). Lain dari pada itu pengetahuan bukanlah
kompilasi unsur-unsur atau fakta yang ditangkap dari indera.
Oleh karena pragmatisme mengetahui adanya pengetahuan atau
fakta yang ditangkap oleh pengalaman (indera), Pragmatisme bersifat empirik.
Dan seperti diutaraka dimuka mengenai epistemologi ini, pragmatisme juga
bersifat rasional.
Progresivisme mengadakan perbedaan antara pengetahuan dan
kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan
yang terhimpun dari pengalaman, yang siap untu digunakan. Kebenaran adalah
hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa
segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada
situasi tertentu, yang mungkin keadannya kacau.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang
mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah yang dapat mempertahankan adanya
hubungan antara manusia dengan lingkungan, baik yang berujud sebagai lingkungan
fisik, maupun kebudayaan atau manusia.
PANDANGAN
MENGENAI NILAI
Nilai tidak timbul dengan sendirinya, tetapi ada
faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai
bahasa, maka dengan demikian menjadi mungkin adanya saling hubungan seperti
yang ada dalam masyarakat pergaulan. Jadi, masyarakat menjadi wadah timbulnya
nilai-nilai. Di samping itu penggunaan bahasa sebagai salah satu sarana
ekspresi tentulahmendapat pengaruh yang berasal dari dorongan, kehendak perasan
dan kecerdasan dari masing-masing orang itu.
Oleh karena adanya faktor-faktor yang menentukan adanya
nilai, mak makna nilai itu tidakkalh eksklususif. Ini berarti bahwa berbagai
jenis nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada
apabila menunjukkan adnya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia
dalam pergaulan.
Berdasarkan pandangan di atas, progresivisme tidak
mengadakan pembedaan tegas antara nilai intrinsik dan nilai instrumental. Dua
jenis nilai saling bergantung satu sama lain seperti halnya pengetahuan dan dan
kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu bernilai baik tidaklah
semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan
dihayati oleh manusia dengan lebih nyata
bila dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional; bahwa
kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Nilai mempunyai kualitas sosial. Misalnya, arti kesehatan
akan makin dapat dipahami bila orang berhubungan dan dapat menikmati faedah
kesehatan dengan orang lain. Ilmu kesehatan mempunyai kualitas sosial pula.
Kualitas sosial dari nilai menjadi jelas hakekatnya bila
dihubungakan dengan tinjauan tentang aku. Bahwa orang akan sadar mengenal
dirinya bila orang secara sadar berada
aktif di tengah-tengah orang lain. Agar
oarang dapat memiliki aku yang baik dia harus aktif dalam lingkungan
(masyarakat) aku. Ia makin menjadi sadar akan akunya karena makin mengerti akan
diri sendiri dan pribadi-pribadi (orang lain). Karena adnya keharusan
berhubungan dengan orang lain, maka nilai-nilai yang harus dimiliki oleh
seseorang tidak lagi harus bersifat instrinsik, melainkan juga bersifat
instrumental.
Di samping nilai itu mempunyai sifat sosial, juga bersifat
individual. Landasn pandangan ini adalah, bahwa masyarakat dapar ada karena
adanya orang-seorang sebagai anggota. Sedangkan nilai-nilai seperti bik dan
buruk misalnya, merupakan bagian dari tradisi, mores, dan lain sebagai; yang
pendukungnya adalah individu-individu.
Hubungan timbal-balik antara dua sifat nilai instrinsik
dan instrumental ini-menyebabkan adanya sifat perkembangan dan perubahan nilai.
Nilai-nilai yang sudah “tersimpan” sebagai bagian dari kebudayaan itu
ditampilkan sebagai bagian dari pengalaman, sedang individu-individu mampu
untuk mengadakan tinjauanh dan penentuan
mengenai standar sosial tertentu. Karena itu nilai adalah bagian integral
dari pengalaman dan bersifat relatif, temporal, dan dinamis. Maka sifat
perkembangan berdasarkan pada dua hal : untuk diri sendiri dalam arti kebaiakan
intrinsik dan untuk lingkungan yang lebih luas dalam arti kebaiakan
instumental.
ANTESEDENS
Pragmatisme sebagai aliran filsafat
dan pragmatisme sebagai filsafat pendidikan merupakan aliran pikir yang telah
dituliskan oleh John dewey . Sumbangan John Dewey ini dipandang dari kekuatan
intekektual yang dapat menggerakkan perkembangan progresivisme selanjutnya. Ia
dapat memberikan penghargaan dan menunjukkan pentingnya peranan sebagai teori
dan praktek yang berasal dari tokoh-tokoh lain bagi pendidikan, misalnya
William James, Harace Mann, Francis parker, dan Felix Adler.
Selain daripada tokoh tersebut di
atas, yang hidup pada abad ke Dua Puluh ini, gagasan-gagasan yang menjiwai
progresivisme dapat dihayati asalnya, sejak dari Zaman Kuno sekalipun. Plato
membuat konsep pendidikan yang memasukkan “belajar karena berbuat” sebagai
persiapan ketannguhan dalam peperangan. Johann Amos Comenius menghendaki
pengajaran yang cocok, yang sesuai dengan kebutuhan anak; sedangkan jean
Jacques Rousseau percaya akan adnya kekuatan wajar pada manusia. Tokoh-tokoh
lain yang segaris adalah Johann Pestalozzi, Johann Herbart, dan Friedrich
Frobal.
Dalam mendirikan historis dapat
dipelajari bahwa tokoh-tokoh tersebut di atas mengemukakan gagasan-gagasan yang
merintis timbulnya teori dan praktek pendidikan baru. Dan, dengan perpaduan
gagasan dari tokoh-tokoh zaman modern, di beberapa negara, progrevisme didukung
oleh organisasi-organisasi pendidikan. Di Amerika Serikat, Progressive
Educatioan Association mempunyai peranan bertahun-tahun lamanya untuk
menerapkan pendidikan baru di samping yang tradisional. Selain itu associaton for
Cildhood education, the American federation of Teachers, Association for
Development, adalah organisasi-organissi yang mengembangkan metode mengajar
menurut progrevisme.
PANDANGAN
TENTANG BELAJAR
Pandangan Progresivisme mengenai
belajar bertumpu pada pandangan mengenai anak didik sebagai makhluk yang
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan mkhluk-makhluk lain. Di samping itu,
menjadi menipisnya dinding pemisah antara sekaolah dan masyarakat menjadi
landasan pengembangan ide-ide pendidikan progresivisme.
Sebagai makhluk anak-anak didik
mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan bila
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan sifatnya yang kreatif dan
dinamis dan dengan kecerdasannya, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi
dan memecahkanproblema-problema. Sehubungan dengan ini usaha meningkatkan
kecerdasan adalah tugas utama dalam lapangan pendidikan.
Sebagai makhluk, anak didik hendaklah
dipandang tidak hanya berbagai kesatuan jasmani dan rohani saja, melinkan juga
manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam
pengalamannya. Jasmani dan rokhani terutama kecerdasan, perlu difungsikan dalam
arti anak didik berada aktif dalam dan memanfaatkankan sepenuh-sepenuhnya
lingkungannya. Ia perlu mandapat kesempatan yang cukup, untuk dengan bebas dan
sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di
sekitarnya. Hal ini terutama mngenai kejadian-kejadian dalam lapangan
kebudayaan.
Agar sekolah dapat berfungsi wajar
perlu memberi kesempatan seperti yang diharapkan di atas. Maka dari itu gagasan
atau kenyataan yang menunjukan adanya dinding pemisah antara sekolah dan
masyarakat perlu dihapuskan. Sekolah yang baik adalah masyarakat dalam bentuk
kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat,
perlu dilakukan secara teratur seperti halnya dalam lingkungan sekolah.
Hal yang penting sehubungan dengan
uraian di atas, adalah, bahwa anak didik dapat menghayati belajar yang
edukatif, dan bukan yang misedukatif. Yang pertama adalah belajar, yang secara
bijaksana ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang secara konstruktif, yang
nilainya dan syarat-syaratnya ditentukan berdasrkan konsepsi tentang hidup yang
baik kebudayaan sebagaimana yang dikehendaki suatu bangsa atau negara.
Sedangkan yang kedua , adalah belajar yang misedukatif, adalah yang ditentukan
oleh nilai yang kurang mendorong kearah perkembangan yang dinamis, yang
mungkin-mengandung unsur-unsur yang saling berlawanan. Belajar yang misedukatif
tidak bersifat serasi dengan tujuan.
Suasana belajar yang edukatif dapat
di timbulkan baik di dalam maupun di luar sekolah asal berkisar pada asas-asas
tersebut di atas. Dengan demikian maka pendidikan itu tidak lain adalah hidup
itu sendiri.
PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM
Sikap progresivisme, yang memandang
segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang
sejenis, tercermin dalam pandangan mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang
edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur.
Landasan pikiran ini diuraikan serba singkat.
Yang dimaksud dengan pengalaman yang
edukatif adalah pengalaman apa saja yang serasi tujuan menurut prinsip-prinsip
yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh karena tiad standar yang
universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adnya
peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi
pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan
kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan setempat.
Oleh karena sifat kurikulum yang
tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum
yang “berpusat pada pengalaman”. Jenis ini, dilukiskan oleh Theodore Brameld
sebagai kurikulum yang …melepaskan semua garis penyekatmata pelajaran dan
menekankan pada unit-unit.
Dan,
…
ynag dihasilkan dan dibentuk dari pertanyaan-pertanyan dan pengalaman-pengalaman
dari anak didik sendiri dan diarahkan kepada perkembangan kepribadian yang
penuh dengan jalan memberikan penghayatan-penghayatan emosional, motor,
intelektual dan sosial, yang seluas dan sekaya mungkin…
Selain jenis ini, menurut progresivisme,
yang dapat dipandang maju adalah tipe yang disebut “Core Curicculum”, ialah
sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum.
Core curicullum maupun kurikulum yang
bersendikan pengalaman perlu disusun dengan teratur dan terencana. Kualifikasi
sesuai dengan tujuan, tidak mudah terkait pada hal-hal yang insidental dan
tidak penting. Maka, jelaslah bahwa lingkungan dan pengalaman yang diperlukan
dan yang dapat menunjang pendidikan ialah yang dapat diciptakan dan ditujukan ke arah yang telah ditentukan. Kurikulum yang
memenuhi tuntutan ini diantaranya adalah yang disusun atas dasar teori dan
metode proyek , yang telah diciptakan oleh William Heard Kilpatrick.
ESENSIALISME
CIRI-CIRI
UTAMA
Esensialisme mempunyai tinjauan
mengenai kebudayaan dan pendidikan yang berbeda dengan progresivisme. Kalau
progresivisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang
serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, Esensialisme
menganggap bahwa dasr pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan,
Fleksibilitas dalam segala bentuk, dapat menjadi sumber timbulnya pandangan
yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.
Pendidikan yang bersendikan atas
nilai-nilai yang bersifat demikian ini
dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Berhubung dengan itu
pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan
kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih
yang mempunyai tata yang jelas dan yang teruji oleh waktu.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi dalah
yang berasl dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad
belakangan ini; dengan perhitungan zaman Renaisans, Sebagai pangkal timbulnya
pandangan-pandangan esensialistis awal.
Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad kesembilan
belas.
Idealisme dan realisme adalah
aliran-aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Sumbangan yang
diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik. Artinya dua aliran filsafat
ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu.
Berarti, tidak melepaskan sifat-sift utama masing-masing.
ANTESEDENS
Di atas telah dikemukakan bahwa
Reanisans adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep fikir yang disebut
esensialisme. Oleh karena timbul sejak zaman itu, esensialisme adalah konsep
yang meletakakn sebagain dari ciri alam fikir modern.
Sebagaimana halnya sebab-musabab
timbulnya Renaisans, esensialisme
pertama-tama munculdan merupakan reaksi terhadap simbiolisme mutlak dan
dogmatisme Abad Pertengahan. Maka disusunlah konsepsi yang sistematis dan
menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman
modern.
Realisme modern, yang menjadi salah
satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan
dunia fisik; sedangakan idealisme modern sebagai eksponen yang lain,
pandangan-pandangannya bersifat spritual. John Deonald Butler mengutarakan
secara singkat ciri dari masing-masing
ini sebagai berikut.
Alam adalah yang pertama-tama
memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal
berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik, dan
di sanalah terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan
persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Jadi jiwa dapat
diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari
dunia fisik. Ini berarti bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak
dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya
dari subjek atau objek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduanya.
Idealisme modern mempunyai pandangan
bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik
dunia fenomena ini ada Jiwa yang Tidak terbatas iaitu Tuhan, yang merupakan
pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam
lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta
gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah
Tuhan sendiri.
Sebagai reaksi terhadap tututan zaman
yang ditandai oleh suasana hidup yang menjurus kepada keduniaan, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mulai terasa sejak permulaan abad yang ke
15 realisme dan idealisme perlu menyusun pandangan-pandangan yang modern. Untuk
itu perlu di susun kepercayaan yang dapat menjadi penuntun bagi manusia agar
dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan itu. Kepercayaan yang di maksud
di usahakan tahan lama, kaya akan isinya dan mempunyai dasar-dasar yang kuat.
Dasar-dasar yang telah diketemukan,
yang akhirnya dapat dirangkum menjadi konsep filsafat pendidikan esensialisme
ini, tampak manifestasinya dalam sejarah dari zaman Renaisans sampai timbulnya
progresivisme.
Idelaisme modern dengan tokoh-tokoh
utamanya diJerman pada abad ke 17 dan ke 18, mengutarakan dan membahas
pokok-pokok persoalan yang dekat pada manusia, di antaranya terolahnya
kesan-kesan indera oleh akal dan proses penjelmaanya menjadi pengetahuan.
Demikian pula oleh realisma, masalah-masalah tersebut juga menjadi objek
peninjauan seperti terbukti dari gagasan-gagasan dari tokoh-tokohnya di Inggris
sebelum idealisme timbul.
Tinjauan yang bersifat seperti di
atas itu memberikan jalan bagi perkembangan baru dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Kemungkinan-kemungkinan ini timbul karena para tokohnya dapat mengemukakan
pandangan-pandangan yang tidak fantastis. Yang di tinjauan adalah hal-hal yang
dekat dan berada dalam lingkungan manusia itu sendiri. Di bawah ini akan di
uraikan dengan singkat garis besar pandangan utama tokoh-tokoh idealisme dan
realisme.
G.W. Leibniz, ahli ilmu pasti dan
filsafat, menjejakkan kedua belah kakinya di atas bumi dengan menyusun teori
mengenai alam semesta. Ia merumuskan antara lain bahwa semua kejadian dan fakta
itu saling berhubungan dan merupakan sistem yang harmonis. Saling hubungan dan
sistem ini telah ada sebagai pembawaan dari alam semesta itu sendiri.
Teori Leibniz di atas dijelaskan
dengan antara lain mengemukakan pengertian mengenai nomaden. Nomaden adalah
atribut hakiki dari segala sesuatu yang ada, yang bersifat abstrak, yang masih
mungkin terpikirkan oleh manusia.
Tiap nomaden mencerminkan sifat-sifat
alam semesta, sesuai dengan apa yang tercipta oleh Tuhan. Berarti, bahwa
meskipun atribut ini terbatas, mempunyai kemungkinan untuk menuju ke
kesempurnaan dengan caranya sendiri.
Sesuai dengan sifat serba tuju dari alam ini,
tiap nomanden bergerak mengarah ke tujuan yang sesungguhnya, yang tidak
terbatas, yaitu Tuhan. Tuhan adalah sumber dan akhir dari semua rentetan ada.
Teori nomaden ini mengungkapkan bahwa tiada yang vakum dalam alam semesta ini.
Immanuel kant menyelidiki tentang
kemungkinan-kemungkinan pengetahuan yang dihasilkan oleh budi manusia. Tokoh
ini sampai kepada pengakuan bahwa ilmu itu mengandung kebenaran dan budi
manusia dapat mencapai kebenaran tersebut.
Pengetahuan, menurut Kant, dapat
dipaparkan dengan purusan, dan putusan adalah merupakan rangkaian pengertian
subjek dan predikat. Rangkain ini dapat analitik atau sintetik. Yang analitik
adalah putusan yang predikatnya telah tercantum tentu ada subjeknya. Misalnya,
benda itu mempunyai keluasan. Keluasan telah tercantum dengan niscaya pada
pengertian benda dan karena itu benda harus mempunyai keluasan. Putusan yang
sinetik yang predikatnya tidak tercantum niscaya pada subjeknya. Misalnya,
tembok itu baru. Baru sebagai predikat tidak tercantum niscaya pada subyek,
sebab ada tembok yang tidak baru.
Putusan analitik bersifat a priori
karena untuk ini tidak diperlukan pembuktian lebih lanjut melewati pengalaman.
Seperti halnya contoh di atas, bahwa benda mempunyai keluasan, tidak diperlukan
lagi pembuktian bahwa mempunyai ukuran atau tidak. Pada pihak lain putusan
sintetik bersifat a posteriori, karena untuk ini diperlukan pembuktian dalam
pengalaman. Kalau dikatakan air mendidih pada 212 F, orang masih mempunyai
bahwa titik derjat ini mungkin tidak tetap. Maka diperlukan adanya usaha
pengumpulan fakta berdasarkan pengalaman sampai dapat disimpulkan bahwa titik
suhu tersebut merupakan petunjuk titik mendidih.
Kemampuan budimanusia untukmencapai
kebenaran ini menjadi dasr pandangan bahwa tiap-tiap orang sadar bahawa ia
harus memenuhi kewajibannya. Kata hati memberi perintah kepada manusia itu
sendiri : engkau harus. Keharusan ini terletak pada budi manusia, karena itu
bersifat obyektif. Jadi, bila tingkah laku itu berdasarkan atas apa yang harus
diperbuat-yang berlaku bagi seluruh manusia-perbuatan itu susila, dan sejalan
dengan kesadaran akan kewajipan manusia itu sendiri.
Tokoh lain, O.W.F. Hegel, mencari
mutlak dari yang tidak mutlak. Dikatakan bahwa yang mutlak itu adalah jiwa
(Roh). Yang menjelma pada alam, maka sadarlah ia akan dirinya. Roh mempunyai
inti yang disebut idea atau berpikir.
Kemanusiaan itu merupakan bagian dari
idea yang mutlak, yaitu Tuhan. Tuhan sendiri adalah gerak yang menimbulkan
gerak lain. Gerak ini menimbulkan proses yang disebut dialektika, yang berlaku
menurut hukum budi, yang terdiri dari tesis, anti-tesis dan sintesis.
Tokoh berikutnya adalah Arthur
Schopenhauer. Ia mengatakan perenungan dan mengambil kesimpulan hidup ini penuh
dengan kemurungan, yaitu tiada kepuasan atas terujudnya kemauan sepanjang hayat
manusia. Kenyataan ini hanya dapatdikuasai oleh usaha manusia itu sendiri untuk
mencapai kehampaan yang Abadi atau Mutlak.
Sebagai tokoh yang mempunyai aliran
voluntarisme, Scopenhauer berpendapat bahwa voluntas (kehendak) adalah motor
(bagi manusia) untuk mencapai tempat atau kedudukan penting.
Tokoh-tokoh empiris Inggris adalah
pelopor realisme modern. Di bawah ini adalah uraian singkat tentang beberapa
pandanagan tentang kefilsafatan menurut Thomas Hobbes, John Locke, George
Berkeley, David Hume dan Francis Bacon.
Thomas Hobbes menunjukkan dengan
jelas sekali kedudukannya sebagai filsuf empiris. Dikatakan bahwa pengetahuan
yang benar adalah yang dapat dijangkau oleh indera. Jadi pengetahuan tidak
dapat mengatasi (melampaui) penginderaan. Persentuhan dunia luar dengan indera,
jadi bersifat empirik, menjadi pangkal dan sumber pngetahuan.
Di samping faham mengenai pengetahuan
ini, Hobbes terkenal pula dalam lapangan filsafatpolitik. Tokoh ini berusaha
untuk mempertahankan monarkhi mutlak dengan membuktikan bahwa manusia itu
bersifat materialistis dan egoistis. Maka perlu adanya pengetahuan yang kuat
agr manusia dapat melindungi diri sendiri dari kemungkinan adanya “perampokan”
kekuasaan yang bersumber pada nafsu-nafsu jahatnya.
John Locke menunjukan gagasan-gagasan
filsafat politik pula. Ia berusaha membuktikan bahwa karena ide-ide itu timbul
dari persepsi dan refleksi yang dilakuakan oleh manusia itu sendiri, maka tidak
sewajarnyalah jika manusia itu berada di bawah kekuasaan yang lain kecuaki
dirinya sendiri.
Dalam menerangkan usaha manusia untuk
mencapai pengetahuan, John Locke mengemukakan pengertian-pengertian “sensation”
dan “reflection”. “sensatioan” merupakan gejala jiwa yang mempunyai hubungan
dengan dunia luar, tetapi belum sempurna meraih dan mengerti dan sesungguhnya
apa yang dihayati. “Reflection” adalah pengenalan intuitif yang dapat
memberikan kesan pengetahuan yang lebih baik kepada manusia daripada
“sensation”. Tiap pengetahuan terujud dari hasil kerjasama antara “sensation”
dan “reflection” tersebut. Selanjutnya, empirisnya John Locke ini mendasarkan
atas Dzat Tertinggi. Ialah sumber dan sebab tertinggi mengenai adanya
persepsi-persepsi pada manusia itu.
David Hume mengemukakan analisa
mengenai pengetahuan dan substansi. Pengetahuan adlah sejumlah pengalaman, yang
timbul silih berganti. Masing-masing pengalaman itu mengadakan impresi tertentu
bagi orang yang menghayati. Subsatansi itu sebenarnya tidak ada, karena
sebenarnya adalah perulangan pengalaman yang tadi. Dengan perulangan-perulangan
orang akan mempunyai idea mengenai sesuatu yang dihayati dan dipelajari.
Francis Bacon, tokoh utama Inggris
yang lain ini, adalah pemegang canang ilmu pengetahuan modern. Dalam bukunya
yang berjudul Nuvum Organum, bacon mengatakan bahwa menurut pandangan
dan kesimpulannya pada masa lampau dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan ini
manusia baru sedikit hubungannya dengan dunia luar. Pada hal dunia luar adalah
realitas yang sesungguhnya.
Pengetahuan yang dihasilkan oleh
manusia selam itu terlalu abstrak dan ilusif. Ini disebabkan oleh kebiasan penyusunan
pengetahuan dengan penggunaan metode deduktif, yang tidak diimbangi oleh metode
lain. Oleh karena dunia luar itu adlah realitas
yang sesungguhnya, maka pengetahuan itu diperoleh manusia dari dunia
luar. Agar maksud ini dapat tercapai metode induktiflah yang setepat-tepatnya
untuk diterapkan. Metode ini dimulai dengan usaha untuk menemukan pengetahuan
dan kebenaran yang bersifat khusus, berangsusr-angsur sampai pada kesimpulan
yang sifatnya umum.
Dalam salah satu tulisannya yang
berjudul The News Atlantis, Bacon mengemukakan buah pikirannya mengenai
peranan ilmu bagi masyarakat. Ditunjukan olehnya tentang adanya berbagai segi
kehidupan masyarakat yang dapat ditingkatkan dan diperbaiki segi kehidupan
masyarakat yang dapat ditingkatkan dan diperbaiki dengan pertolongan ilmu
pengetahuan. Oleh karena semua ini berguna bagi bangsa-bangsa, bacon berpikir
l;ebih lanjut bahwa alangkah baiknya bila para ahli dari berbagai bangasa dapat
bertemu untuk bertukar pikiran, mengadakan penyelidikan bersama demi
kebahagiaan bersama. Lembaga tempat para ahli bekerjasama ini di sebut Rumah
Nabi Sulaiman (Salomon’s House).
Contoh-contoh singkat mengenai
pandangan dari beberapa tokoh realis dan idealis modern di atas, menunjukkan
adanya pemikiran-pemikiran yang serasi dengan kebutuhan zaman. Dari kaum realis
nampak adanya usaha untuk menjadikan manusia dan lingkungannya sebagai obyek
peninjauan. Setelah Hobbes mengadakan analisa mengenai sifat-sifat manusia, ia
mengusulkan suatu bentuk pemerintahan untuk melindungi manusia. Jonh Locke,
dengan “sensation” dan “reflection” menunjukan adanya hubungan penting antara
manusia dan lingkungan. Sedangkan dari Francis Bacon dapat diketahui bahwa saj
bukan saja dunia luar manusia penting, malahan hal-hal khusus yang merupakan
komponen dari semuanya itu perlu dijadikan pangkal pemikiran mengenai
tersusunnya pengetahuan dan kebenaran.
Pandangan-pandangan kaum idealis
menunjukkan pula adanya kemungkinan terbukanya perkembangan baru dalam lapangan
kebudayaan dan ilmu. Hegel, misalnya, memberikan arti terhadap tiap kejadian
dan fakta sesuai dengan konsepsi realita, bahwa realita obyektif itu mempunyai
arti spritual dan ideal. Ini merupakan teras (core) dari alam semesta itu
sendiri. Leibniz, menunjukan adnya kesatuan harmonis dari semua janis komponen
dalam alam. Semua ini memancing untuk menjadi perhatian manusia, karena ia
sendiri ada didalamnya. Lebih lanjut dari tokoh-tokoh ini, kant menunjukan
peranan akal agar secara kritis mampu mengungkapkan makna dari ilmu
pengetahuan. Maka, jelas bahwa idealisme modern ini menunjukkan berbagai persoalan
yang ada di sekitar dan berhubungan dengan manusia, dan bukanlah hal-hal yang
fantastis yang “melambung ke angkasa”.
PANDANGAN
MENGENAI REALITA
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu
konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur
dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Ini berarti bahwa bagaimanapun
bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata
tersebut. Di bawahiniadalah uraian mengenai penjabaran menurut realisme dan
idealisme.
1. Realisme yang mendukung
esensialisme disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang
sistematis mengenai alam serta tempat manusia di dalamnya. Terutama sekali ada
dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini.
Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang
sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisik ini dapat dipahami
berdasarkan adanya tata-yang-jelas khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian
yang sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya daya
tarik bumi. Di samping itu oleh ilmu-ilmu ini dikembangkanlah teori mekanisme,
yang mengatakan bahwa dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab-akibat;
terikan dan tekanan dari “mesin” yang sangat besar. Di samping itu teori mekanisme
ini memperoleh dukungan perkembangan dari matematika, yang berbentuk dalam
berbagai sumbangan. Antara lain bahwa semua gerak dengan hubungan dengan alam
ini dapat dijabarkan secara kuantitatif, rumus-rumus dan persamaan-persamaan
yang abstrak.
Dari sinilah timbul
pengertian-pengertian mengenai metode ilmiah dan metode eksperimental. Yang
pertama trutama sekali terdiri dari usaha untuk menjabarkan semua proses dalam
alam ini dalam rumusan-rumusan matematis dan yang dapat menerangkan tentang
adanya hukum-hukum alam. Adapun mengenai eksperimen atau percobaan untuk
mengetahui rahsia alm telah dirintis oleh tokoh-tokoh realis, di antaranya
Newton.
Dengan adanya visi yang mengarah pada
penjabaran kuantitatif ini dan kegiatan-kegiatan eksperimentasi, adalah
sewajarnya bila rahsia-rahsia alam semakin dapat diketahui oleh manusia.
Sehubungan dengan ini pula adalah sewajarnya bahwa seusdah Newton ada
perkembangan-perkembangan pandangan pula.
Para ahli fisika sekarang memandang
alam semesta ini sebagai medan enersi yang eksplosif dan bukan lagi sebagai
badan yang bergerak mobil. Di samping itu tata alam sebagaimana nampak pada
para ahli sekarang ini lebih kompleks dan lebih banyak segi-seginya daripada
dugaan semula.
Berhubungan dengan itu, teori
evolusi, sebagai salah satu lapangan pengetahuan sesudah fisika merupakan
faktor yang mempengaruhi realisme obyektif pula. Teori ini, yang berlandaskan
atas asas perkembangan, menjelaskan bahwa makhluk hidup dapat diterangkan dari
peri kehidupannya atas dasar kompas atau hukumalam ini.
Manusia, adalah makhluk hidup yang
mengalami perkembangan yang berlangsung dengan teratur dan proses menurut hukum
mekanis. Dalam hal meneruskan kelangsungan hidupnya di dunia, pada manusia
berlaku “survival of the fittest” dan ‘stuggle for existence”.
Sehubungan dengan teori evolusi dari
Darwin ini, diperkirakan adanya pengaruh terhadap pandangan tokoh-tokoh
tertentu. Misalnya, pada herbert Spencer evolusi menjiwai konsep-konsep yang di
terangkan dalam bukunya Sistem of Syinthetic Philosophy. Spencer
mengatakan bahwa yang dapat dikenal bukan ada, tetapi yang menjadi. Ilmu
merupakan sebagian dari pengetahuan menjadi, sedangkan filsafat mencakup
keseluruhannya.
Dengan memperhatikan uraian singakat
di atas, yang mencakup adanya pengaruh dari fisika dan teori evolusi, dapatlah
disimpulkan bahwa realita menurut realisme obyektif haruslah ditafsirkan atas
dasar pengertian-pengertian yang mekanistik evolusionistis. Pandangan ini
berarti pula merupakan pandangan dari esensialisme.
2. Idealisme obyektif mempunyai pandangan
kosmis yang lebih optimistis dibandingkan dengan realisme obyektif. Yang
dimaksud dengan ini bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh
dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas
dalam alam semesta ini pada hakekatnya jiwa atau spirit, idealisme menetapkan
suatu pendirian bahwa sesuatu yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel
memperjelas pandangan tersebut di atas.
Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu
pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan
spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini
adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan, bahwa tiap tingkat peradaban
dikuasai oleh hukum-hukum dan diikuti
oleh tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis.
Hegel
mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikir Tuhan. Tuhan
berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai peraturan yang dinamis mengenai dunia
dan semuanya nyata dalam arti spritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari
gerak, maka ekspresi berpikir tersebut juga merupakan gerak pula.
Gerak yang timbul bukanlah yang maju
lurus, melainkan yang dapat menimbulkan gerak pula. Dengan demikian menimbulkan
tesis, anti tesis dan sintesis. Anti tesis adalah gerak yang bertentangan
dengan tesis, yang diikuti sintesis. Sintesis ini selanjutnya merupakan tesis
baru, dan selanjutnya timbul perulangan proses berlandaskan hukum budi yang
sama. Kesimpulan yang dapat diambil adalah segala sesuatu yang ada dan yang
akan terjadi itu akan berkembang menurut tata tertentu.
Ciri
lain mengenai penafsiran idealisme tentang sistem dunia tersimpul dalam
pengertian-pengertian makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos menunjuk kepada
keseluruhan alam semesta dalam arti susunan dan kesatuan kosmis. Mikrokosmis
menunjuk kepada fakta tunggal pada tingkat manusia. Manusia sebagai individu,
jasmani dan rohani, adalah makhluk yang semua tata dan kesatuannya merupakan
bagian yang tiada terpisahkan dari alam semesta. Pengertian tentang makrokosmos
dan mikrokosmos ini merupakan dasar pengertian mengenai hubungan antara Tuhan
dengan manusia
PANDANGAN
MENGENAI PENGETAHUAN
Pada kacamata realisme masalah
pengetahuan ini, manusia adalah sasaran pandanagan dengan penelaahan bahwa
manusia perlu dipandang sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum mekanistis
evulosionistis. Sedangkan menurut idealisme, pandangan mengenai pengetahuan ini
bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan
refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan
mikrokosmos.
Bersendikan prinsip di atas dapatlah
dimengerti bahwa realisme memperhatikan berbagai pandangan dari tiga aliran
psikologi:asosianisme, behaviorisme dan koneksisme. Dengan memperhatikan tiga
aliran ini, yang dasrnya mencerminkan adanya penerapan metode-metode yang lazim
untuk ilmu pengetahuan alam kodrat, realisme menunjukkan sikap yang lebih maju
mengenai masalah pengetahuan ini dibanding dengan idealisme.
Langkah maju ini tercermin pada
kenyataan bahwa selain konsep-konsep dari tiga aliran tersebut dapat dipahami
secara teoritis, juga di dalam praktek dapat diperkaya dengan pengumpulan data
dari lapangan. Di samping itu, sebagaimana diutarakan di bawah ini, tiga aliran
tersebut memiliki sifat-sifat yang satu sama lain saling mennyempurnakan.
Asosianisme, yang berasal dari
beberapa filsuf inggris ini, bahwa gagasan atau isi jiwa ini terbentuk dari
asosiasi unsur-unsur yang berupa kesan-kesan yang berasal dari pengamatan.
Kesan-kesan tersebut, yang juga disebut tanggapan, dapat diumpamakan sebagai
atom-atom dari jiwa.
Behaviorisme mengemukakan konsep yang
dapat mengatasi kesederhanan konsep dari asosianisme. Maka ditetapkan tingkah
laku sebagai istilah dasar, yang menunjuk kepada hidup mental. Dikatakan, bahwa
usaha untuk memahami hidup mental seseorang berartiharus memahami organisma.
Sedangkan pemahaman mengenai organisme ini berarti menginjak lapangan
nerologis, maka masalah ini tidak dapat dipisahkan dari lapangan pengalaman.
Menurut behaviorisme, masalah
pengetahuan (yang dapat ditangkap oleh manusia) tidak dapat dipisahkan dari
proses penanaman kondisi. Untuk ini dikembangakan teori Sarbon. Suatu
penghayatan kejiwaan terdiri dari proses yang paling sederhana yang terdiri
dari rangsang (stimulus) dari luar
(pribadi seseorang), yang disambut dengan tanggapan tertentu (response).
Rangsang dan tanggapan menjadi suatu kesatuan (sarbon). Dalam proses
berikutnya, peristiwa kejiwaan akan berupa saling hubungan antar unsur-unsur di
atas dalam berbagai cara dan bentuk (associanism).
Koneksionisme, sebagi gerakan ketiga,
mempunyai konsep-konsep yang bersifat meningkatakan pandangan dari
behaviorisme. Dikatakan bahwa manusia, dalam hidupnya, selalu membentuk tata
jawapan (pattern of responses) dengan jalan memperkuat atau atau memperlemah
hubungan antara stimulus (S) dan response (R). dengan jalan ini terjadi
gabungan-gabungan hubungan S-R, yang selalu menunjukkan kualitas tinggi-rendah
atu kuat-lemah. Untuk ini dikembangkan beberapa kaidah mengenai beberapa kaidah
mengenai belajar dan menahan pengetahuan yang telah menjadi milik seseorang.
Di samping koneksionisme dapat
meletakkan pandangan yang lebih meningkat dari asosianisme dan behaviorisme
juga menunjukkan bahwa dalam hal belajar ini perasaan yang dimiliki manusia
mempunyai peranan terhadap berhasil tidaknya belajar yang ia lakukan.
PANDANGAN
MENGENAI NILAI
Nilai, seperti halnya pengetahuan berakar
pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangakan sifat-sifat nilai
tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Kedua aliran
ini menyangkut masalah nilai dengan semua aspek peri kehidupan manusia yang
berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang mengenai nilai
pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan dipaparkan berikut ini.
Menurut realisme, kualitas nilai
tidak dapat ditentukan secara konsepsuil terlebih dahulu, melainkan tergantung
dari apa atau bagaimana keadannya bila dihayati oleh subyek tertentu dan selanjutnya
akan tergantung pula dari sikap subyek tersebut.
Untuk hal yang pertama, dapatlah ditunjukkan
bahwa nilai mempunyai pembawaan atas dasar komposisi yang ada. Misalanya,
kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan fungsinya
disesuaikan dengan pembawaan dan komponen-komponen yang ada. Khususnya, sebagai
contoh, temperamen warna putih dan biru akan sesuai dengan warna kuning atau
putih. Yang berwarna putih atau biru akan cocok dipakai oleh orang yang warna
kulitnya kuning atau putih.
Untuk hal yang kedua, dapatlah
diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai
hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Oarang yang berpakaian serba formal
seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang,
haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk ini, ekspresi perasan yang
mencerminkan adanya serba kesengguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi
yang dikenakan itu dapat menunjukkan keindahan baik pakaian dan suasana
kesungguhan tersebut.
George Santaya memadukan dua hal
tersebut di atas dalam satu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak
dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan
pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu.
Teori yang lain yang timbul dari
realisme disebut determinismetis. Dikatakan bahwa semua yang ada di alam ini,
termasuk manusia, mempunyai hubungan hingga merupakan rantai sebab-akibat.
Dialog dengan keadaan ini dan hal-hal yang berlangsung pada masa lampau,
terutama yang langsung berhubungan dengan manusia, dapat memberikan pengaruh
terhadap baik buruknya manusia tersebut. Selain yang sudah lampau, dengan
sendirinya juga keadaan dan hal-hal yang tercermin pada waktu sekarang.
Demikian pula bagaimana orang tersebut pada masa yang akan datang, sebagian
akan tergantung dari rangkaian sebaab - akibat yang berkembang dari sekarang
sampai dengan waktu yang akan datang tersebut.
Dapat dikatakan bahwa mengenai masalah
baik-buruk khususnya dan keadan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan
atas keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang
timbul sebagai akibat adnya saling hubungan antara pembawaan-pembawaan
fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Misalnya, soal perang. Perang
selalu mungkin karena adanya kenyataan bahwa manusia itu mempunyai insting
kekejaman. Maka agar dapat dicegah timbulnya peperangan di dunia, salah satu
usaha yang diperlukan adalah adanya pendidikan ke arah perdamaian.
NILAI
KEINDAHAN
Nilai
keindahan adalah suatu kenikmatan yang dihasilkan dalam pengalaman bila kognisi
dan perasan bercampur atau saling pengaruh mempengaruhi. Yang dimaksud dengan
kognisi di sini adalah persoalan persepsi sebagaimana dihubungkan dengan
kenikmatan keindahan. Apa yang dihasilkan ditambah dengan perasan yang
mengikutinya. Berarti bahwa kenikmatan seseorang mengenai keindahan itu
merupakan perpaduan antara pengalaman, persepsi dan perasaan.
Kesenian,
menurut realisme, adalah hidup sebagaimana adanya, maka kesenian dengan
sendirinya berisikan hal-hal yang kompleks sebagaimana hidup itu sendiri.
Ditinjau dari sudut manusia, faktor yang amat penting dalam tinjauan mengenai
pengalaman kesenian ini, kesenian dapat memiliki sifat-sifat yang kaya seperti
yang dialami oleh manusia, misalnya harmoni-disharmoni, suka duka, dan lain
sebagainya. Pokoknya kesenian adalh pencerminan dari alam atau kehidupan
sebagaimana wajarnya.
PANDANGAN
MENGENAI PENDIDIKAN
Pandangan
mengenai pendidikan yang diutarakan disini bersifat umum, simplikatif dan
selektif, dengan maksud agar semata-mata dapat memberikan gambaran mengenai
bagian-bagian utama dari esensialisme.
Essensialisme timbul karena adanya
tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi diri sendiri, sebagaimana
dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau dari sudut Abad Pertengahan.
Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup yang
mengarah kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada
sejak zaman Renaisans.
Dalam rangka menunjukkan antesedens
esensialisme ini, akan dipaparkan secara historis kronologis dengan
mengetengahkan tokoh-tokoh yang utama. Penggalan kronologis dijatuhkan kepada
periode sebelum dan sesudah tahun tiga puluh abad ini.
Desiderius Erasmus, humanis Belanda
yang hidup pada akhir Abad ke 15 dan permulaan Abad ke 16, adalah tokoh yang
mula-mula sekali berontak terhadap pandangan hidup yang berpijak pada “dunia
lain”. Tokoh ini berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan
bersifat internasional, yang dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat.
Pendidikan yang dilewatkan mereka ini memberikan kemungkinan dapat
berlangsungnya perubahan diharapkan oleh Eramus tersebut.
Tokoh berikutnya, Johann Amos Comenius
(1592-1670) adalah pendidik Renaisans pertama yang berusaha untuk mensistematisasikan
proses pengajaran. Tokoh ini dengan menilik pandangan-pandangannya, dapat
disebut seorang realis yang dogmatis. Ia berkata antaralain bahwa hendaklah
sesuatu diajarkan melalui indera karena indera adlah pintu gerbang jiwa. Jadi
pintu gerbang dari pengetahuan itu sendiri. Di samping itu, comenius mempunyai
pendirian bahwa karena dunia itu dinamis dan bertujuan, tugas kewajipan
pendidikan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.
John locke (1632-1704), adalah tokoh
dari Inggris yang dikenal sebagai “pemikir dunia ini”, ia berusaha agar
pendidikan menjadi dekat dengan situasi-situasi. John Locke mempunyai sekolah
kerja untuk anak-anak miskin.
Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827)
percaya sedalam-dalamnya mengenai alam dalam arti peninjauan yang bersifat
naturalistis. Alam dengan sifat-sifatnya tercermin pada manusia, yang karenanya
manusia memiliki kemampuan-kemampuan wajarnya. Di samping itu Pestalozzi
percaya akn hal-hal transedental, dengan mengatakan bahwa manusia itu mempunyai
hubungan transendental langsung dengan Tuhan.
Pandangan yang serba transendental ini
nampak pula pada Johan Friedrich Frobel (1782-1852), dengan corak pandangannya
yang bersifat kosmis-sintetis. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dan
merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu tunduk dan mengikuti ketentuan
dan hukum-hukum alam.
Dengan tertarik kepada pendidikan anak
kecil, Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif. Dalam
tingkah laku demikian ini tampak adanya kualitas metafisis; maka tugas
pendidikan adalah memimpin anak didik ini kearah kesadaran diri sendiri yang
murni, sesuai dengan pernyatan dari Tuhan.
Johan Friedrich Herbart (1776-1841),
salah seorang murid Immanuel Kant, adalah tokoh yang selalu bersikap kritis. Ia
berpendirian bahwa tujuan pendidikan ini adalah menyesuaikan jiwa seseorang
dengan kebajikan dariYang Mutlak, yang berarti antara lain penyesuaian sdengan
hukum-hukum kesusilaan. Prosese untuk mencapai tujuan pendidikan ini oleh
Herbart disebut pengajaran yang mendidik.
Tokoh terakhir yang perlu dibicarakan
dalam rangka menyingkap sejarah sejarah esensialisme ini adalah William T.
harris (1835-1909). Sebagai tokoh Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh Hegel
ini berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Menurut
Harris, tugas pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita berdasarkan
susunan yang tidak terelak (pasti) bersendikan kesatuan spritual. Sekolah
adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan
menjadi penuntun penyesuaian orang kepada masyarakat.
Oleh karena terasaskan adanya saingan
dan progresivisme, maka pada sekitar tahun 1930 timbul organisasi yang bernama Essentialist
Committee for the Advancement of Education. Dengan timbulnya Komite ini
pandangan-pandangan esensialisme (menurut tafsiran Abad XX), mulai
diketengahkan dalam dunia pendidikan. William C. Baglay, salah seorang tokoh
komite, mengemukakan pandangan progresivisme yang panting tentang perlunya ada
“progres yang seluas mungkin untuk menyampaikan ajaran atau pengetahuan kepada
anak didik,” dikatakan, bahwa bukan hanya prosese yang penting, melainkan juga
isi. Isi yang sembarang akan menjadikan pendidikan tidak menetu, untuk ini
hendaklah dipilih warisan sosial dengan proses bagaimana menyampaikan nilai
esensial kepada anak didik.
PANDANGAN
MENGENAI BELAJAR
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauan
mengenai pribadi individual dengan menitik beratkan pada aku. Menurut
idealisme, bila seseorang itu belajar pada tahap permulaan adalah memahami
akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami akunya sendiri, terus
bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke
makrokosmos.
Sebagai contoh, dengan landasan
pandangan di atas, dapatlah dikemukakan pandangan Immanuel Kant (1724-1804).
Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia lewat indera
memerlukan unsur a priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan
benda-benda, tidak berarti bahwa mereka sudah mempunyai bentuk, ruang dan
ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada
pengalaman tau pengamatan. Jadi, a priori, yang terarah itu bukanlah budi
kepada benda, tetapi benda-benda itulah yang terarah kepada budi. Budi membentuk,
mengatur dalam ruang waktu.
Dengan mengambil landasan pikir di
atas, belajar dapat didevinisikan sebagai jiwa yang berkembang kepada diri
sendiri sebagai substansi spritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.
Pandangan realisme mengenai belajar, tercermin antara lain
pada pandangan ahli-ahli psikologi, diantaranya seperti pandangan-pandangan
dari Edward L, Thorndike pendukung aliran koneksionisme. Koneksionisme
mendekatistudi mengenai manusia dengan pengurangan sampai dengan sifat-sifat
mekanistis kuantitatif. Ini tercermin antara lain dalam teori Sar. Bon. Berarti
bahwa belajar itu adalah tidak lain mengadakan penyesuaian dengan yang ada.
Seorang filsuf dan ahli sosiologi yang
bernama Roose L.Finney menerangkan tentang hakekat sosial dari hidup mental.
Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rokhani yang pasif, yang berarti bahwa
manusia pada umunya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh
alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah proses reproduksi dari apa yang
terdapat dalam kehidupan sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk
ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya.
Pandangan-pandangan realisme di atas
mencerminkan adanya dua jenis deternimisme yaitu determinisme mutlak dan
deternimisme terbatas. Yang mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengenai
hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang
bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti penyesuaian
supaya dapat tercipta suasan hidup yang harmonis. Banyak tata dalm alam ini
seperti teraturnya perjalanan matahari, perbedaan letak kawasan yang sekaligus
membawa perbedaan jenis dan sifat musim, adalah gejala-gejala mutlak, yang bagi
manusia tiada lain kecuali harus menyesuaikandiri. Sedangkan determinisme
terbatas memberikan gambaran kurangnya dunia pasif mengenai belajar. Bahwa
meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak
mungkin adanya penguasan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawasan
diperlukan. Untuk ini di samping mengetahui dan mengenal, pada orang yang
belajar perlu dibangkitkan kemauan dan kemampuan yang memungkinkan mengawasi
hal-hal yang mengenai lingkungannya itu. Dengan demikian jiwa yang mempelajari
sesuatu adalah jiwa yang aktif.
PANDANGAN
MENGENAI KURIKULUM
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu
hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Bersumber
atas pandangan ini, kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilakukan. Pandangan dari
dua tokoh akan dipaparkan di bawah ini.
Herman Harrell Horne menulis dalam
bukunya yang berjudul This New education mengatakan bahwa hendaknya
kurikulum itu bersendikan atas fundamaen tunggal, iaitu watak manusia yang
ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu
disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik tersebut. Atas dasar ketentuan
ini berarti bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan
sejalan dengan fundamen-fundamen itu.
Semua yang ideal baik, yang berisi
manifestasi dari intelek, emosi dan kemauan, ini semua perlu menjadi sumber
kurikulum. Berhubung dengab itu kurikulum hendaklah berisikan ilmu pengetahuan,
kesenian dan segala yang dapat menggerakakan kehendaki manusia.
Bogoslousky, dalam bukunya The
Ideal School, mengutarakan hal-hal yang lebih jelas dari Horne. Di samping
menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata
pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai
sebuah rumah yang mempunyai empat bagian, ialah:
a)
Universum.
Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup
manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tata surya
dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat
yang diperluas.
b)
Sivilasi. Karya
yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilasi
manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan,
dan hidup aman dan sejahtera.
c)
Kebudayaan.
Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan,
agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
d)
Kepribadian.
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah
diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologis, emosional, dan intelekyual
sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan
kemanusiaan yang ideal tersebut.
Dalam lingkungan idealisme adanya gagasan
yang merupakan komponen pengembangan kurikulum cukup banyak. Dalam variasi di
atas nampak adanya kesamaan prinsip, adalah tekanan kepada segi-segi kejiwaan
dan pembentukan watak dengan menggunakan alat disiplin, pengawasan dan
lain-lainnya. Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakekatnya kurikulum
disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak,
fleksibilitas ini tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam
semesta. Untuk ini perlu diadakan perencanaan dengan kesaksaman dan kepastian.
Di samping Ulich, Horne mengemukakan bahwa kurikulum
sebagai kegiatan dalam pendidikan adalah prosese penyesuaian yang bersifat
kosmis. Anak didik perlu disiapkan supaya berpikir dan berbuat sebagaimana
seharusnya. Maka dari itu pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan kepada anak
didik hendaklah disusun sedemikian agar dapat diterima secara normatif
sebagaimana mempelajari nilai-nilai hidup.
Butler mengemukakan bahwa sejumlah
anak tiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab
Suci. Sedang Demihkevic menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang
tinggi.
Realisme mengumpamakan kurikulum
sebagai balok-balok yang disusun dari yang paling sederhana sampai kepada yang
paling kompleks. Misalnya, mengenai isi mata pelajaran matematika dan bahasa,
semula diberikan dasar-dasar yang fundamental yang selanjutnya menjadi makin
meningkat hingga pelajaran bagian-bagian yang menggunakan angka dan bahasa
sebagai dasar.
Susunan seperti yang diutarakan di
atas dapat diibaratkan sebagi susunan dari alam, yang sederhana merupakan
fundaman atau dasar dari susunannya yang lebih kompleks. Jadi, bila kurikulum
disusun atas dasar pikiran ini akan bersifat harmonis.
PERENIALISME
CIRI-CIRI
UTAMA
Perenialisme
memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan
yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan ke simpangsiuran. Berhubung
dengan itu dinilai sebagi zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan
moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang
akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas.
Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian
ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan.
Perenialisme mengambil jalan regresif,
karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada
prinsip umum yang telah menjadi dasr tingkah laku dan perbuatan Zaman Kuno dan
Abad Pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah kepercayaan-kepercayaan
aksiomatis mengenai pengetahuan, realita dan nilai dari zaman-zaman tersebut.
Semuanya ini telah dianggap sebagai dasar sivilasi dari abad ke abad.
Motif perenialisme dengan mengambil jalan
regresif bukanlah hanya nostalgia atau hanya rindu akan nilai-nilai lama untuk
diingat atau dipuja, melainkan berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut mempunyai
kedudukan fitalbagi pembangunan kebudayaan abad ke-20. prinsip-prinsip
aksiomatis yang tidak terikat oleh waktu itu, terkandung dalam semua sejarah.
Perenialisme merupakan filsafat yang
susunan dirinya merupakan kesatuan. Maka dari itu premis-premis yang disusn
merupakan hasil pikiran yang memberi kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap
yang tegas dan lurus. Oleh karenanya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang
evolusionistis dan naturalistis.
ANTESEDENS
Istilah
perenial berarti terus tiada berakhir. Pengertian ini dapat dianalogikan dengan
bunga yang terus menerus mekar dari musim ke musim Darigejala
kehidupan-kehidupan bunga-mekar dari musim ke musim ini merupakan teras, karena
merupakan gejala yang terus ada dan sama bila gejala dari musim ke musim itu
dihubungkan satu sama lain seolah-olah merupakan benang dan corak warna yang
khas; terus-menerus sama.
Atas dasar pandangan di atas, maka
untuk tiap sivilasi perlu diteliti tentang adanya watak yang selalu berulang
kembali dan sama itu. Tampa usaha semacam ini manusia akan kehilangan jejak dan
faktor-faktor yang menstabilkan peradabannya sendiri.
Benang dengan warna yang khas yang
terus menerus ada ini, harus dicari dalam lingkup filsafat dan cabang-cabang
utamanya, seperti metafisika, epistemologi, aksiologi dan logika. Tetapi dengan
mengambiltokoh-tokoh yang memang mempunyai pandangan seperti yang diharapkan.
Jadi, dapatlah dianalogikan dengan pekerjaan dokter, bahwa tokoh-tokoh inidapat
memberikan resep pengobatan bagi zaman yang sedang sakit,meskipun dokter-dokter
lain yang dapat memberikan bantuan tidak boleh diabaikan.
Perenialisme berpendapat bahwa
tokoh-tokoh yang mampu kearah itu adalah Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas,
karena memiliki pendirian-pendirian dan pandangan-pandangan yang masih
mempunyai arti bagi abad ke-20. Di samping itu pendirian dan
pandangan-pandangan itu masih dapat pula dipertimbangkan sebagai dasar dan
pedoman kebudayaan abad ke-20 ini.
Plato (427-347 SM), adalah filsuf
idealis, Plato memandang dunia ide sebagai dunia kenyataan. Maka, menurut tokoh
ini ide adalah realitas. Oleh karena itu filsafat plato dipandang beraliran
yang realistis.
Dalam tulisannya yang terkenal,
Republik, plato menunjukkan adanya filsafat spekulatif yang tinggi dengan
formulasi yang masak. Ia percaya bahwa jalan untuk membntuk masyarakat menjadi
stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi tiap orang atau tiap kelas
menurut kapasitasnya masing-masing dalmmasyarakat sebagi keseluruhan. Mereka
yang memiliki kebajikan dan kebijaksanan yang cukup dapat menduduki posisi yang
tinggi, dan seterusnya ke bawah bagi mereka yang mempunyai kualitas yang
tinggi, dan seterusnya ke bawah bagi mereka yang mempunyai kualitas yang lebih
rendah. Dari atas ke bawah mengambil urutan-urutan para raja, filsuf, perwira
dan prajut, pekerja tangan dan budak. Yang paling atas adalah mereka telah bertahun-tahun
mengalami pendidikan dan latihan, dan telah menunjukkan sifat superioritasnya
dalam melawan berbagai godaan, serta menunjukkan cara hidup menurut kebenaran
tertinggi.
Dalam buku Republik itu dikupas dan dicari standar mengenai
kebenaran tertinggi. Ini dinyatakan oleh Plato dengan doktrin terkenal yang
disebut Ide. Di dunia ini tetap dan satu jenisnya, sedangkan ide tertinggi
adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dan menjadi contoh
dunia pengalaman.
Dunia ide adalah berbeda dengan dunia
pengalaman, yang penangkapannya dilakukan oleh indera. Yang pertama tetap
sedangkan yang kedua berubah-ubah. Dunia kedua ini juga disebut dunia
bayang-bayang.
Sekali manusia mengenal dan menguasai
dunia ide, ia dapat mengetahui jalan yang passsti. Dengan demikian dapat
menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengadakan klasifikasi dan penilaian
terhadap segala sesuatu yang dialami sehari-hari.26)
Salah seorang diantara murid-muird
Plato adalah Aristoteles (483 – 322 SM).
Meskipun tokoh ini murid Plato,
Aristoteles berusaha untuk menghilangkan pandangan dualistis dari gurunya
mengenai dunia, ialah dunia ide dan dunia bayang-bayang. Untuk ini
diciptakanlah teori hilomorfisme, suatu teori bentuk dalam unsur-unsur,gagasan
dalam benda-bendanya atau jiwa dalam badan.
Dunia, menurut Aristoteles, adalah
tunggal, yaitu, suatu kesatuan dalam tata kosmis. Untuk ini Aristotele
mengemukakan teori yang bersendikan atas gambar piramidda yang disebut piramida
ontologis Aristoteles.
Bagian bawah piramida itu, terutama di
bagian dasarnya tttterdapat pernyataan yang berujud unsur (matter) dengan bentuk
yang paling kecil di antara ssemua yang berbentuk. Keadaan ini berubah
bila kenyataan itu menanjak dari bagian bawah melalui sisi-sisinya hingga
sampai pada tingkat yang paling tinggi.
Puncak ini bebas dari sifat-sifat kotor
dan pengalaman yang fana, dan disebut penggerak yang tiada gerak, yang
mempunyai sifat-sifat ke-Tuhanan. Secara terus menerus puncak ini menarik dan
meningkatkan hal-hal atau benda-bendda yang lebih rendah ke arahnya.
Dengan demikian jelaslah tendensi
daripada kenyataan itu adalah menuju arah aktualitas, sehingga makin lama makin
jauh dari potensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu
setiap waktu adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas.
Misalnya, meskipun manusia dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat
eksistensi keduniaan, tidak jarang pula berkat dimilikinya akal, perasaan dan
kemauannya, semua ini dapat di kurangi. Hal-hal yang bersifat partikular yang merintang
kehidupan dapat diatasi. Maka, dengan peningkatan suasana hidup spritual ini
manusia dapat makin mendekatkan diri kepada Gerak yang Tanpa Gerak itu,,, ialah
tujuan dan bentuk terakhir dari segalanya. Kenyataan hidup seperti terlukis ini
selalu menjadi irama manusia.27)
Pada Abad Pertengahan filsafat Yunani
umumnya dan filsafat Arristoteles khususnya yang berjudul Filsafat Islam,
menerangkan bahwa kepudaran tersebut disebabkan antara lain karena
analisa-analisa dengan akal iitu belum tentu dapat menjawab semua pertanyaan
dan mengumpulakan kebenaran yang sesungguhnya. Misalnya, Aristoteles mengatakan
bahwa baik itu adalah yang buat semua orang dikatakan baik. Tetapi Aristoteles
tidak berhasil untuk menerangkan, mengapa sesuatu yang lebih dikatakan baik
dapat dianggap tidak baik oleh orang lain.28)
Ketika Islam datang, berkembanglah
filsafat Islam yang diairi dengan pelajaran Hikmah yang tertera dalam kitab
suci Al-Qur’an. Maka, karena filsafat Yunani dapatdihidupkan kembali,
tulisan-tulisan Arristoteles dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Karya-karya ini menjadi bahan pengalaman pertama bagi filsuf-filsuf berikutnya.
Meskipun dalam Abad Tengah kepercayaan
agama mengalahkan filsafat dalam arti pengujian kritis, maka ada reformasi pendirian
bahwa akal tidak dapat “tidur”. Pada zaman itu terdapat ahli-ahli fikir yang
tidak puas dengan hidup penuh kemenurutan terhadap agama dan otoritas mutlak.
Kristalisasi “hidup keembalinya” akal
berada dalam suatu gerakan intelektual yang disebut scholastisisme. Tujuan
utama gerakan ini adalah menunjukan adanya eksistensi Tuhan, sifat-sifat
keabdian dan jaminan tentang adanya kesemuanya itu.
Pada zaman ini tampillah Thomas
Aquinas, seorang tokoh yang hidup dari tahun 1225 sampai tahun 1274, yang sebagian
dari ajaran-ajarannya menjadi penuntun perenialisme. Meskipun tokoh ini telah
mempelajari dengan saksama ajaran-ajaran Aristoteles, dikembangkanlah ajaran
yang berlainan. Ajaran (aliran) ini disebut Thomisme.
Mengenai ontologi, Thomas Aquinas mengatakan
bahwa Tuhanlah yang menciptakan segala sesuatu yang menyertai-Nya adalah baik
pula. Maka dari itu tidak tepatlah bila di dunia ini diadakan pembedaan mana
yang baiak dan mana yang buruk.
Perlu ada perbedaan sebagai berikut :
ada mahluk ada yang diadakan, sedangkan adanya Tuhan itu ada dengan sendiri.
Maka, dapatlah dikatakan filosofis bahwa ada Tuhan adalah esensinya, sedangkan
ada mahkluk tidak sama dengan esensinya. Ada makhluk memang tidak terpisahkan
dari esensinya, tetapi dapat dibedakan satu sama lain, sedangkan pada Tuhan
keduanya identik.
Pandangan di atas mengemukakan dua
unsur yang satu sejenis dengan hilomorfisme menurut pandangan dari Aristoteles.
Di samping itu Thomas Aquinas mempunyai pandangan tentang dualisme, tetapi yang
berbeda dengan ajaran Plato.
Tokoh ini mengemukakan bahwa
pengetahuan itu mula-mula merupakn persentuhan dengan badan (indera), dan ini
masih merupakan bahan. Budi lalu mengolah bahan itu menjadi
pengetahuan. Bila belum diolah oleh budi dapat juga disebut pengetahuan tetapi
yang baru mempunyai sifat-sifat jasmaniah belaka.
Budi adalah kemampuan manusia yang
tinggi, yang mempunyai cita-cita untuk menuju ke kebenaran sejati yang
bersumber pada Tuhan.
Selain budi, manusia juga mempunyai
kehendak. Baik budi maupun kehendak menuju kepada Tuhan. Maka jelaslah makin
besar arah budi dan kehendak manusia kepada semuanya, berarti semakin besarlah
partisipasi manusia di dunia menurut kehendak Tuhan.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa
manusia mempunyai dua jenis kepercayaan, yaitu yang berdasarkan wahyu dari
Tuhan yang bersifat rasional. Keduanya perlu bagi pembinaan individu dan
sifilasi, karena saling menyempurnakan pula. Misalnya, dalam lapangan
kesusilaan, manusia dapat menyusun hukum-hukum kesusilaan, tapi hukum itu dapat
sempurna bila dilingkungi oleh hukum-hukum supernatural.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas
berpengaruh besar dalam gereja Katolik. Demikian pula aksiomatis lain seperti
yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain daripada itu juga semuanya
mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.
Selain perenialisme terdesak karena
perkembangan politik dan industri yang cukup berat, timbulah usaha untuk
membangkitkan kembali dengan nama gerakan neoscholastisisme atau neo-Thomisme,
yang inti sari alam pikirnya tetap perenialistis.
Neo-scholastisisme atau neo-Thomisme
ini berusaha untuk menyesuaikan jaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan
abad ke 20. Misalnya, mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti
dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empiri dan eksperimentasi
hanya di pandang hanya sebagi pengetahuan yang fenomenal. Maka metafisika
mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia dikemukakan bahwa
hakikat pengertiannya adalah ditekankan pada sifat spritualnya. Simbul dari
sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti,
dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi.
Tokoh-tokoh perenialis abad ke-20
diantaranya adalah : jacques Maritain, Aldous Huxley, berjijdev dan Alder.
Banyak tulisan yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh tersebut.
PANDANGAN
MENGENAI REALITA
Agar manusia dapat berpijak pada pendirian-pendirian yang
benar, yang karenanya dapat tegak berdiri dalam arti spritual, perlu dijamin
dengan pandangan-pandangan mengenai kenyataan yang bersifat universal. Artinya
dimanapun dan bila manapun tidak berubah.
Berhubung dengan kupasan-kupasan yang
bersifat ontologis haruslah sampai pada pengertian-pengertian yang bersifat
hakiki. Ontologi perenialisme antara lain terdiri dari pengertian-pengertian
seperti benda individual, esensi, aksiden dan substansi.
Benda individual adalah sebagaimana
nampak di hadapan manusia dan ditangkap dengan panca indera seperti batu,
lembu, oarang dan sebagainya. Dari penangkapan ini dapat dihayati perwujudan
dari benda-benda tersebut seperti bentuk dan warna. Esensi dari sesuatu adalah
kualitas yang menjadikan atau menyebabkan benda itu lebih intrinsik daripada
halnya.
Aksiden adalah keadaan-keadaan khusus
yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan yang
esensial. Sebagaimana contoh misalnya, orang suka bermain sepatu roda, suka
berpakaian bagus.
Kenyataan yang diketahui atau dihadapi
oleh manusia mengenai hal-hal tersebut di atas tidaklah terlepas satu sama
lain, tetapi seketika bersama-sama. Malahan ditambah dengan sifat-sifat lain
seperti yang partikular, partikular dan universal, material dan spritual.
Kesatuan dari tiap-tiap yang berpasangan pada tiap-tiap individu atau hal ini
disebut substansi. Akallah yang harus mengadakan pembedaan mengenai sifat-sifat
tersebut.
Di samping hal-hal yang telah
diutarakan di atas, perenialisme mengemukakan bahwa realita itu bersifat
teleologis, yang berarti mengandung tujuan. Oleh karena semua hal itu bersumber
pada kenyatan yang bersifat spritual, maka tiap-tiap hal itu terarah untuk
mencapai tujuan masing-masing. Untuk ini perlu tiap hal atau benda melewati
jalannya sendiri-sendiri yang tidak dapat dihindari.
Ada empat macam sebab (kausa) yang
menjadi pendukung atau pendorong terjadi atau berlangsungnya sesuatu.
Istilah-istilah beserta pengertiannya yang berasal dari Aristoteles ini
terdapat dalam karya Plato yang berjudul Fisika. Plato menerangkan dalam buku
itu bahwa istilah-istilahini menjelaskan tentang adanya garis perjalanan
sesuatu benda dan penting bagi dasar pemahaman bila seseorang akan mengikuti
dan mengadakan penemuan mengenai benda yang bersangkutan.
Keterangan mengenai kausa-kausa
tersebut adalah sebagai berikut :
(a) Kausa
materialis, adalah bahan yang menjadi susunan sesuatu benda, misalnya batu atau
kayu patung;
(b) Kausa
formalis, bentuk atau model sesuatu benda, miasalnya bulat panjang atau patung
tersebut ;
(c) Kausa
effisiens, gerakan yang digunakan dalam pembuatan. Misalnya, gerak yang penuh
usaha dari seniman yang membuat patung itu, dan
(d) Kausa
finalis adalah akhir atau tujuan sesuatu benda. Misalnya, konsep mengenai
patung itu dalam jiwanya seorang seniman.
Bila kausalitas ini teruskan
tinjauannya, maka akan terasakan bahwa kausalitas merupakan mata rantai yang
tiada putusnya sebelum sampai kepada pertanyaan adanya penyebab pertama atau
kausa prima. Maka sesuai dengan konsep mengenai piramida ontologis, kausa prima
itu berada pada puncaknya: sebagai Tuhan, sebab Pertama, dan Penggerak yang
tiada Gerak.
Tuhan
adalah Aktualitas Murni dan Bentuk Murni, sama sekali sunyi atau sepi dari
substansi. Oleh karena itu akal manusia tidak mampu untuk menggambarkan atau
mengira-irakan wujud dan bentuk-Nya karena semuanya berada di atas akal. Maka
dari itu berarti pula bahwa ke-Tuhanan berada dalam lapangan kepercayaan
PANDANGAN
MENGENAI PENGETAHUAN
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat
diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan.
Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara fikir dengan
benda-benda.
Yang dimaksud dengan benda-benda
adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Ini
berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi
sesuatu.
Bila hal-hal tersebut di atas
dibandingkan dan teliti, orang akan sampai kepada dalil-dalil yang meyakinkan.
Syarat yang diperlukan agar sampai pada prinsip-prinsip seperti di atas adalah
bila dalil-dalil tersebut mengandung ketepatan. Artinya telah memenuhi syarat-syarat
logis, sehingga sukar untuk ditolak atau dibantah. Akal perlu mengadakan
tinjauan agar pengertian-pengertian yang dirumuskan memiliki evidensi diri
sendiri.
Pengertian-pengertian yang mengandung
prinsip pertama menurut Aristotles adalah :
(a) “Prinsipium
identitas”, yang mengatakan a sama dengan a Berarti bahwa obyek atau benda a
selalu menyamai dirinya sendiri. Prinsipium ini disebut pula hukum identitas.
(b) “Principium
contradictionis”. Kalau dikatakan a sama dengan b, dan di samping itu dikatakan
pula bahwa a tidak sama dengan b, maka salah satu dari keterangan tersebut
tentu tidak benar. Jadi, bila dari satu keterangan datang kesalahan, maka dari
keterangan yang lain tentu datang kebenaran.
(c) “Principium
exclusitertii”. Ini mengatakan bahwa tidak benarnya keterangan yang satu,
berarti membenarkan kebenaran yang lain. Misalnya, bila a sama dengan b dan a
tidak sama dengan b, maka tidak mungkin diperoleh keterangan ketiga mengenai a
dan b tersebut. Berarti tidak benarnya keterangan yang satu berarti membenarkan
keterangan yang lain.
(d) “Principium
rationis suffecientis”. Bila mengenai sesuatu dapat diterangkan asal atau
sebabnya, dapat diterangkan pula mengenai akibatnya dan tujuanya. “Prinsipium”
ini disebut pula hukum mansahkan hulum.
Metode
yang diperlukan yang dapat menuntun orang untuk sampai kepada pemikiran hakiki
seperti di atas adalah penalaran. Penalaran mempunyai hukum-hukumnya sendiri
untuk dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.
Ajaran
lain yang dapat digunakan sebagai pegangan adalah juga berasal dari aristoteles
yang dinamakan logika. Juga biasa disebut organon (alat).
Logika
Aristoteles terutama sekali membicarakan dua hal pokok : jalan pikiran
(rationorium) dan bukti. Jalan pikiran adalah silogisme. Silogisme menunjukkan
adanya hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan konklusio
(kesimpulan). Masing-masing terdiri dari putusan. Tiap putusan terdiri dari
pengertian yang berhubungan satu sama lain. Contoh mengenai silogisme: kalau kita menerima premis bahwa semua
manusia itu adalah “animal rasionale” dan kita akui bahwa si Badu adalah
manusia, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa si Badu adalah “animal
rasionale.”
Selain
dengan cara deduktif seperti di atas, manusia perlu mengenal dunia dengan cara
kebalikannya, ialah induktif. Cara ini memulai pengenalan dengan hal-hal
partikular.
Dalam
hal induksi, Aristoteles berpendapat bahwa ini adalah suatu usaha terpaksa dari
manusia karena kekurangan-kekurangannya. maka, ia bergerak perlahan-lahan ke
arah pemahaman umum karena tidak dapat
segera mampu mengetahui universilitas, yang sebenarnya selalu ada. Sedangkan
Thomas Aquinas berpendapat bahwa meskipun tindakan persepsi indera itu mengenai
hal yang partikular, isinya universal. Jika belum mengandung hal-hal yang
universal adalah mustahil data partikular itu dapat membangun
kesimpulan-kesimpulan yang universal.
Atas
dasr pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat
ada dan berkembang atas dasarnya sendiri-sendiri, dengan adanya perbedaan-perbedaan
metode yang digunakan. Akan tetapi sering kali filsafat memberikan putusan
akhir terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh ilmu. Misalnya, para ahli
dapat menanyakan peranan ilmu bagi pembinaan kesejahteraan kemanusiaan. Oleh
karena kemanusiaan perlu dicegah dari kemungkinan destruksi, maka ilmu
yangmembahayakan kemanusian perlu dihambat perkembangannya dan hasil-hasilnya
dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan.
Jawab
semacam ini berasal dari filsafat.
PANDANGAN
MENGENAI NILAI
Hekekat
manusia itu pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itu hakekat manusia
juga menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya dan persolan nilai adalah
persoalan spritual.
Hakekat
manusia adalah emansi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin
oleh Tuhan, atas dasar inilah tinjauan mengenai baik dan buruk itu dilakukan.
Berarti dasar-dasar yang digunakan haruslah teologis.
Neo-thomisme
memasukkan etika dan estetika ke dalam golongan filsafat praktis. Filsafat ini
mencakup prinsip-prinsip universal yang praktis.
Oleh
karena secara teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, sedang
kebaikan tertinggi adalah nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan,
maka usaha manusia itu mengandung hal-hal praktis. Ini berarti bahwa manusia
berada dalam suatu suasana hidup tertentu yang bersifat rasional, yang
kedudukannya lebih rendah dari yang pertama. Keterangan mengenai
prinsip-pronsip di atas adalah seperti di bawah ini.
Sebagai
contoh dapat diutarakan bahwa kebahagiaan duniawi sebagai kebaikan itu ada, dan
merupakan bagian yang satu dari hidup itu sendiri. Tetapi kebahagian itu baru
akan tetap tinggi nilainya, bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka. Sebab,
taraf ini adalah taraf hidup materiil. Maka dari itu agar kebahagiaan itu dapat
meningkat dari taraf keduniaan (materiil) ke taraf spritual perlu dikuasai dan
dituntun oleh akal.
Masalah
ini dapat diterangkan dengan menunjuk kepada pandangan Aristoteles mengenai
kebajikan, yang dibedakan menjadi dua : (a) intelektual dan (b) moral.
Kebajikan
moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan
dasar dari kebajikan intelektual. Ada yang bersifat intelektual dibentuk oleh
pendidikan dan pengajaran. Berarti bahwa kebajikan ini didasari oleh
pertimbangan dan pengawasan dari akal.
Seperti halnya etika, estetika oleh
perenialisme digolongkan pula ke dalam filsafat praktis. Kesenian, sebagai
salah satu sumber penikmatan keindahan, adalah suatu kebajikan intelektual yang
bersifat praktis filosofis.
Seorang seniman mengadakan ekspresi
terhadap benda (materi), agar dapat memberi makna perwujudan aktualitas dari
benda-benda itu sesuai dengan potensialitasnya masing-masing. Jadi bila seorang
seniman berusaha menunjukkan nili keindahan ia bersendikan prinsip-prinsip
metafisik. Berhubung dengan itu keindahan sebagai nilai tertinggi dalam
estetika, haruslah yang mengandung kabaikan tertinggi dalam arti etik. Ini
berarti bahwa apa yang dapat dinilai indah haruslah yang dapat dipandang baik.
Berarti pula bahwa dalam mempersoalkan masalah keindahan haruslah bersendikan
atas dasar-dasar teologis, Ke- Tuhanan.
Di samping itu rasa keindahan yang
berarti adalah yang dapat dialami dengankatarsis, iaitu yang dapat menigkatkan
hidup manusia dalam arti spiritual. Dengan demikian kegembiraan dan kesenangan
yang dialami manusia berada dalam suasana peningkatan hakekatnya sendiri.
ANTESEDENS
Pandangan mengenai pendidikan yang
wajar untuk menjadi antesedens adalah pandangan dari tokoh-tokoh utama
perenialis pada masa sebelum abad modern. Berhubung dengan ituy pembicaraan
mengenai pendidikan secara umum akan terdiri dari pandangan dari Plato,
Socrates dan Thomas Aquinas dan diteruskan dengan pandangan dari tokoh-tokoh
modern.
Plato membentangkan pandangan mengenai
pendidikan yang tidak terlepas dari pandangan politis dan doktrin mengenai
dunia ide. Pandangan politisnya bersifat aristokratis. Sedangkan
pengertian-pengertian mengenai dunia ide menjadi tumpuan terbentuknya
pengertian hakiki mengenai realita, pengetahuan dan nilai, yang terdiri dari semua
hal yang ada, yalah satu arkhetipe-arkhetipe dari semua benda partikular,
kebenaran dan kebaikan.
Berhubung dengan landasan pikiran di
atas tujuan utama pendidikan adalah melatih pemimpin-pemimpin yang dapat
mengakui dan melaksanakan tuntutan kebajikan dari ide-ide tersebut. Program
pendidikan hendaklah disusun dan dilakukan dengan sengaja dan dimulai sejak
anak dilahirkan sampai orang dewasa mencapai usia 50 tahun. Jangka waktu ini
dibagi menjadi tahapan-tahapan umur.
Tahapan-tahapan umur untuk pendidikan
ini adalah sampai umur 20 tahun dengan pusat perhatian pengajaran muzik,
gimnastik, membaca, menulis, berhitung dan latihan kemiliteran. Dari umur 20
sampai 30 tahun pendidikan dipusatkan pada ilmu pasti dan pengetahuan alam
kodrat; dari umur 30 tahun sapai 35 tahun pada filsfat. Dan dari umur 35 sampai
50 tahun pada pengalaman-pengalaman praktis dalam masyarakat. Untuk tahap
terakhir ini ketabahan yang bersifat moral dan intelektusl mendapat ujian
dengan sungguh-sungguh.
Program pendidikan yang ideal
didasarkan atas faham adanya nafsu, kemauan, dan akal sebagai potensi jiwa
manusia. Tiga kemampuan ini perlu mendapat perhatian dan perhitungan dalam
pendidikan. Misalnya perkembangan anak-anak terutama mengenai nafsu dan
kemauan. Maka tekanan pendidikannya pada gimnastik dan muzik. Sedangkan pada
tingkat-tingkat berikutny terutama pada akal dan untuk itu perlu diberikan
pengetahuan alam kodrat, ilmu pasti dan filsafat.
Oleh karena akal mempunyai peranan
untuk “memerintah” dua potensi jiwa yang lain, pendidikan akal mempunyai
kelebihan dibanding dengan yang lain-lain. Latihan-latihan untuk akal harus
lebih efektif dan lebih pasti dari pada yang lain.
Aristoteles, sebagai murid Plato, juga
memandang sangat penting perkembangan budi dengan menggunakan filsafat sebagai
alat-alatnya. Latihan-latihan dalam lapangan ini perlu diutamakan karena
merupakan proses pendidikan ke arah kebijaksanaan.
Aristoteles menggangap penting pula
pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan rendah, sebab pada tingkat
pendidikan usia muda ini perlu ditanamkan kesadaran menurut aturan-aturan moral
dan, dengan ditambah hukum pergaulan dan tradisi merupakan hundamen yang
penting baagi perkembangan pribadi anak.
Anak-anak memerlukan tuntutan yang
perlu sesuai dengan tujuan yang hendak di capai. Hal ini perlu karena anak
harus diangkat ke atas, supaya unsur-unsur atau gerak anak-anak itu selalu
berada di atas bentuk dan tujuannya. Pikiran Aristoteles adalah sesuai dengan
pahamnya tentang piramida, yang mencakup pengertian tentang potensialitas dan
aktualitas. Bila cita-cita pendidikan seperti tergambar pada piramida itu tidak
dapat tercapai, berarti bahwa aktualitas anak masih berada di bawah
potensialitasnya.
Berdasarkan tinjauan filosofis hal
seperti di atas itu belum merupakan inti hakikat perkembangan manusia yang
ideal. Maka dari itu teori ini menyarankan agar guru memiliki potensialitas
yang lebih dari siswa-siswanya. Dengan demikian guru akan mampu untuk menuntun
berbagai kualitas dan kemampuan anak didiknya.
Aristoteles juga mengemukakan bahwa
pendidikan yang baik adalah yang bertujuan kebahagiaan. Kebahagiaan tertinggi adalah hidup spekulatif
; dan dengan jalan teori hilomorfisme Aristoteles mengajarkan bahwa kebahagiaan
itu bulat dan seimbang.
THOMAS
AQUINAS
Tokoh ini mempunyai pandangan bahwa
pendidikan adalah menarik atau menuntun kemampuan-kemampuan yang masih “tidur”
menjadi aktif dan nyata. Tingkat aktif dan nyata yang timbul dari dan
bergantung dari kesadaran-kesadaran yang mendukungnya pada tiap-tiap individu.
Tuntunan yang berasal dari guru kepada
anak didik berwujud sebagai pengajaran, yang berfungsi untuk membantu
substansimanusia untuk berkembang dan kaya akan pengalaman –pengalaman yang
berasal dari luar. Sedangkan tugas seorang guru dapat dianalogikan dengan seorang
dokter.
Guru adalah penghubung antara
Kebenaran-Realira tertinggi dengan anak didik sebagai makhluk yang selalu untuk
berusaha mengerti dan menginsyafi perihal realita dengan segala macam bentuk
dan tingkat-tingkatnya. Dokter membantu organisma yang sakit atau luka dalam
tendensi herensinya untuk menyembuhkan diri sendiri. Jadi, karena perananya
sebagai penolong anak atau orang yang sudah dewasa untuk mengerti dan
mendudukkan tendensi inherensinya, tugas guru dan dokter mempunyai kesamaan.
Dalam Abad Pertengahan, filsafat
pendidikan yang ada lazim bersifat teosentris, dan sejalan dengan ajaran-ajaran
yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Pada Abad Pertengahan itu pula dukungan
terhadap ajaran dari Thomas Aquinas kuat, malahan bersifat tunggal iaitu oleh
Gereja Katolik. Gereja merupakan pusat pendidikan paling utama selama beberapa
abad.
Pada zaman sekarang, perenialisme
berkembang dalam lingkungan yang lebih luas dibanding dengan periode-periode
sebelumnya, artinya tidak hanya terbatas dalam lingkungan gereja Katolik.
Dengan menggunakan panji-panji neoscholasticisme atau ne-Thomisme tokoh-tokoh
tertentu menyebarkan gagasan –gagasan yang merupakan pandangan-pandangan baru.
Tokoh-tokoh yang akan dipaparkan pandangan-pandangannya adalah Robert M. Hutchkins
dan Jacques Maritain.
Robert M. Hutchkins, yang terkenal dengan usaha merintis gerakan
“The Great Book Learning”, mengemukakan konsep mengenai isi pendidikan. Menurut
tokoh ini konsep pendidikan yang isinya “penyesuaian terhadap lingkungan”
dianggap tidak penuh dengan kebingungan. Kurikulum yang disusun atas dasar
semacam ini dapat menjerumuskan pendidikan itu sendiri, karena sukar untuk
dikendalikan.
Tugas manusia di dunia, menurut
Hutchkuns, antara lain mengubah alam sekitar, bukan menyesuaikan dengan
perubahan-perubahan. Berhubung dengan itu anak didik perlu “dipersenjatai”
dengan sebaik-baiknya, dan “senjata” itu adalah nilai-nilai yang tinggi. Tetapi
hal ini belum dapat menjamin bahwa anak didik dapat berbuat menurut prinsip
tersebut di atas. Yang penting bukanlah yang banyak itu, tetapi penguasan dari
hal-hal yang terpenting dari yang banyak itu. Yang terpenting inilah yang dapat
diharapkan mempunyai peranan sebagai “senjata”.
Jacques Maritain, adalah tokoh
kuat dalam lapangan agama Katolik dan filsafat dan mempunyai karya tulis yang
cukup banyak. Di antaranya mengenai pendidikan dengan judul Educatiao at the
Crossroad. Di bawah ini dikemukakan sejumlah disposisi dan norma
fundamental mengenai pendidikan menurut maritain.
Disposisi yang terpenting adalah
:
a)
Cinta
akan kebenaran. Ini adalah tendensi utama dari intelek manusia.
b)
Cinta
akan kebaikan dan keadilan. Inipun semuanya sesuai dengan sifat wajar manusia.
c)
Kesederhanaan
dan sifat terbuka terhadap eksisitensi. Yang dimaksud dengan ini adalah sikap yang
wajar dari seseorang bahwa ia itu ada sebagi makhluk.
d)
Cinta
akan kerjasama.
Berhubung dengan itu dapat
ditentukan adnya norma-norma fundamental dalam pendidikan sebagai berikut :
a) Perlu diusahakan
agar disposisi tersebut di atas dapat tumbuh sebaik-baiknya dalam jiwa anak.
Agar tendensi-tendensi tersebut mendapat pengaruh yang baik pendidikan perlu
dilaksanakan dengan iluminasi dan pemberian semangat mengenai segala kebaikan.
b) Pengaruh pendidikan
hendaklah di uasahakan agar meresap ke dalam pribadi anak. Cara-cara
pelaksanaan untuk ini adalah sebagai berikut : mula-mula mengikuti adanya
perhatian spontan dan kecenderungan-kecenderungan wajar yang ada pada anak.
Dengan melatih akal dan ingatan sebaik-baiknya dengan cerita-cerita yang
mengandung ajran yang dalam, pendidikan berusaha agar pribadi anak didik mampu
mengadakan adesi dengan realita. Kepada anak didik itu dipilih sedemikian agar
adesi dapat berlangsung sebaik-baiknya.
c) Pendidikan dan
pengajaran adalah sarana untuk mengujudkan kebulatan (kesatuan) jiwa manusia
dalam pribadi yang bulat dan seimbang pula. Pendidikan dan pengajaran perlu
mempunyai implikasi dengan pengalaman dengan menempatkan pendidikan intelek
sebagai prioritas utama. Jadi, apa yang dilaksanakan ini tidak semata-mata
bersendikan atas spontanitas anak-anak.
d) Tujuan pengajaran
adalah agar anak didik dengan akalnya dapat menguasai apa yang dipelajari.
Dengan demikian ia tidak berada di dalam ikatan pekerjaan, tetapi justeru di
atasnya.
Cukilan pandangan Hutchkins dan
Maritain ini menunjukkan adanya konsep pendidikan yang luas yang tersusun
dengan maksud untuk disesuaikan dengan zaman. Sifat yang demikian ini nampak
pula dalam bagian-bagian berikut ini, dan yang sekaligus merupakan kumpulan
unsur kesamaan pandangan antar kaum perenialis.
PANDANGAN MENGENAI BELAJAR
Tuntutan
tertinggi dalam belajar, menurut perenialisme, adalah latihan dan disiplin
mental. Maka, teri dan praktek pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan
tersebut.
Sebagai makhluk, manusia
mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk lain, ialah karena memiliki
sifat rasionalitas. Rasionalitas ini merupakan sifat umum manusia, dan
merupakan evidensi sendiri. Permulaan dan akhir dari keaktifan jiwa manusia adalah pada rasionalisme
tersebut.
Sifat rasional dari pada manusia
itu melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Bahwa dengan rasionya manusia
dapat menghilangkan belenggu atau rintangan yang dihadapi, maka ia lalu
merdeka. Kemerdekaan itu haruslah menjadi tujuan dan dilaksanakan dalam
pendidikan, supaya anak didik mempunyai kemampuan berbuat dengan sengaja.
Atas dasar pandangan di atas
dapatlah disimpulkan bahwa belajar itu pada hakekatnya adalah belajar untuk
berpikir. Untuk ini perlu diadakan kebiasaan-kebiasaan sejsk anak didik masih
muda.
Sebagai pendahuluan pendidikan
ke arah tujuan tersebut, kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis dan
berhitung, penting sekali karena merupakan permulaan dari yang lain-lain. Untuk
tingkat yang lebih tinggi latihan-latihan yang diperlukan adalah mengenai
paramasatra, logika dan retorika.
Dasar pikiran mengenai perlunya
pendidikan dan pengajaran semacam ini adalah bahwa bahasa adalah intisari
penguasaan logika dan retorika. Bahwa agar orang dapat menguasai kaidah kaidah
pokok dalam berpikir, perlu belajar baik-baik untuk menghubungkan kata yang
satu dengan yang lain, hingga dapat dicapai kejelasan tata. Maka rasio dapat
memperoleh bahan-bahan untuk bekerja atau bertindak. Dengan demikian jiwa, jadi
aku, dapat mengadakan hubungan ke dalam, artinya dengan sendiri; yaitu dengan
orang lain.
Lain dari pada latihan-latihan
di atas, semantik juga mempunyai peranan yang sangat penting. Pengetahuan ini,
yang mengajarkan arti dari pada arti, dapat menjadi bekal cara berpikir yang
lurus dan kaya. Cara inidapat mengantarkan seseorang berpikir dengan berhasil,
karena bersendikan atas konsep-konsep yang abstrak.
Letak disiplin mental bila
dihubungkan dengan gambaran piramida menurut Aristoteles ada pada salah satu
bagian puncak dari piramida tersebut. Berarti dalam soal belajar yang terpenting
adalah mengenai esensi, termasuk esensi dari materi yang diberikan kepada anak
didik. Dan kualitas materi dari yang esensial adalah lebih sedikit dibanding
dengan yang lain-lain.
Segi-segi yang bersifat
esensial merupakan hasil saja dari kuantita materi keseluruhan. Maka dengan
sendirinya materi di luar itu merupakan kuantita yang lebih segar dan ini dapat
diujudkan dalamproses belajar sebagi perbuatan pengalaman langsung atau tidak
langsung. Ini diuashakan terus bergerak dari hal-hal yang bersifat perifir
sampai kepada yang hakiki dan metafisis.
Dalam rangka mencapai uasaha
efesiensi dalam belajar, menggerakkan kognisi (mengetahui), afeksi (merasa) dan
konasi (berbuat), merupakan kegiatan yang perlu mendapat perhatian yang cukup.
Tujuannya tidak lain adalah agar anak didik mengalami perkembangan kepribadian
yang utuh (integral) dan seimbang sesuai dengan pandangan bahwa manusia itu
bersifat psikosomatis.
Belajar dapat dibedakan menjadi
dua, iaitu belajar karana pengajaran dan belajar karena penemuan. Untuk yang
pertama, adalah guru memberikan penerangan atau pengetahuan, juga mengadakan
pencerahan. Pencerahan ini dapat dilakukan dengan jalan menunjukkan dan
menafsirkan implikasi dari pengetahuan dan ilmu yang diberikan.
Untuk tipe belajar yang kedua tidak
lagi memerlukan guru, siswa diharapkan telah dapat belajar atas kemampuannya
sendiri.
PANDANGAN TENTANG KURIKULUM
Tugas utama pendidikan adalah
mempersiapkan anak disik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya.
Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut.
Perenialis tidak
mengesampingkan memorisasi. Meskipun diketahui benar memorisasi itu bersifat
mekanis, karena belajar mempunyai peranan untuk menerima benih-benih yang baik,
maka memorisasi diperlukan. Memorisasi diperlukan agar benih-benih tersebut
berada dengan baik dalam jiwa anak didik sebelum dapat berakar dan tumbuh.
Sejalan dengan pandangan di
atas, perenialisme sangat menghargai pengalaman yang tidak langsung, meskipun
tidak mengesampingkan pengalaman langsung. Diyakini pula agar mata
pelajaran-mata pelajaran yang diterima anak didik dapat mencapai integrasi
diperlukan adanya pengalaman langsung. Lain dari pada itu pengalaman langsung
diperlukan untuk mempelajari kebutuhan riil manusia.
Sekolah rendah memberikan
pendidikan dan pengetahuan yang serba dasar. Dengan pengetahuan yang
tradisional seperti mebaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar
penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Tugas sekolah rendah yang lain adalah pendidikan watak dengan
tekanan utama pada kebajikan-kebajikan moral. Untuk ini, yang diperlukan adalah
penanaman dan latihan yang memadai agar tertanamanya kebajikan itu menjadi
kuat.
Oleh karena pendidikan rendah
baru memberikan pendidikan dasar, maka belum dapat dijadikan dasar pembaharuan
sosial dalam arti sesungguhnya. Di samping itu belum juga dapat disebut sebagai
badan untuk mengadakan pembaharuan sosial.
Prinsip-prinsip kurikulum untuk sekolah menengah dengan suatu
prinsip peningkatan pemasakan akal anak didik. Peningkatan ini adalah dalam
bentuk pendidikan umum, yang menuntun perkembangan umum, psikis dan fisik anak
didik yang berumur dari 12 sampai 20 tahun.
Bagi mereka yang berumur 12
sampai 16 tahun kurikulum yang diperlukan terdiri dari bahasa-bahasa modern.
Penguasaan bahasa akan merupakan usaha pengenalan dunia luas bagi anak didik.
Anak didik yang berumur 16
tahun sampai 20 tahun perlu mendapatkan pengetahuan dengan kelompok:
(a)
Yang
merupakan kunci dari penalaran seperti logika, retorika, paramasastera dan ilmu
pasti;
(b)
Yang
termasuk ke dalam “buku-buku” besar sepanjang masa. Golongan ini adalah tulisan
dari tokoh-tokoh besar, yang karenanya bernilai besar pula sepanjang masa.
Golongan yang pertama adalah
pengetahuan yang dapat meningkatkan atau mempertinggikecerdasan akal, sedangkan
golongan kedua adalah isi hakiki dari kebudayaan.
Kelompok-kelompok pengetahuan tersebut
di atas bila dilanjutkan pada taraf pendidikan umum. Tugas pendidikan umum ini
diselenggarakan pada tahun-tahun pertama.
Mengenai hakekat pendidikan tinggi
ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalu pada Abad
Pertengahan bersifat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat
metafisika. Filsafat ini ada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di
samping itu, dikatakan pul a bahwa
karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting, maka perguruan tinggi tidak
seyogyanya bersifat utilistis.
Sifat rang demikian itu telah
sewajarnya dimiliki oleh perguruan tinggi. Untuk ini dapat dijelaskan bahwa
meskipun perguruan tinggi di samping filsafat juga memlihara ilmu-ilmu lain,
hubungan ilmu-ilmu ini dengan metafisika tetap ada. Misalnya,ilmu-ilmu sosial
tentu mempunyai sangkut paut dengan filsafat praktis. Kalau dihubungkan dengan
peri kesusilaan dalam pergaulan antar manusia, hal ini akan menyangkut etika.
Oleh karena mengenai etika, maka dengan sendirinya mempunyai hubungan dengan
metafisika pula.
BAB IV
METODE
PENDAHULUAN
Pembicaraan mengenai suatu bidang
studitidak lengkap bila tidak disertai dengan tinjauan mengenai metode. Oleh
karena yang dimaksud dengan metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji
dan menyusun data, yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut, maka
usaha pengembangan metode itu sendiri merupakan syarat mutlak. Dengan demikian,
dengan melalui tinjauan akademik, pengetahuan mengenai metode ini merupakan
bagian yang tiada terpisahkan dari
keseluruhan
disiplin yang bersangkutan.
Usaha untuk mengenal ciri-ciri metode
dalam filsafat pendidikan, dapat dilakukan lewat pengenalan mengenai ciri-ciri
perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan (science) pada umumnya. Hal ini
diteruskan dengan pengetahuan tentang jenis pertanyaan dalam pendidikan itu
yang termasuk dalam lingkup filsafat pendidikan. Dengan mengadakan identifikasi
ini pengenalan mengenai metode dapat dipermudah, karena hasil identifikasi
dapat memberi penerangan dan memperjelas lingkup filsafat pendidikan.
Dengan berpedoman pada dasr-dasar di
atas, uraian di bawah ini berturut-turut adalah mengenai: ciri-ciri perbedaan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan (science) dan gambaran mengenai masalah
metode.
FILSAFAT
DAN ILMU PENGETAHUAN
Dalam sebuah analisa mengenai
filsafat, ilmu dan filsafat pendidikan dalam bukunya yang berjudul Introduction
to Philosophy of Education, Stella Van Petten Henderson mengemukakan, bahwa
filsafat selalu berusaha untuk memahami segala sesuatau yang timbul dalam
spektrum pengalaman manusia; dan berusaha untuk memperoleh pandangan yang luas
(komprehensif) mengenai alam, dan mampu memberikan penerangan yang universal
mengenai hakekat benda-benda (segala sesuatu).
Dengan demikian jelaslah bahwa
filsafat bukan hanya pengetahuan, tetapi berusaha menyelami hal-hal yang berada
di balik pengetahuan tersebut, untuk memahami adanya saling hubungan satu sama
lain. Dengan mengetahui saling hubungan ini diharapkan dapat dikenal adanya
implikasi yang dapat diperkirakan. Maka, sampailah fungsi dari filsafat sebagia
ilmu yang menjadi sumber kebajikan manusia. Artinya, dengan dasar pengetahuan
yang bersifat filosofis ini diharapkan orang dapat memberikan pendapat dan
keputusan yang serba bijaksana.
Baik ditinjau dari sudut peranan
filsafat maupun dari sistem implikatif peranan sebagai sumber kebajikan, nampak
adanya perbedaan hakiki antara filsafat dan ilmu pada umumnya. Kalau filsafat
memandang sesuatu secara “sinopsis”, ilmu menjurus ke bagian-bagian dengan
tujuan yang serba mendalam tiap bagian yang kecil sekalipun. Dengan berdasarkan
atas pengetahuan yang dapat dikumpulkan dari berbagai jenis lapangan tersebut,
”….filsafat berusaha untuk melihat alam semesta sebagai keseluruhan dan tempat
manusia di dalamnya. Keseluruhan mempunyai sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh
bagian-bagiannya dan semua sifat ini merupakan fokus utama dari filsafat.
Ilmu berusaha untuk mengetahui fakta
sebagaimana adanya, sedangkan filsafat berusaha mendalami bagaimana seharusnya
sesuatu itu. Dalam hal penemuan yang telah dihasilkan oleh suatu ilmu, filsafat
dapat membantu pemikiran tentang bagaimana hasil itu dapat digunakan sejauh
keperluan peningkatan kesejahteraan manusia.
Dalam ilmu, pengalaman manusia
merupakan permulaan dari usaha penelitian dan pengungkapan fakta, dan
pengalaman itu pula akan merupakan tempat untuk menguji hasil-hasil yang telah
dicapai. Filsafat, dalam usaha penelitian dan pengungkapan data mulai pula dari
pengalaman, tetapi karena hasil yang hendak dicapai itu bersifat komprehensif
dan berada di balik fakta dan pengalaman itu sendiri, maka akallah dengan
keterampilan ulah fikir, mampu menjangkau jauh ke arah kesimpulan-kesimpilan
yang hakiki.
Hal di atas dapat diterangkan dengan
kata lain, filsafat dan ilmu pengetahuan itu bersifat komplementer. Filsafat
dapat menetukan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh manusia demi peningkatan
ketenangan dan kesejahteraan hidup, pergaulan dan bernegara. Untuk ini bagi
bangsa Indonesia telah menemukan melalui filsafat Pancasila. Ilmu pengetahuan,
dengan dasar pijak tersebut di atas, berusaha dengan segala kegiatannya.
Mengumpulkan data atas dasar pengalaman untuk membantu bagaimana tujuan-tujuan
di atas dapat tercapai. Dengan demikian keyakinan akan kebenaran filsafat
Pancasila dapat terus ditingkatkan dan kebajikan dapat dirumuskan.
Adapun kedudukan filsafat pendidikan
dalam hal penemuan yang bersifat melampaui pengalaman ini adalah “penerapan
filsafat terhadap studi problema-problema pendidikan.” Maka, jelaslah bahwa
problema-problema tersebut harus yang memang sewajarnya ditinjau secara
filosofis.
Untuk memperjelas bagaimanasifat kadar
ilmiah dan filosofis, dalam rangka memahami makna metode filosofis, Anderson
mengihtiarkan hubungan antara ilmu pengetahuan dan filsafat sebagai berikut :
Ilmu Pengetahuan :
1.
Aslinya,
anak dari filsafat.
2.
Analitis,
meneliti semua fenomena setiap saat timbul dan melukiskan menurut
bagian-bagiannya.
3.
Memperhatikan
fakta, melukiskan sebagaimana adanya, berusaha mengadakan abstraksi dari
keinginan dan harapan manusia.
4.
Memulai
dengan asumsi-asumsi.
5.
Menggunakan
eksperimen sebagai salah satu metode utama; mengadakan pembuktian dengan alat
pengalaman indera.
Filsafat :
1.
Ibu
dari pengetahuan.
2.
Sinopsis,
meneliti dunia sampai alam semesta sebagai keseluruhan, dan sebagai mungkin
berusaha menerangkan dan memahami keseluruhan.
3.
Tidak
hanya memperhatikan benda-benda seperti adanya, melainkan sebagaimana mereka
seharusnya. Kehendak dan nilai-nilai pada manusia adalah faktor yang penting.
4.
Meneliti
senua pertanyaan dan semua asumsi.
5.
Memperhatikan
hasil penemuan utama dari ilmu, mengadakan pembukitan dengan akal yang
berdasarkan atas pengalaman manusia.
Dari perbandingan tersebut di
atas tampak sifat yang radikal daripada filsafat dibanding dengan ilmu
pengetahuan. Hal ini terlukiskan dalam istilah-istilah sinopsis dan melihat
segala sesuatu dari sudut keseluruhan, meninjau segala sesuatu tidak hanya dari
sudut keadaanya sekarang, juga dari sudut bagaimana seharusnya, dan menguji dan
memperhatikan semua asumsi.
Sifat-sifat tersebut di atas
menunjukkan bahwa filsafat, dalam arti metodologis, menggunakan sudut pandangan
hakiki terhadap obyeknya. Ini merupakan kekhususan atau suatu corak utama dari
filsafat tersebut.
Berhubung dengan corak
tersebutdi atas, hal-hal yang menjadi lingkup filsafat pendidikan untuk
diteliti adalah yang diawali oleh corak pertanyaan yang bersifat teoritik dan
hakiki; dan yang tidak hanya melihat hal sesuatunya itu dari sudut keadaan
sekarang, melainkan bagaimana seharusnya di masa yang akan datang. Hasil yang
dicapai memberikan pandangan jangkauan ke depan dan bersifat hakiki.
FILSAFAT
TRADISIONAL DAN FILSAFAT KRITIS
Sudah barang tentu dalam
berbagai jenis penelitian filsafat pendidikan, selain pertanyaan-pertanyaan
yang hendak dicari jawabanya harus bersifat filosofis, pertanyaan-pertanyaan
itu sendiri haruslah diketemukan. Untuk ini terlebih dahulu perlu ada tinjauan
tentang penegrtian filsafat tradisional dan filsafat kritis.
Filsafat tradisional adalah filsafat
sebagaimana adanya sistematika, jenis, serta aliran sebagaimana dijumpai dalam
sejarah. Jadi, kalau diajukan pertanyaan-pertanyaan maka jawab yang diperlukan
ada melekat pada masing-masing jenis tersebut. Lain halnya dengan filsafat
kritis, pertanyaan-pertanyaan yang dapat disusun dapat dilepaskan dari ikatan
waktu (historis) dan usaha mencari jawab dapat “memobilisasikan” berbagai
aliran yang ada. Sedangkan jawab yang diperlukan dapat dicari dari
masing-masing aliran itu sendiri, diambilkan dari jenis masalah yang
bersangkutan dengan aliran yang bersangkutan.
Berbeda dengan dalam pengertian
filsafat kritis (critical philosophy) hal-hal yang diutarakan di atas
diusahakan penyelesaiannya dengan melalui jalan lain. Pertanyaan-pertanyaan
filosofis diusahakan jawabannya melalui analisa filosofis pula.
Analisa filosofis dan kritis
diperlukan, karena data yang diperlukan bukanlah yang diketemukan dari
penelitian laboratoria, melainkan dari perenungan. Harry Schofield mengatakan
bahwa analisa filosofis pada hakekatnya terdiri dari analisa linguistik dan
analisa konsep. Yang pertama adalah usaha untuk mengetahui arti yang
sesungguhnya dari sesuatu ; sedangkan yang kedua adalah analisa kata-kata yang
dapat dikatakan kunci atau pokok, yang mewakili suatu gagasan atau konsep. Pada
hakekatnya dua jenis analisa ini tidak dapat dipisahkan atau sama lain.
ANALISA BAHASA DAN ANALISA
KONSEP
Dua jenis analisa tersebut dikemukakan
agar penelitian filsafat tidaklah semata-mata mengadakan pendekatan yang
“historiko filosofis”, melainkan agar berfilsafat dalam arti sesungguhnya. Yang
pertama adalah mengadakan diteksi dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mana
yang telah mendapat jawab dari para ahli filsafat sepanjang sejarah. Dari
sekian jawab, dipilih oleh penanya mana yang sesuai dan dibutuhkan. Cara ini
sebenarnya bagi peneliti, bukanlah mengemukakan problema filosofis dan dijawab
secara filosofis pula.
Adapun cara yang kedua peneliti
mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan diusahakan jawabnyayang bersifat
filosofis pula. Cara ini berarti bahwa peneliti tersebut dapat benar-benar
terlibat dalam prosese penelitian itu sendiri.
Dua jenis pendekatan tersebut di atas
mempunyai makna penting baik bagi analisa bahasa maupun analisa isi.
Lebih-lebih lagi bila diingat bahwa analisa isi itu akan mungkin sekali
menyangkut berbagai istilah yang berkembang dari zamanke zaman, yang menyangkut
beberapa perubahan variabel. Semuanya ini akan menyangkut tinjauan mengenai
bahasa, meskipun mungkin tidak nampak adaanya perubahan prinsip-prinsip
problema sepanjang sejarah.
Analisa bahasa (linguistik) menurut
harry Schofield, adalah usaha untuk mengadakan interpretasi yang menyangkut
pendapat atau pendapat-pendapat mengenai makna yang dimilikinya. Di samping
itu, analisa konsep adalah suatu analisa mengenai istilah-istilah (kata-kata)
yang mewakili gagasan atau konsep. Contoh jenis-jenis tersebut adalah :
Penerapan analisa bahasa (linguistik)
antara lain untuk “sejarah adalah perkembangan yang menarik”. Sedangkan bila
usaha untuk mengetahui makna dari “sejarah” saja diperlukan analisa konsep.
a)
Analisa Bahasa
oleh karena bahasa itu dapat digunakan
secara rasional dan emosional, filsafat mengutamakan jenis yang pertama. Hal
ini penting untuk dijadikan pegangan, karena biasanya penggunaan bahasa yang
emosional itu berisikan prasangka dan gagasan-gagasan yang telah ada dahulu.
Maka dari itu ulasan-ulasan yang bersifat memasukkan unsur perasaan akan dapat
mengurangi sifat keobyektifan dari interpretasi atau pemberian arti.
Sehubungan dengan dasar analisa bahasa
yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa pengertian mengenai filsafat
pendidikan akan menggunakan sumber-sumber tertulis sebagai sumber pengambilan data.
Maka dari itu prinsip-prinsip yang berlaku mengenai penelitian deskriktif dan
historis dapat diterapkan bagi filsafat pendidikan. Termasuk dalam lingkup ini
antara lain : pemilihan dan pengumpulan sumber, kritik terhadap sumber, baik
yang eksteren maupun yang intern, dan analisa dokumen untuk mencari jawab
pertanyaan-pertanyaan yang menunjuk kepada jenis data yang diharapkan.
Dengan mengemukakan satu deretan
pertanyaan-pertanyaan yang mempunyai hubungan satu sama lain, diharapkan agar
analisa dokumen ini bukanlah semata-mata memperhatikan satu atau dua kata,
tetapi konsep-konsep dalam konteks yang semestinya. Schofield, dalam hubungan
ini mengemukakan, bahwa bila orang akan mempelajari makna dari “pendidikan
komprehensif”, ia tidak hanya memperhatikan kata-kata, tetepi juga perlu
memperhatikan gagasan-gagasan. Gagasan-gagasan ini adalah yang mempunyai
pengaruh terhadap seseorang sebagai orang tua, guru dan terhadap anak didik
sebagai seseorang yang akan dididik.
Di bawah ini adalah beberapa contoh yang lain sebagai penjelasan :
a)
Makna dari pendididkan pembangunan, perlu ditelaah ke dalam konteks makna dari
pembangunan itu sendiri, tujuan, peranan, fungsi dan sasaran-sasarannya.
b)
Makna dari pendidikan formal perlu dipelajari antara lain dalam konteks, makna
dan tujuan pendidikan nasional, sarana pencapaian dan jenis lembaga yang
diperlukan.
c)
Makna dari pendidikan non formal perlu ditelaah dalam hubungan dengan makna
pendidikan nasional, pendidikan formal dan peranan pendidikan bagi pengembangan
umum masyarakat.
d) Makna dari pendidikan tinggi suatu bangsa dapat
dipelajari dalam hubungannya dengan gagasan pengembangan ilmu dan kesejahteraan
bangsa di masa-masa yang akan datang.
b) Analisa Konsep
sesudah pada bagian-bagian di muka dibicarakan mengenai
analisa bahasa (linguistik), sampailah sekarang pada pembicaraan tentang anlisa
konsep. Hal ini adalah mengenai kata-kata yang dipandang pokok atau kunci, yang
mewakili gagasan suatu konsep.
Bila suatu analisa berusaha untuk menjawab mengenai apa-nya
sesuatu, makna apa yang dilakukan ini adalah analisa filosofis. Jawab ini akan
berbentuk sebagai definisi-definisi. Dalam hubungan dengan sumber-sumber
tertulis-sebagai sumber-sumber pengambilan data-maka definisi-definisi yang
diperlukan haruslah diangkat dari sumber-sumber tersebut. Di bawah ini adalah
beberapa cara :
(1) Secara historiko
filosofis.
Dengan berpijak pada
definisi sebagai dasar, maka analisa historiko filosofis akan mengungkapkan
suatu deretan definisi mengenai pendidikan dari Zaman Kuno sampai sekarang ini.
Tokoh-tokoh yang mempunyai andil dalam hubungan ini misalnya : Plato,
Aristoteles, Bertrand Russell, John Milton, Comenius, Mangkunagoro IV,
Yasadipura, Ranggawarsita, Mohammad Syafii, KHA Dachlan dan Ki Hadjar
Dewantara.
Rangkaian definisi
yang dapat diketemukan dalam analisa dokumen secara historika filosofis belum
dapat menjawab terakhir mengenai makna dari pendidikan itu sendiri. Orang masih
mempunyai kecenderungan untuk menerima beberapa dan tidak menggunakan yang
lain. Bila ditelaah sebab musabab sikap yang demikian ini, alasan yang dapat
dikemukakan adalah sering subyektif.
(2) Melalui tinjauan
tentang definisi
Agar dapat terhindar
dari kesulitan tersebut, studi filsafat perlu memperhatikan dua jenis definisi,
yang oleh Schofield dibedakan menjadi yang deskriptif dan yang stipulatif.
Definisi jenis pertama ini sering disebut definisi kamus (dictionary
definitions); definisi yang telah disusun dan telah merupakan standar. Bagi
seseorang yang mengadakan studi, persoalannya tinggal menerima atau tidak, atau
mengadakan elaborasi untuk mengubahnya.
Dengan memperhatikan
adanya kenyataan bahwa definisi-definisi mengenai pendidikan itu sendiri, usaha
untuk memikirkan makna dari pendidikan itu selalu ada proses. Dan dari inipun
dapat digambarkan bahwa pendidikan itu sendiri, usaha untuk memikirkan makna
dari pendidikan itu selalu berada dalam proses. Dan dari inipun dapat
digambarkan bahwa pendidikan, merupakan suatu “keluarga gagasan-gagasan yang
disatukan oleh jaringan (net work) kesaman-kesaman, yang saling melindih dan
bersilangan.
Ini berarti bahwa
untuk mengetahui makna pendidikan perlu diusahakan adanya tinjauan yang melihat
pensndidikan itu dari sudut proses, dan peneliti menempatkan diri sebagai
penanya yang bebas, baik dalam mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang relevan maupun mencari jawab yang
diperlukan. Cara ini adalah disebut cara
stipulatif.
Dalam hubungan
ini,Schofield bbbila pendidikan didefinisikan sebagai “ Pendidikan adalah…..”
merupakan sebuah definisi deskriptif; sedangkan bila “Pendidikan dpat
dipikirkan sebagai….” Adalh stipulatif. Atas dasar pijak ini dikembang kan
berbagai pemikiran yang memperjelas
makna dari pendidikan itu.
(3) Pendidikan sebagai
proses.
Dengan memperhatikan
pendidikan sebagai suatu proses, maka
agar dapat dikenal apakah suatu proses itu mempunyai aspek-aspek yang
termasuk ke dalam lingkup pendidikan , diperlukan standart untuk membandingkan.
Schofield, dengan mengutip pandangan dari
R.S. Peters, mengemukakan adanya tiga standard, untuk mengeahui suatu
proses itu termasuk ke dalam pendidikan atau bukan.
Dengan
mempertimbangkan revelansi, Peters memasukan tiga hal sebagai kriteria sebagai
berikut:
1. Pendidikan berisikan
pemindahan (transmission) apa yang berarti bagi mereka yang memerlukan
perkembangan untuk itu.
2. pendidikan haruslah
menyang kut pengetahuan dan pemahaman dan beberapa jen9is “perspektif kognitif”
yang tidak merupakan pembawaan.
3. Pendidikan akan
menyingkirkan beberapa prosodur pemindahan yang dapat mengabaikan kemauan dan
sikap sukarela dari pihak anak didik.8)
Tiga kriteria ini
mengandung unsur-unsur utama: nilai dan kebudayaan, yang dipindahkan dari satu
angkatan kepada angkatan berikutnya; pengetahuan dan pemahaman mengenai apa
saja yang dipindahklan; yang ketiga mengenai metode. Tiga unsur yang berupa
isi, keaktipan dan kemampuan yang diharapkan dari anak didik, serta metode yang
tepat, merupakan kesatuan yang menunjukkan ciri pengetian pendidikan.
Tinjauan seperti
tersebut dapat menghasilkan suatu kesatuan uth mengenai pandangan dalam
pendidikan. Denggan berpijak pada kriteria tersebut, peneliti dapat mengadakan
elaborasi penjabaran masalah yang tercakup pada tiap-tiap lingkup, dan setelah
ditinjau dalam bentuk-bentuk konsep, akan sampai kepada kesatuan gagasan
mengenai pendidikan.
Adapun dalam kaitannya
dengan analisa dokumen dan pengembangan konsep selanjutnya, Schofield
menunjukkan adanyanya beberapa rangkaian usaha agar sampai kepada hasil yang
setepatnya sebagai berikut:
1. berusaha untuk
menemukan kembali arti istilah-istilah pendidikan yamg bersangkutan (khusus),
yang telah kabur karena penggunaan istilah tersebut yang kurang teliti.
2. Konsep-konsep
tersebut dinilai obyektif, berarti menjauhkan dari gagasan-gagasan yang telah
ada pre-konsepsi.
3. Analisa yang
digunakan hendaklah bersendikan atas penerapan logika dan bukan semata-mata
atas dogmatisme. Hendaklah bukan karena reputasi seseorang suatu konsep
dinyatakan benar, melainkan karena secara obyektif dapat digunakan sebagai
pegangan.
4. Suatu proses
penemuan hendaklah didasarkan pada pemahaman yang jelas mengenai hubungan
antara pikiran, bahasa dan realita. Apa yang merupakan hasil pikiran, haruslah
dapat dilukiskan dengan bahasa, dan memenuhi syarat sebagai realita.9)
0 Response to "Filsafat Umum"
Post a Comment
Komentarnya ya...