Filsafat Umum

 

FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN

 

 Antara filasafat dan ilmu pengetahuan, di samping adanya kesamaan-kesamaan, terdapat pula perbedaan-perbedaan yang prinsipil. Hal ini menurut adanya sistim berpikir yang berbeda.

 Baik ilmu pengetahuan maupun filsafat tertarik pada pengetahuan, yang merupakan materi-materi atau perbendaharaan milik manusia sebagai hasil dari usahanya untuk mengetahui. Kedua-duanya adalah lapangan yang mengadakan pemerikasaan dan penemuan. Berarti bahwa untuk semuanya di perlukan aturan-aturan tertentu yang mengikat.

 Adapun perbedaan utama yang terdapat antara filsafat dan ilmu pengetahuan pada jenis dan macam pengetahuan yang di cari. Dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat “yang di terima saja”, filasafat berusaha memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-lain pandangan dan sikap yang praktis. Oleh karenanya bersifat radikal, filasafat tidak mengarahkan pandangan-pandangannya kepada sebab-sebab terdekat, melainkan kepada mengapanya yang terakhir sepanjang kemampuan yang ada yang dapat di capai oleh akal budi manusia.

 Fakta, dalam filasafat, adalah suatu hasil tinjaun dan penelitian yang merupakam hasil interpretasi atau penafsiran dalam konteks dengan lingkungan-lingkungan yang lebih luas. Makna dari pengetahuan tentang atom, baru mulai tampak bila di hubungkan dengan peradaban. Misalnya seorang ahli atom berusaha menemukan fakta, menciptakan tehnik-tehnik yang di perlukan dan menyusun instrumen-instrumen yang di perlukan. Semuanya ini di lakukan demi pengetahuan tentang atom itu dan dapat makin luas dan mendalam. Akan tetapi mungkin sekali ahli atom itu kurang atau tidak memperhatikan apa yang di perbuat manusia, atau malahan apa yang seharusnya di lakukan. Hal ini menjadi tugas dari filsafat, karena menyangkut nilai, yang berarti filsafat akan menetukan apa yang paling baik yang harus menjadi pegangan manusia.

  Jelaslah bahwa apabila ilmu pengetahuan menjurus kepada sasaran yang sempit dan tinjauan yang mendalam, filsafat menjurus kepada sasaran yang sempit dan tinjauan yang mendalam, filsafat menjurus pada sasaran yang luas, menyeluruh, total dan komprehensif.

 

FILSAFAT DAN ILMU PENDIDIKAN

          Orang pada zaman sekarang ini telah menyakini tentang eksistensi pendidikan dari yang sifatnya umum sampai kepada yang khusus. Keyakinan itu di perkuat dengan berkembangnya metode dan cara analisa yang dapat di percaya untuk menghasilkan data yang di percaya pula. Dengan bahasa ilmia lazim di katakan “Apa yang ada itu dapat di hayati karena dapat di ukur”.

           Prisip dasar yang di kemukakan oleh Thorndike ini menjadi salah satu motor pengerak pembangunan ilmu pendidikan, yang pada waktu ini dapat di hayati dengan pengungkapan data kuantitatif  yang merupakan salah satu dari kekayaannya. Tugas ilmu menjadi nampak hasilnya bila telah sampai pada terjangkaunya hasil-hasil penelitian yang pengujian hipotesa, laporan serta rekomendasinya.

           Di samping pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya kuantitatif seperti tersebut di atas, ada yang lain-lain yang memerlukan jawaban yang dapat menunjukan hakiki dan kearah mana pendidikan itu di bawah. Misalnya : Untuk apakah sebenarnya sekolah itu di dirikan ? Anak didik itu ada sebagai ia berada, sedangkan masyarakat dan negara menginginkan anak didik terbina sesuai idiologi yang telah digariskan. Maka timbul pernyataan apah yang seharusnya pendidik lakukan untuk memimpin anak didik itu untuk mewujudkan tujuan di atas.

           Jawab mengenai pertanyaan pertama harus berkisar pada konsep atau landasan pikiran bahwa pendidikan memerlukan suatu lembaga di luar keluarga, yang mempunyai peranan bagi terbinanya masyarakat yang ideal.

           Sedangkan untuk pertanyaan kedua di perlukan jawaban yang berupa konsep-konsep tentang isi dan proses yang mempertemuakn potensi anak didik dan gambaran manusia ideal menurut masyarakat dan negara itu.

           Dua jenis pertanyaan menganai pendidkan di atas bersifat filosofis dan memerlukan jawapan filosofis pula. Maka dari itu di maksudkan ke dalam bidang filsafat pendidikan.

 

FILSAFAT PENDIDIKAN

           Di atas telah di rumuskan bahwa filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Oleh karena bersifat filosofis dengan sendirinya filsafat pendidikan ini pada hakekatnya adalah penerapan suatau analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan.

           Hubungan antara filsafat dan ilmu pendidikan tidak hanya ke-Insidetal, melainkan suatu keharusan. John Dewey, seorang filsuf Amerika, mengatakan bahwa filsafat itu adalah teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan. Lebih dari itu, memang filsafat mengejukan pertanyaan-pertanyaan dan menyelidiki faktor-faktor realita dan pengalaman yang banyak terdapat dalam lapangan pendidikan.

           Oleh karena filsafat mengadakan tinjauan yang luas mengenai realita, maka di kupaslah antara lain pandangan dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep mengenai ini dapat menjadi landasan penyusunan konsep tujuan dan metodologi  pendidikan. Di samping itu, pengalaman pendidik dalam menuntun  pertumbuhan dan perkembangan anak akan berhubungan dan berkenalan dengan realita. Semuanya ini dapat di sampaikan kepada filsafat untuk dijadikan bahan-bahan pertimbngan dan tinjauan untuk memperkembangkan diri.

           Sebagai contoh, dapat dikemukakan bahwa filsafat mengadakan soal aku dan tujuan, yang perlu menjadi perhatian pendidikan sebelum ia terjun-aktif-dalam prosesnya. Bahwa pandangan filsafat karena akunya manusia (individu) adalah sesuatu yang lain dari pada yang lain, dapat menjadi landasan pandangan mengenai hakekat anak didik. Berarti pandangan mengenai kesungguhan (forma substansialis) mengenai manusia ini dapat   menjelma   menjadi pandangan pendidik mengenai anak didik. Beberapa misal diutarakan di bawah ini.

           Bila pendidik memandang forma substansial manusia bersifat biologis, dapat mempunyai visi pendidikan yang naturalistis. Pendidik dalam lingkungan ini adalah Jean Jacques Rousseau, yang menuliskan pandangan-pandangannya dalam bukunya yang berjudul Emile. Dalam buku ini dituliskan bahwa latihan indera adalah praktek pendidikan yang amat penting artinya.

           Lain halnya bila anak didik dipandang sebagai makhluk spritual. Landasan untuk menentukan ide dan tujuan pendidikan adalah pandangan keabadian dan ke-Tuhan-an. Anak didik dipandang mempunyai kepribadian-bukan sebagai entitet mekanistes belaka.

           Filsafat pendidikan telah sewajarnya dipelajari oleh mereka yang memperdalam ilmu pendidikan dan keguruan. Ada beberapa alasan untuk ini :

           (a).  Adanya problema-problema pendidikan yang timbul dari zaman ke zaman yang menjadi perhatian ahlinya masing-masing. Pendidikan adalah usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin bangasa dan masyarakat. Banyak tulisan yang dihasilkan oleh ahli fikir, dan tidak jarang gagasan ahli yang satu mempengaruhi ahli-ahli yang lain. Corak gagasan yang berlandaskan filsafat sering timbul dari ahli-ahli fikir. Hal ini masuk dalam lapangan filsafat pendidikan.

           (b). Dapatlah diperkirakan bahwa barang siapa yang mempelajari filsafat pendidikan dapat mempunyai pandangan-pandangan yang jangkauannya melampaui hal-hal yang diketemukan secara eksperimental atau empirik. Maka dari itu filsafat pendidikan dapat diharapkan merupakan bekal untuk meninjau pendidikan beserta masalah-masalahnya secara kritis.

(c)  Dapat terpenuhi tuntutan intelektual dan akademik. Dengan landasan azas bahwa berfilsafat adalah berpikir logis yang runtut-teratur dan kritis, maka berfilsafat pendidikan berarti memiliki kemampuan semacam itu. Oleh karena itu diharapkan dapat mempunyai pengaruh terbentuknya pribadi pendidik yang baik. Maka, mempelajari filsafat pendidikan itu mengandung optimisme dan menggembirakan .

 

SISTEM-SISTEM FILSAFAT

          Filsafat, sebagai ilmu yang mengadakan tinjauan dan mempelajari obyeknya dari sudut hakekat ini, berhadapan dengan beberapa problema utama. Ini meliputi :

a)     Realita, ialah mengenai kenyataan, yang selanjutnya menjurus kepada masalah kebenaran. Kebenaran akan timbul bila orang telah dapat menarik kesimpulan bahwa pengetahuan yang dimiliki ini telah nyata. Realita atau kenyataan ini dipelajari oleh metafisika.

b)     Pengetahuan, yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan itu, dan jenis-jenis pengetahuan. Pengetahuan dipelajari oleh epistemologi.

c)     Nilai, yang dipelajari oleh cabang filsafat yang disebut aksiologi. Pertanyaan-pertanyaan yang dicari jawabnya antara lain adalah seperti: nilai-nilai yang bagaimanakah yang dikehendaki oleh manusia dan yang dapat digunakan sebagai dasar hidupnya.

 

Di samping adanya tiga problem utama, ada promlem yang masuk ke dalam ruang lingkup pengetahuan (b). Ini menyangkut masalah hubungan yang benar dan tepat antar gagasan-gagasan yang telah dimiliki oleh manusia. Cabang filsafat yang mempelajari lapangan ini adalah logika (Ajaran berpikir).

 

John S. Brubacher, gurubesar filsafat di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa filsafat dan pendidikan itu mempunyai hubungan yang erat satu sama lain karena problema-problema tersebut berada dalam lingkungan dua disiplin ini. Pendidikan, dalam pengembangan konsep-konsepnya dapat antara lain, mengunakan sebagai dasar hasil-hasil yang dicapai olehcabang-cabang di atas.

Dalam menyelenggarakan pendidikan diperlukan pendirian mengenai pandangan dunia yang bagaimana yang diperlukan oleh kita ini. Hal ini termasuk di dalam lingkungan metafisika.

Epistemologi diperlukan antara lain dalam hubungan dengan penyusunan dasar-dasr kurikulum. Kurikulum yang lazim diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh siswa atau murid dalam usahanya untuk mengenal dan memahami pengetahuan. Agar mereka berhasil dalam mencapai tujuan ini perlu mengenal hakekat pengetahuan, sedikit demi sedikit.

Aksiologi sebagai cabang yang filsafat yang mempelajari nilai-nilai dekat pula dengan ilmupendidikan, karena dunia nilai menjadi dasar pendidikan pula dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam menentukan tujuan-tujuan pendidikan. Perumusan mengenai tujuan yang tanpa memperhatikan prinsip-prinsip dari dunia nilai adalah hampa. Di samping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai.

Logika sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai ajaran berpikir diperlukan oleh pendidikan kecerdasan. Pendidikan kecerdasan menghendaki seseorang mampu mengutarakan pendapat dengan benar dantepat. Untuk ini ia memerlukan penguasaan logika dengan baik.

Di samping adanya beberapa problema dengan adanya cabang-cabang filsafat yang mempelajari masing-masing itu, ada pula aliran-aliran filsafat yang juga mempunyai visi tertentu terhadap masalah-masalah di atas. Dapatlah diidentifikasikan dalam hubungan ini; aliran-aliran naturalisme, idealisme, realisme, dan pragmatisme.

Masing-masing aliran ini mempunyai sumbangan tertentu terhadap pendidikan. Khusus mengenai ini akan dibicarakan dalam lingkup sistem-sistem filsafat pendidikan. Sebagai pengantar sebelum sampai kepada bagian tersebut akan dibicarakan lebih dahulu empat aliran itu pada garis besarnya

 

NATURALISME, IDEALISME, REALISME DAN PRAGMATISME.

 

           Pembicaraan berturut-turut tentang naturalisme, idealisme, realisme dan pragmatisme ini berdasarkan perkembangan menurut sejarah filsafat. Berarti naturalisme adalah aliran yang tertua sedangkan pragmatisme yang paling muda. Di samping itu perlu kiranya dicatat bahwa di sela-sela aliran-aliran pokok itu terdapat aliran-aliran lain yang lebih sempit.

            Tinjauan mengenai masing-masing di bawah ini terutama akan mengenai kenyataan. Oleh karena kenyataan adalah masalah utama maka tinjauan tentang ini dapat dianggap memberikan gambaran mengenai ciri pokok yang dimiliki oleh empat aliran tersebut.

            Naturalisme mempunyai pandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya  adalah alam-semesta-fisik ini. Hal ini berarti bahwa yang dimaksud adalah bukan kenyataan spritual atau supernatural maka, menurut naturalisme, jiwa itu dapat menurun kedudukannya menjadi dan mempunyai hakikat sebagai unsur-unsur materi. Maka, naturalisme dapat menjadi materialisme.

            Filsafat naturalisme adalah filsafat dunia ini, karena memandang sesuatu ini berasal dari alam, dan tiada sesuatupun yang ada ini terdapat di baliknya. Atas dasr prinsip ini naturalisme modern cenderung untuk menjadi pluralisme; suatu faham yang berpendirian, bahwa kenyataan itu dapat terdiri dari banyak tipe benda-benda alamiah.

            Idealisme mempunyai pendirian bahwa kenyataan itu terdiri dari atau tersusun atas substansi sebagaimana-gagasan-gagasan (ide-ide) atau sspirit. Alam fisik ini tergantung dari Jiwa Universal atau Tuhan, yang berarti pula bahwa alam adlah ekspresi dan Jiwa tersebut.

            Jiwa mempunyai tempat utama dalam susunan alam semesta ini karenanya dinia yang sebenarnya adalah berbeda dengan apa yang nampak oleh indera di hadapan manusia. Lain dari pada itu dunia beserta bagian-bagiannya harus dipandang sebagai mempunyai hubungan satu sama lain, Sehingga keseluruhannya merupakan suatu sistem. Dunia adalah suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis dan bersifat spritual.

            Realisme adalah filsafat yang timbul pada zaman modern dan sering disebut ‘’anak’’ dari naturalisme. Dengan berpandangan bahwa obyek atau dunia luar itu adalah nyata pada sendirinya, relisme memandang pula bahwa kenyataan itu berbeda dengan jiwa yang mengetahui obyek atau dunia luar tersebut. Kenyataan ini tidak sepenuhnya bergantung dari jiwa yang mengetahui, tetapi merupakanhasil pertemuan dengan obyeknya.

            Orang dapat memiliki pengetahuan yang kurang tepat mengenai benda atau sesutu hal yang sesungguhnya, tetapi sebaliknya dapat memiliki gambaran yang tepat mengenai apa yang nampak. Maka dari itu pengamatan, penelitian dan penarikan kesimpulan mengenai hasil-hasilnya perlu agar dapat diperoleh gambaran yang tepat secara langsung dan tidak langsung mengenai sesuatu.

            Pragmatisme meletakan pemakaian mengenai sesuatu di atas pengetahuan itu sendiri. Maka dari itu utilitas (kegunaan) beserta kemampuan perwujudan nyata adalah hal-hal yang mempunyai kedudukan utama di sekitar pengetahuan mengenai sesuatu itu.

            Pragmatisme, karenanya, memandang realita sebagai suatu proses dalam waktu, yang berarti orang yang mengetahuimempunyai peranan untuk menciptakan atau mengembangkan hal-hal yang diketahui. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan tersebut dapat menjadi unsur penentu untuk mengembangkan pengetahuan itu pula.

            Filsafat berusaha untuk mengadakan penyelidikan mengenai hakekat dari segala sesuatu. Hal ini berarti filsafat berusaha mempelajari mana yang paling utama dari segala sesuatu itu. Di samping itu sepanjang zaman, filsafat menjadi sarana utama manusia untuk mengatur diri sendiri, menyesuaikan dan mengikuti perkembangan dan tuntutan keadaan. Oleh karena itu manusia dapat mengenal dirinya sendiri untuk menegakkan eksistensinya di dalam suatu lingkungan kebudayaan.

 

KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN

 

            Pendidikan, sebagai usaha manusia yang disengaja untuk memimpin angkatan muda untuk mencapai kedewasan dan meningkatkan taraf kesejahteraanya, berada dalam suatu lingkungan kebudayaan dan karenanya tidak dapat terlepas dari persoalan eksistensi tersebut di atas. Maka, untukmengetahui bagaimanakah sesungguhnya pendidikan itu berarti orang perlu melewati dan mendasarkan diri atas tinjauan filosofis.

            Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak beku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Maka dariitu pendidikan, sebagai usaha manusia yang merupakan refleksi dari kebudayaan, dapat diperkirakan mempunyai sifat-sifat yang sejiwa dengan kebudayaan tersebut.

            Corak-corak baru dari kebudayaan dan peradaban manusia, yang telah mendasari dan menjiwai sejarah manusia selama ini mengantarkan manusia ke zaman modern dan ultra modern. Untuk zaman-zaman ini pendorong utamanya adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dua lapangan ini, karena sifatnya yang selalu dianggap sebagai unsur-unsur potensial yang menimbulkan “revolusi” dalam peradaban manusia, dengansendirinya dapatr dipandang potensial pula dalam pendidikan.

 

KONSEP FILOSOFIS MENGENAI PENDIDIKAN.

 

            Perkembangan dan perubahan dalam lapangan pendidikan menimbulkan tantangan agar para pendidik mempunyai sikap tertentu yang telah bersendikan atas pendirian tertentu pula. Untuk ini, yang lazim dianut, menurut Theodore Brameld, adalah kemungkinan-kemungkinan sikap seperti konservatif, bebas dan modifikasi, regresif, atau radikal rekonstruktif.

            Beberapa sikap di atas dalam penjabarannya mengenai pendidikan dapat dirumuskan berikut :

 

a). Menghendaki pendidikan yang pada hakekatnya progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus.

            Pendidikan hendaklah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik untuk diterima saja, melainkan yang lebih penting dari pada itu adalah melatih kemampuan berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli. Yang dimaksud dengan berpikir adalah penerapan cara-cara ilmiah seperti mengadakan analisa, mengadakan pertimbangan, dan memilih diantara beberapa alternatif yang tersedia.

            Semuanya ini diperlukan oleh pendidikan agar orang yang melaksanakan dapat maju atau mengalami suatu progres. Dengan demikian orang akan dapat berbuat sesuatu dengan intelegen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dari lingkungan.

Aliran ini disebut progrevisme.

b).  Menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilai-nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan telah teruji oleh waktu.

            Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada di dalam “gudang” di luar ke jiwa anak didik. Ini berarti bahwa anak didik itu perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi yang tinggi.

Aliran ini disebut esensialisme.

c).  Yang menghendaki agar pendidikan kembali kepada jiwa yang menguasai Abad Pertengahan, karena jiwa abad pertengahan telah merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata kehidupan yang telah ditentukan secara rasional. Abad Pertengahan dengan jiwanya itu telah dapat menemukan adanya prinsip-prinsip pertama yang mempunyai peranan sebagai dasar pegangan intelektual manusia dan yang dapat menjadi sarana untuk menemukan evidensi—evidensi diri sendiri.

Aliran ini disebut perenialisme.

d).    Yang menghendaki agar anak didik dapat dibangkitkan kemampuannya untuk secara konsntruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan penyesuain seperti ini anak didik akan tetap berada dalam suasana aman dan bebas.

Aliran ini disebut rekonstruksianisme.

           Theodore Brameld mengutarakn bahwa visi-visi filosofis tersebut di atas tidak sepenuhnya utuh atau kompak, karena komponen-komponen yang membentuknya tidak sepenuhnya bersendikan pada satu corak. Namun, di samping itu satu sama lain mempunyai kesamaan pandangan sementara segi kefilsafatan, pendidikan dan kebudayaan, terutama antara  esensialisme dan perenialisme serta progresivisme dan rekonstruksianisme. Selain itu Brameld juga mengemukakan bahwa keempat aliranitu ada sebagai hasil dari usaha untuk menyusun dan menafsirkan teori-teori pendidikan utama, yang berarti semuanya adalah konsep. Konsep ini diharapkan menjadi landasan intelektual untuk menyusun, mengadakan analisa dan mencari saling hubungan antar unsur-unsur dari berbagai jenis pengalaman pendidikan dan kebudayaan.

           Dalam uraian-uraian berikutnya akan dipaparkan tiap-tiap aliran. Mula-mula secara umum, iaitu mengenai ciri-ciri utama disusul secara khusus : mengenai beberapa aspek pendidikan. Termasuk ke dalam ciri-ciri utama ini adalah pandangan mengenai realita, pengetahuan dan nilai dari tiap-tiap konsep, sedangkan pada bagian yang khusus akan dibicarakan masalah-masalahbelajar dan kurikulum.

 

           Oleh karena bagian umum tersebut memuat problema-problema dari filsafat (pada umumnya), maka dalam hubungannya dengan masing-masing konsep di atas (progresivisme, ensensialisme, perenialisme dan rekonstruksianisme), maka tinjauan bagian umum itu penulis harapkan telah dapat merupakan konsep sebagai pembawaan dari filsafat-filsafat pendungkungnya. Jadi bila di antara konsep tersebut ada dilandasi oleh lebih dari satu aliran filsafat, maka metafisika, espistemologi dan aksiologi tersebut merupakan konsep-konsep pembentuk suatu keutuhan.

           Bagian yang khusus, ialah yang mengenai pendidikan, diharapkan telah terambilkan aspek-aspek pendidikan yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas. Konsep mengenai belajar (secara umum ini) dan konsep mngenai kurikulum diharapkan oleh menulis mempunyai peranan sebagai misal variabel pendidikan yang dapat digunakan untuk menjangkau masalah-masalah yang bersifat praktis.

 

 

PROGRESIVISME

CIRI-CIRI UTAMA

           Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh penegtahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wahar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. Berhubung dengan itu progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.

           Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemapuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.

           Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti perhatian progresivisme, maka beberapa ilmu pengatahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagia-bagian utama dari kebudayaan. Kelompok ini meliputi: Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi dan Ilmu Alam.

           Ilmu-ilmu ini dipandang telah mengembangkan hal-hal yang hakiki bagi kemajuan kebudayaan pada umumnya, dan bagi pragmatisme pada khususnya. Ilmu hayat menunjukan bahwa manusia adalah makhluk yang berjuang untuk mempertahankan kehidupan dengan mengatasi rintangan-rintangan yang dihadapi dan melewati jalan yang terbuka baginya. Antropologi menunjukkan bahwa manusia telah mempunyai sejarah yang lama, pencipta kebudayaaan, yang karenanya dapat mencari dan menemuakn jalan yang perlu baginya. Dari psikologi dapat dipelajari bahwa manusia adalah makhluk berpikir yang mempunyai faham mengenai diri sendiri, lingkungannya dan pengalam-pengalamannya. Sedangakn limu alam dan ilmuilmu lain yang sejenis menunjukkan bahwa dengan penguasaan ilmu-ilmu tersebut manusia mampu mengetahui sifat-sifat alam, menguasai dan mengatur sebagain dari padanya.

           Jelaslah, bahwa selain kemajuan atau  progres, lingkunagndan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita itu tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari arti bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud baik yang lain. Di samping itu manusia harus dapat mengfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti ini.

          

PANDANGAN MENGENAI REALITA

           John Dewey, dalam bukunya yang berjudul creatife intelligence, mengatakan bahwa, 

           “…..Sifat utama dari pragmatisme mengenai realita, sebenarnya dapat dikatakan dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum.”

Diantara kaum pragmatis (Jadi progresivis) John Dewey mempunyai pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain seperti George Santayana, John Childs tidaklah demikian. Mereka mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai berbagai konsep tentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi, alam bukanlah diartikan sebagai pengertian yang substansial, melainkan diartikan  atau dipandang dari sudut prosesnya…

           Pragmatisme tidak menggunakan istilah alam semesta, melainkan dunia. Yang dimaksud dengan dunia adalah proses atau tata di mana manusia hidup di dalamnya. Istilah dunia ini dapat dianggap sinonim dengan kosmos, realita dan alam.

           Uraian di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evoluasionistis yanf kuat. Untuk ini, pengalaman, diartikan sebagai ciri dari dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan. Berarti pengalaman adalah  perjuangan pula.

           Dalam pengisian pengalaman ini manusia mempunyai peranan jauh di atas makhluk-makhluk yang lain, karena ia mempunyai kecerdasan, ingatan, kemampuan membuat penggambaran tentang masa depan,danlain-lainnya. Selain itu, semuanya inimemberikan kemungkinan ia dapat berhubungan dengan orang lain dan lingkungan lain yang lebih luas, dalam mengalirnay pengalaman ia memberi isi dan kemungkinan untuk berbuat. Berarti bahwa jiwa adalah sumber sebab dan pendorong yang amat penting bagi adanya perbuatan. Sedangkan yang ada, adalah yang berbuat.

 

PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN

           Tinjauan mengenai realitadi atas memberikan petunjuk bahwa pragmatisme lebih mengutamakan pembahasan mengenai epistemologi daripada metafisika. Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman ___ yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain__ agar dapat dimengerti arti dari masing-masing itu. Maka dapatlah disimpulkan lebih lanjut bahwa pragmetisme itu sebenarnya adalah teori pengetahuan.

           Untuk mengetahui teori pengetahuan yang dimaksud, diperlukan tinjauan mengenai arti dan istilah-istilah seperti induktif, rasional dan empirik. Induktif adalah usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti oleh penarikan kesimpulan yang bersifat umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya adanya pengetahuan yang diperoleh yang berlandaskan ketentuan umum yang berupa dalil atau pangkal duga. Pragmatisme mengutamakan secara induktif.

           Rasional berasal dari kata rasioyang berakal atau budi. Dalam epistemologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal itu adalah instruman utama bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Empirik adalah sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan.

           Pragmatisme tidak menyetujui adanya semua bentuk generalisasi baik yang a priori atau yang a posteriori. Pengalaman sebagi suatu unsur utama dalam epistimologi adalah semata-mata bersifat khusus dan partikular.

           Sifat rasional dan pragmatisme terletak pada pemberian isi dan pengertian-pengertian mengenai suatu proses adanya pengalaman menjadi pengetahuan. Fakta yang masih murni saja (yang belim diolah atau disusun) belum merupakan pengetahuan. Untuk ini masih diperlukan adanya penentuan pola-pola, cara pengaturan, dan pengorganisasian tertentu dari “bahan-bahn mentah” tersebut.

           Pragmatisme tidaklah empirik dalam arti yang tradisional. Indera tidaklah dianggap sebagai pintu gerbang pengetahuan dan persepsi indera adalah suatu entited yang pasif pada waktu jiwa menerima kesan-kesan indera yang berasal dari dunia luar (manusia). Lain dari pada itu pengetahuan bukanlah kompilasi unsur-unsur atau fakta yang ditangkap dari indera.

           Oleh karena pragmatisme mengetahui adanya pengetahuan atau fakta yang ditangkap oleh pengalaman (indera), Pragmatisme bersifat empirik. Dan seperti diutaraka dimuka mengenai epistemologi ini, pragmatisme juga bersifat rasional.

           Progresivisme mengadakan perbedaan antara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan-penerangan yang terhimpun dari pengalaman, yang siap untu digunakan. Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu, yang mungkin keadannya kacau.

           Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dengan lingkungan, baik yang berujud sebagai lingkungan fisik, maupun kebudayaan atau manusia.

 

PANDANGAN MENGENAI NILAI

           Nilai tidak timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, maka dengan demikian menjadi mungkin adanya saling hubungan seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Jadi, masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Di samping itu penggunaan bahasa sebagai salah satu sarana ekspresi tentulahmendapat pengaruh yang berasal dari dorongan, kehendak perasan dan kecerdasan dari masing-masing orang itu.

           Oleh karena adanya faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, mak makna nilai itu tidakkalh eksklususif. Ini berarti bahwa berbagai jenis nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada apabila menunjukkan adnya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.

           Berdasarkan pandangan di atas, progresivisme tidak mengadakan pembedaan tegas antara nilai intrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai saling bergantung satu sama lain seperti halnya pengetahuan dan dan kebenaran. Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu bernilai baik tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata  bila dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional; bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.

           Nilai mempunyai kualitas sosial. Misalnya, arti kesehatan akan makin dapat dipahami bila orang berhubungan dan dapat menikmati faedah kesehatan dengan orang lain. Ilmu kesehatan mempunyai kualitas sosial pula.

           Kualitas sosial dari nilai menjadi jelas hakekatnya bila dihubungakan dengan tinjauan tentang aku. Bahwa orang akan sadar mengenal dirinya  bila orang secara sadar berada aktif di tengah-tengah orang lain. Agar  oarang dapat memiliki aku yang baik dia harus aktif dalam lingkungan (masyarakat) aku. Ia makin menjadi sadar akan akunya karena makin mengerti akan diri sendiri dan pribadi-pribadi (orang lain). Karena adnya keharusan berhubungan dengan orang lain, maka nilai-nilai yang harus dimiliki oleh seseorang tidak lagi harus bersifat instrinsik, melainkan juga bersifat instrumental.

           Di samping nilai itu mempunyai sifat sosial, juga bersifat individual. Landasn pandangan ini adalah, bahwa masyarakat dapar ada karena adanya orang-seorang sebagai anggota. Sedangkan nilai-nilai seperti bik dan buruk misalnya, merupakan bagian dari tradisi, mores, dan lain sebagai; yang pendukungnya adalah individu-individu.

           Hubungan timbal-balik antara dua sifat nilai instrinsik dan instrumental ini-menyebabkan adanya sifat perkembangan dan perubahan nilai. Nilai-nilai yang sudah “tersimpan” sebagai bagian dari kebudayaan itu ditampilkan sebagai bagian dari pengalaman, sedang individu-individu mampu untuk mengadakan tinjauanh dan penentuan    mengenai standar sosial tertentu. Karena itu nilai adalah bagian integral dari pengalaman dan bersifat relatif, temporal, dan dinamis. Maka sifat perkembangan berdasarkan pada dua hal : untuk diri sendiri dalam arti kebaiakan intrinsik dan untuk lingkungan yang lebih luas dalam arti kebaiakan instumental.

 

ANTESEDENS  

           Pragmatisme sebagai aliran filsafat dan pragmatisme sebagai filsafat pendidikan merupakan aliran pikir yang telah dituliskan oleh John dewey . Sumbangan John Dewey ini dipandang dari kekuatan intekektual yang dapat menggerakkan perkembangan progresivisme selanjutnya. Ia dapat memberikan penghargaan dan menunjukkan pentingnya peranan sebagai teori dan praktek yang berasal dari tokoh-tokoh lain bagi pendidikan, misalnya William James, Harace Mann, Francis parker, dan Felix Adler.

           Selain daripada tokoh tersebut di atas, yang hidup pada abad ke Dua Puluh ini, gagasan-gagasan yang menjiwai progresivisme dapat dihayati asalnya, sejak dari Zaman Kuno sekalipun. Plato membuat konsep pendidikan yang memasukkan “belajar karena berbuat” sebagai persiapan ketannguhan dalam peperangan. Johann Amos Comenius menghendaki pengajaran yang cocok, yang sesuai dengan kebutuhan anak; sedangkan jean Jacques Rousseau percaya akan adnya kekuatan wajar pada manusia. Tokoh-tokoh lain yang segaris adalah Johann Pestalozzi, Johann Herbart, dan Friedrich Frobal.

           Dalam mendirikan historis dapat dipelajari bahwa tokoh-tokoh tersebut di atas mengemukakan gagasan-gagasan yang merintis timbulnya teori dan praktek pendidikan baru. Dan, dengan perpaduan gagasan dari tokoh-tokoh zaman modern, di beberapa negara, progrevisme didukung oleh organisasi-organisasi pendidikan. Di Amerika Serikat, Progressive Educatioan Association mempunyai peranan bertahun-tahun lamanya untuk menerapkan pendidikan baru di samping yang tradisional. Selain itu associaton for Cildhood education, the American federation of Teachers, Association for Development, adalah organisasi-organissi yang mengembangkan metode mengajar menurut progrevisme.

 

PANDANGAN TENTANG BELAJAR

           Pandangan Progresivisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan mengenai anak didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan mkhluk-makhluk lain. Di samping itu, menjadi menipisnya dinding pemisah antara sekaolah dan masyarakat menjadi landasan pengembangan ide-ide pendidikan progresivisme.

Sebagai makhluk anak-anak didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis dan dengan kecerdasannya, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkanproblema-problema. Sehubungan dengan ini usaha meningkatkan kecerdasan adalah tugas utama dalam lapangan pendidikan.

           Sebagai makhluk, anak didik hendaklah dipandang tidak hanya berbagai kesatuan jasmani dan rohani saja, melinkan juga manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rokhani terutama kecerdasan, perlu difungsikan dalam arti anak didik berada aktif dalam dan memanfaatkankan sepenuh-sepenuhnya lingkungannya. Ia perlu mandapat kesempatan yang cukup, untuk dengan bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya. Hal ini terutama mngenai kejadian-kejadian dalam lapangan kebudayaan.

           Agar sekolah dapat berfungsi wajar perlu memberi kesempatan seperti yang diharapkan di atas. Maka dari itu gagasan atau kenyataan yang menunjukan adanya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan. Sekolah yang baik adalah masyarakat dalam bentuk kecil, sedangkan pendidikan yang mencerminkan keadaan dan kebutuhan masyarakat, perlu dilakukan secara teratur seperti halnya dalam lingkungan sekolah.

           Hal yang penting sehubungan dengan uraian di atas, adalah, bahwa anak didik dapat menghayati belajar yang edukatif, dan bukan yang misedukatif. Yang pertama adalah belajar, yang secara bijaksana ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang secara konstruktif, yang nilainya dan syarat-syaratnya ditentukan berdasrkan konsepsi tentang hidup yang baik kebudayaan sebagaimana yang dikehendaki suatu bangsa atau negara. Sedangkan yang kedua , adalah belajar yang misedukatif, adalah yang ditentukan oleh nilai yang kurang mendorong kearah perkembangan yang dinamis, yang mungkin-mengandung unsur-unsur yang saling berlawanan. Belajar yang misedukatif tidak bersifat serasi dengan tujuan.

           Suasana belajar yang edukatif dapat di timbulkan baik di dalam maupun di luar sekolah asal berkisar pada asas-asas tersebut di atas. Dengan demikian maka pendidikan itu tidak lain adalah hidup itu sendiri.

 

PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM

           Sikap progresivisme, yang memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam pandangan mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Landasan pikiran ini diuraikan serba singkat.

           Yang dimaksud dengan pengalaman yang edukatif adalah pengalaman apa saja yang serasi tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh karena tiad standar yang universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adnya peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat.

           Oleh karena sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang “berpusat pada pengalaman”. Jenis ini, dilukiskan oleh Theodore Brameld sebagai kurikulum yang …melepaskan semua garis penyekatmata pelajaran dan menekankan pada unit-unit.

Dan,

… ynag dihasilkan dan dibentuk dari pertanyaan-pertanyan dan pengalaman-pengalaman dari anak didik sendiri dan diarahkan kepada perkembangan kepribadian yang penuh dengan jalan memberikan penghayatan-penghayatan emosional, motor, intelektual dan sosial, yang seluas dan sekaya mungkin…

           Selain jenis ini, menurut progresivisme, yang dapat dipandang maju adalah tipe yang disebut “Core Curicculum”, ialah sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum.

           Core curicullum maupun kurikulum yang bersendikan pengalaman perlu disusun dengan teratur dan terencana. Kualifikasi sesuai dengan tujuan, tidak mudah terkait pada hal-hal yang insidental dan tidak penting. Maka, jelaslah bahwa lingkungan dan pengalaman yang diperlukan dan yang dapat menunjang pendidikan ialah yang dapat diciptakan dan ditujukan  ke arah yang telah ditentukan. Kurikulum yang memenuhi tuntutan ini diantaranya adalah yang disusun atas dasar teori dan metode proyek , yang telah diciptakan oleh William Heard Kilpatrick.

 

ESENSIALISME

CIRI-CIRI UTAMA

           Esensialisme mempunyai tinjauan mengenai kebudayaan dan pendidikan yang berbeda dengan progresivisme. Kalau progresivisme menganggap pandangan bahwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang, Esensialisme menganggap bahwa dasr pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, Fleksibilitas dalam segala bentuk, dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.

           Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang  bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Berhubung dengan itu pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang teruji oleh waktu.

           Nilai-nilai yang dapat memenuhi dalah yang berasl dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad belakangan ini; dengan perhitungan zaman Renaisans, Sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan  esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad kesembilan belas.

           Idealisme dan realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik. Artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sift utama masing-masing.

 

ANTESEDENS

           Di atas telah dikemukakan bahwa Reanisans adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep fikir yang disebut esensialisme. Oleh karena timbul sejak zaman itu, esensialisme adalah konsep yang meletakakn sebagain dari ciri alam fikir modern.

           Sebagaimana halnya sebab-musabab timbulnya  Renaisans, esensialisme pertama-tama munculdan merupakan reaksi terhadap simbiolisme mutlak dan dogmatisme Abad Pertengahan. Maka disusunlah konsepsi yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman modern.

           Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik; sedangakan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spritual. John Deonald Butler mengutarakan secara singkat  ciri dari masing-masing ini sebagai berikut.

           Alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan ini harus dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik, dan di sanalah terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Jadi jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-gambaran yang berasal dari dunia fisik. Ini berarti bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah saja. Berarti bukan hanya dari subjek atau objek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduanya.

           Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomena ini ada Jiwa yang Tidak terbatas iaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji dan menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.

           Sebagai reaksi terhadap tututan zaman yang ditandai oleh suasana hidup yang menjurus kepada keduniaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mulai terasa sejak permulaan abad yang ke 15 realisme dan idealisme perlu menyusun pandangan-pandangan yang modern. Untuk itu perlu di susun kepercayaan yang dapat menjadi penuntun bagi manusia agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan itu. Kepercayaan yang di maksud di usahakan tahan lama, kaya akan isinya dan mempunyai dasar-dasar yang kuat.

           Dasar-dasar yang telah diketemukan, yang akhirnya dapat dirangkum menjadi konsep filsafat pendidikan esensialisme ini, tampak manifestasinya dalam sejarah dari zaman Renaisans sampai timbulnya progresivisme.

           Idelaisme modern dengan tokoh-tokoh utamanya diJerman pada abad ke 17 dan ke 18, mengutarakan dan membahas pokok-pokok persoalan yang dekat pada manusia, di antaranya terolahnya kesan-kesan indera oleh akal dan proses penjelmaanya menjadi pengetahuan. Demikian pula oleh realisma, masalah-masalah tersebut juga menjadi objek peninjauan seperti terbukti dari gagasan-gagasan dari tokoh-tokohnya di Inggris sebelum idealisme timbul.

           Tinjauan yang bersifat seperti di atas itu memberikan jalan bagi perkembangan baru dalam kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kemungkinan-kemungkinan ini timbul karena para tokohnya dapat mengemukakan pandangan-pandangan yang tidak fantastis. Yang di tinjauan adalah hal-hal yang dekat dan berada dalam lingkungan manusia itu sendiri. Di bawah ini akan di uraikan dengan singkat garis besar pandangan utama tokoh-tokoh idealisme dan realisme.

           G.W. Leibniz, ahli ilmu pasti dan filsafat, menjejakkan kedua belah kakinya di atas bumi dengan menyusun teori mengenai alam semesta. Ia merumuskan antara lain bahwa semua kejadian dan fakta itu saling berhubungan dan merupakan sistem yang harmonis. Saling hubungan dan sistem ini telah ada sebagai pembawaan dari alam semesta itu sendiri.

           Teori Leibniz di atas dijelaskan dengan antara lain mengemukakan pengertian mengenai nomaden. Nomaden adalah atribut hakiki dari segala sesuatu yang ada, yang bersifat abstrak, yang masih mungkin terpikirkan oleh manusia.

           Tiap nomaden mencerminkan sifat-sifat alam semesta, sesuai dengan apa yang tercipta oleh Tuhan. Berarti, bahwa meskipun atribut ini terbatas, mempunyai kemungkinan untuk menuju ke kesempurnaan dengan caranya sendiri.

            Sesuai dengan sifat serba tuju dari alam ini, tiap nomanden bergerak mengarah ke tujuan yang sesungguhnya, yang tidak terbatas, yaitu Tuhan. Tuhan adalah sumber dan akhir dari semua rentetan ada. Teori nomaden ini mengungkapkan bahwa tiada yang vakum dalam alam semesta ini.

           Immanuel kant menyelidiki tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan yang dihasilkan oleh budi manusia. Tokoh ini sampai kepada pengakuan bahwa ilmu itu mengandung kebenaran dan budi manusia dapat mencapai kebenaran tersebut.

           Pengetahuan, menurut Kant, dapat dipaparkan dengan purusan, dan putusan adalah merupakan rangkaian pengertian subjek dan predikat. Rangkain ini dapat analitik atau sintetik. Yang analitik adalah putusan yang predikatnya telah tercantum tentu ada subjeknya. Misalnya, benda itu mempunyai keluasan. Keluasan telah tercantum dengan niscaya pada pengertian benda dan karena itu benda harus mempunyai keluasan. Putusan yang sinetik yang predikatnya tidak tercantum niscaya pada subjeknya. Misalnya, tembok itu baru. Baru sebagai predikat tidak tercantum niscaya pada subyek, sebab ada tembok yang tidak baru.

           Putusan analitik bersifat a priori karena untuk ini tidak diperlukan pembuktian lebih lanjut melewati pengalaman. Seperti halnya contoh di atas, bahwa benda mempunyai keluasan, tidak diperlukan lagi pembuktian bahwa mempunyai ukuran atau tidak. Pada pihak lain putusan sintetik bersifat a posteriori, karena untuk ini diperlukan pembuktian dalam pengalaman. Kalau dikatakan air mendidih pada 212 F, orang masih mempunyai bahwa titik derjat ini mungkin tidak tetap. Maka diperlukan adanya usaha pengumpulan fakta berdasarkan pengalaman sampai dapat disimpulkan bahwa titik suhu tersebut merupakan petunjuk titik mendidih.

           Kemampuan budimanusia untukmencapai kebenaran ini menjadi dasr pandangan bahwa tiap-tiap orang sadar bahawa ia harus memenuhi kewajibannya. Kata hati memberi perintah kepada manusia itu sendiri : engkau harus. Keharusan ini terletak pada budi manusia, karena itu bersifat obyektif. Jadi, bila tingkah laku itu berdasarkan atas apa yang harus diperbuat-yang berlaku bagi seluruh manusia-perbuatan itu susila, dan sejalan dengan kesadaran akan kewajipan manusia itu sendiri.

           Tokoh lain, O.W.F. Hegel, mencari mutlak dari yang tidak mutlak. Dikatakan bahwa yang mutlak itu adalah jiwa (Roh). Yang menjelma pada alam, maka sadarlah ia akan dirinya. Roh mempunyai inti yang disebut idea atau berpikir.

           Kemanusiaan itu merupakan bagian dari idea yang mutlak, yaitu Tuhan. Tuhan sendiri adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Gerak ini menimbulkan proses yang disebut dialektika, yang berlaku menurut hukum budi, yang terdiri dari tesis, anti-tesis dan sintesis.

           Tokoh berikutnya adalah Arthur Schopenhauer. Ia mengatakan perenungan dan mengambil kesimpulan hidup ini penuh dengan kemurungan, yaitu tiada kepuasan atas terujudnya kemauan sepanjang hayat manusia. Kenyataan ini hanya dapatdikuasai oleh usaha manusia itu sendiri untuk mencapai kehampaan yang Abadi atau Mutlak.

           Sebagai tokoh yang mempunyai aliran voluntarisme, Scopenhauer berpendapat bahwa voluntas (kehendak) adalah motor (bagi manusia) untuk mencapai tempat atau kedudukan penting.

           Tokoh-tokoh empiris Inggris adalah pelopor realisme modern. Di bawah ini adalah uraian singkat tentang beberapa pandanagan tentang kefilsafatan menurut Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, David Hume dan Francis Bacon.

           Thomas Hobbes menunjukkan dengan jelas sekali kedudukannya sebagai filsuf empiris. Dikatakan bahwa pengetahuan yang benar adalah yang dapat dijangkau oleh indera. Jadi pengetahuan tidak dapat mengatasi (melampaui) penginderaan. Persentuhan dunia luar dengan indera, jadi bersifat empirik, menjadi pangkal dan sumber pngetahuan.

           Di samping faham mengenai pengetahuan ini, Hobbes terkenal pula dalam lapangan filsafatpolitik. Tokoh ini berusaha untuk mempertahankan monarkhi mutlak dengan membuktikan bahwa manusia itu bersifat materialistis dan egoistis. Maka perlu adanya pengetahuan yang kuat agr manusia dapat melindungi diri sendiri dari kemungkinan adanya “perampokan” kekuasaan yang bersumber pada nafsu-nafsu jahatnya.

           John Locke menunjukan gagasan-gagasan filsafat politik pula. Ia berusaha membuktikan bahwa karena ide-ide itu timbul dari persepsi dan refleksi yang dilakuakan oleh manusia itu sendiri, maka tidak sewajarnyalah jika manusia itu berada di bawah kekuasaan yang lain kecuaki dirinya sendiri.

           Dalam menerangkan usaha manusia untuk mencapai pengetahuan, John Locke mengemukakan pengertian-pengertian “sensation” dan “reflection”. “sensatioan” merupakan gejala jiwa yang mempunyai hubungan dengan dunia luar, tetapi belum sempurna meraih dan mengerti dan sesungguhnya apa yang dihayati. “Reflection” adalah pengenalan intuitif yang dapat memberikan kesan pengetahuan yang lebih baik kepada manusia daripada “sensation”. Tiap pengetahuan terujud dari hasil kerjasama antara “sensation” dan “reflection” tersebut. Selanjutnya, empirisnya John Locke ini mendasarkan atas Dzat Tertinggi. Ialah sumber dan sebab tertinggi mengenai adanya persepsi-persepsi pada manusia itu.

           David Hume mengemukakan analisa mengenai pengetahuan dan substansi. Pengetahuan adlah sejumlah pengalaman, yang timbul silih berganti. Masing-masing pengalaman itu mengadakan impresi tertentu bagi orang yang menghayati. Subsatansi itu sebenarnya tidak ada, karena sebenarnya adalah perulangan pengalaman yang tadi. Dengan perulangan-perulangan orang akan mempunyai idea mengenai sesuatu yang dihayati dan dipelajari.

           Francis Bacon, tokoh utama Inggris yang lain ini, adalah pemegang canang ilmu pengetahuan modern. Dalam bukunya yang berjudul Nuvum Organum, bacon mengatakan bahwa menurut pandangan dan kesimpulannya pada masa lampau dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan ini manusia baru sedikit hubungannya dengan dunia luar. Pada hal dunia luar adalah realitas yang sesungguhnya.

           Pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia selam itu terlalu abstrak dan ilusif. Ini  disebabkan oleh kebiasan penyusunan pengetahuan dengan penggunaan metode deduktif, yang tidak diimbangi oleh metode lain. Oleh karena dunia luar itu adlah realitas  yang sesungguhnya, maka pengetahuan itu diperoleh manusia dari dunia luar. Agar maksud ini dapat tercapai metode induktiflah yang setepat-tepatnya untuk diterapkan. Metode ini dimulai dengan usaha untuk menemukan pengetahuan dan kebenaran yang bersifat khusus, berangsusr-angsur sampai pada kesimpulan yang sifatnya umum.

           Dalam salah satu tulisannya yang berjudul The News Atlantis, Bacon mengemukakan buah pikirannya mengenai peranan ilmu bagi masyarakat. Ditunjukan olehnya tentang adanya berbagai segi kehidupan masyarakat yang dapat ditingkatkan dan diperbaiki segi kehidupan masyarakat yang dapat ditingkatkan dan diperbaiki dengan pertolongan ilmu pengetahuan. Oleh karena semua ini berguna bagi bangsa-bangsa, bacon berpikir l;ebih lanjut bahwa alangkah baiknya bila para ahli dari berbagai bangasa dapat bertemu untuk bertukar pikiran, mengadakan penyelidikan bersama demi kebahagiaan bersama. Lembaga tempat para ahli bekerjasama ini di sebut Rumah Nabi Sulaiman (Salomon’s House).

           Contoh-contoh singkat mengenai pandangan dari beberapa tokoh realis dan idealis modern di atas, menunjukkan adanya pemikiran-pemikiran yang serasi dengan kebutuhan zaman. Dari kaum realis nampak adanya usaha untuk menjadikan manusia dan lingkungannya sebagai obyek peninjauan. Setelah Hobbes mengadakan analisa mengenai sifat-sifat manusia, ia mengusulkan suatu bentuk pemerintahan untuk melindungi manusia. Jonh Locke, dengan “sensation” dan “reflection” menunjukan adanya hubungan penting antara manusia dan lingkungan. Sedangkan dari Francis Bacon dapat diketahui bahwa saj bukan saja dunia luar manusia penting, malahan hal-hal khusus yang merupakan komponen dari semuanya itu perlu dijadikan pangkal pemikiran mengenai tersusunnya pengetahuan dan kebenaran.

           Pandangan-pandangan kaum idealis menunjukkan pula adanya kemungkinan terbukanya perkembangan baru dalam lapangan kebudayaan dan ilmu. Hegel, misalnya, memberikan arti terhadap tiap kejadian dan fakta sesuai dengan konsepsi realita, bahwa realita obyektif itu mempunyai arti spritual dan ideal. Ini merupakan teras (core) dari alam semesta itu sendiri. Leibniz, menunjukan adnya kesatuan harmonis dari semua janis komponen dalam alam. Semua ini memancing untuk menjadi perhatian manusia, karena ia sendiri ada didalamnya. Lebih lanjut dari tokoh-tokoh ini, kant menunjukan peranan akal agar secara kritis mampu mengungkapkan makna dari ilmu pengetahuan. Maka, jelas bahwa idealisme modern ini menunjukkan berbagai persoalan yang ada di sekitar dan berhubungan dengan manusia, dan bukanlah hal-hal yang fantastis yang “melambung ke angkasa”.

 

PANDANGAN MENGENAI REALITA

         Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Ini berarti bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata tersebut. Di bawahiniadalah uraian mengenai penjabaran menurut realisme dan idealisme.

           1. Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia di dalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini.

           Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata-yang-jelas khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya daya tarik bumi. Di samping itu oleh ilmu-ilmu ini dikembangkanlah teori mekanisme, yang mengatakan bahwa dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab-akibat; terikan dan tekanan dari “mesin” yang sangat besar. Di samping itu teori mekanisme ini memperoleh dukungan perkembangan dari matematika, yang berbentuk dalam berbagai sumbangan. Antara lain bahwa semua gerak dengan hubungan dengan alam ini dapat dijabarkan secara kuantitatif, rumus-rumus dan persamaan-persamaan yang abstrak.

           Dari sinilah timbul pengertian-pengertian mengenai metode ilmiah dan metode eksperimental. Yang pertama trutama sekali terdiri dari usaha untuk menjabarkan semua proses dalam alam ini dalam rumusan-rumusan matematis dan yang dapat menerangkan tentang adanya hukum-hukum alam. Adapun mengenai eksperimen atau percobaan untuk mengetahui rahsia alm telah dirintis oleh tokoh-tokoh realis, di antaranya Newton.

           Dengan adanya visi yang mengarah pada penjabaran kuantitatif ini dan kegiatan-kegiatan eksperimentasi, adalah sewajarnya bila rahsia-rahsia alam semakin dapat diketahui oleh manusia. Sehubungan dengan ini pula adalah sewajarnya bahwa seusdah Newton ada perkembangan-perkembangan pandangan pula.

           Para ahli fisika sekarang memandang alam semesta ini sebagai medan enersi yang eksplosif dan bukan lagi sebagai badan yang bergerak mobil. Di samping itu tata alam sebagaimana nampak pada para ahli sekarang ini lebih kompleks dan lebih banyak segi-seginya daripada dugaan semula.

           Berhubungan dengan itu, teori evolusi, sebagai salah satu lapangan pengetahuan sesudah fisika merupakan faktor yang mempengaruhi realisme obyektif pula. Teori ini, yang berlandaskan atas asas perkembangan, menjelaskan bahwa makhluk hidup dapat diterangkan dari peri kehidupannya atas dasar kompas atau hukumalam ini.

           Manusia, adalah makhluk hidup yang mengalami perkembangan yang berlangsung dengan teratur dan proses menurut hukum mekanis. Dalam hal meneruskan kelangsungan hidupnya di dunia, pada manusia berlaku “survival of the fittest” dan ‘stuggle for existence”.

           Sehubungan dengan teori evolusi dari Darwin ini, diperkirakan adanya pengaruh terhadap pandangan tokoh-tokoh tertentu. Misalnya, pada herbert Spencer evolusi menjiwai konsep-konsep yang di terangkan dalam bukunya Sistem of Syinthetic Philosophy. Spencer mengatakan bahwa yang dapat dikenal bukan ada, tetapi yang menjadi. Ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan menjadi, sedangkan filsafat mencakup keseluruhannya.

           Dengan memperhatikan uraian singakat di atas, yang mencakup adanya pengaruh dari fisika dan teori evolusi, dapatlah disimpulkan bahwa realita menurut realisme obyektif haruslah ditafsirkan atas dasar pengertian-pengertian yang mekanistik evolusionistis. Pandangan ini berarti pula merupakan pandangan dari esensialisme.

            2. Idealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimistis dibandingkan dengan realisme obyektif. Yang dimaksud dengan ini bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakekatnya jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa sesuatu yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut di atas.

    Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan, bahwa tiap tingkat peradaban dikuasai oleh hukum-hukum  dan diikuti oleh tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis.

    Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikir Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai peraturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir tersebut juga merupakan gerak pula.

      Gerak yang timbul bukanlah yang maju lurus, melainkan yang dapat menimbulkan gerak pula. Dengan demikian menimbulkan tesis, anti tesis dan sintesis. Anti tesis adalah gerak yang bertentangan dengan tesis, yang diikuti sintesis. Sintesis ini selanjutnya merupakan tesis baru, dan selanjutnya timbul perulangan proses berlandaskan hukum budi yang sama. Kesimpulan yang dapat diambil adalah segala sesuatu yang ada dan yang akan terjadi itu akan berkembang menurut tata tertentu.

    Ciri lain mengenai penafsiran idealisme tentang sistem dunia tersimpul dalam pengertian-pengertian makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos menunjuk kepada keseluruhan alam semesta dalam arti susunan dan kesatuan kosmis. Mikrokosmis menunjuk kepada fakta tunggal pada tingkat manusia. Manusia sebagai individu, jasmani dan rohani, adalah makhluk yang semua tata dan kesatuannya merupakan bagian yang tiada terpisahkan dari alam semesta. Pengertian tentang makrokosmos dan mikrokosmos ini merupakan dasar pengertian mengenai hubungan antara Tuhan dengan manusia

 

PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN

    Pada kacamata realisme masalah pengetahuan ini, manusia adalah sasaran pandanagan dengan penelaahan bahwa manusia perlu dipandang sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum mekanistis evulosionistis. Sedangkan menurut idealisme, pandangan mengenai pengetahuan ini bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.

Bersendikan prinsip di atas dapatlah dimengerti bahwa realisme memperhatikan berbagai pandangan dari tiga aliran psikologi:asosianisme, behaviorisme dan koneksisme. Dengan memperhatikan tiga aliran ini, yang dasrnya mencerminkan adanya penerapan metode-metode yang lazim untuk ilmu pengetahuan alam kodrat, realisme menunjukkan sikap yang lebih maju mengenai masalah pengetahuan ini dibanding dengan idealisme.

Langkah maju ini tercermin pada kenyataan bahwa selain konsep-konsep dari tiga aliran tersebut dapat dipahami secara teoritis, juga di dalam praktek dapat diperkaya dengan pengumpulan data dari lapangan. Di samping itu, sebagaimana diutarakan di bawah ini, tiga aliran tersebut memiliki sifat-sifat yang satu sama lain saling mennyempurnakan.

Asosianisme, yang berasal dari beberapa filsuf inggris ini, bahwa gagasan atau isi jiwa ini terbentuk dari asosiasi unsur-unsur yang berupa kesan-kesan yang berasal dari pengamatan. Kesan-kesan tersebut, yang juga disebut tanggapan, dapat diumpamakan sebagai atom-atom dari jiwa.

Behaviorisme mengemukakan konsep yang dapat mengatasi kesederhanan konsep dari asosianisme. Maka ditetapkan tingkah laku sebagai istilah dasar, yang menunjuk kepada hidup mental. Dikatakan, bahwa usaha untuk memahami hidup mental seseorang berartiharus memahami organisma. Sedangkan pemahaman mengenai organisme ini berarti menginjak lapangan nerologis, maka masalah ini tidak dapat dipisahkan dari lapangan pengalaman.

Menurut behaviorisme, masalah pengetahuan (yang dapat ditangkap oleh manusia) tidak dapat dipisahkan dari proses penanaman kondisi. Untuk ini dikembangakan teori Sarbon. Suatu penghayatan kejiwaan terdiri dari proses yang paling sederhana yang terdiri dari  rangsang (stimulus) dari luar (pribadi seseorang), yang disambut dengan tanggapan tertentu (response). Rangsang dan tanggapan menjadi suatu kesatuan (sarbon). Dalam proses berikutnya, peristiwa kejiwaan akan berupa saling hubungan antar unsur-unsur di atas dalam berbagai cara dan bentuk (associanism).

Koneksionisme, sebagi gerakan ketiga, mempunyai konsep-konsep yang bersifat meningkatakan pandangan dari behaviorisme. Dikatakan bahwa manusia, dalam hidupnya, selalu membentuk tata jawapan (pattern of responses) dengan jalan memperkuat atau atau memperlemah hubungan antara stimulus (S) dan response (R). dengan jalan ini terjadi gabungan-gabungan hubungan S-R, yang selalu menunjukkan kualitas tinggi-rendah atu kuat-lemah. Untuk ini dikembangkan beberapa kaidah mengenai beberapa kaidah mengenai belajar dan menahan pengetahuan yang telah menjadi milik seseorang.

Di samping koneksionisme dapat meletakkan pandangan yang lebih meningkat dari asosianisme dan behaviorisme juga menunjukkan bahwa dalam hal belajar ini perasaan yang dimiliki manusia mempunyai peranan terhadap berhasil tidaknya belajar yang ia lakukan.

 

PANDANGAN MENGENAI NILAI  

            Nilai, seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangakan sifat-sifat nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Kedua aliran ini menyangkut masalah nilai dengan semua aspek peri kehidupan manusia yang berarti meliputi pendidikan. Pandangan dari dua aliran ini, yang mengenai nilai pada umumnya dan nilai keindahan pada khususnya akan dipaparkan berikut ini.

           Menurut realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konsepsuil terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadannya bila dihayati oleh subyek tertentu dan selanjutnya akan tergantung pula dari sikap subyek tersebut.

 Untuk hal yang pertama, dapatlah ditunjukkan bahwa nilai mempunyai pembawaan atas dasar komposisi yang ada. Misalanya, kombinasi warna akan menimbulkan kesan baik, bila penempatan dan fungsinya disesuaikan dengan pembawaan dan komponen-komponen yang ada. Khususnya, sebagai contoh, temperamen warna putih dan biru akan sesuai dengan warna kuning atau putih. Yang berwarna putih atau biru akan cocok dipakai oleh orang yang warna kulitnya kuning atau putih.

Untuk hal yang kedua, dapatlah diutarakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Oarang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang, haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk ini, ekspresi perasan yang mencerminkan adanya serba kesengguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan itu dapat menunjukkan keindahan baik pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.

George Santaya memadukan dua hal tersebut di atas dalam satu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu.

Teori yang lain yang timbul dari realisme disebut determinismetis. Dikatakan bahwa semua yang ada di alam ini, termasuk manusia, mempunyai hubungan hingga merupakan rantai sebab-akibat. Dialog dengan keadaan ini dan hal-hal yang berlangsung pada masa lampau, terutama yang langsung berhubungan dengan manusia, dapat memberikan pengaruh terhadap baik buruknya manusia tersebut. Selain yang sudah lampau, dengan sendirinya juga keadaan dan hal-hal yang tercermin pada waktu sekarang. Demikian pula bagaimana orang tersebut pada masa yang akan datang, sebagian akan tergantung dari rangkaian sebaab - akibat yang berkembang dari sekarang sampai dengan waktu yang akan datang tersebut. 

 Dapat dikatakan bahwa mengenai masalah baik-buruk khususnya dan keadan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan atas keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adnya saling hubungan antara pembawaan-pembawaan fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari lingkungan. Misalnya, soal perang. Perang selalu mungkin karena adanya kenyataan bahwa manusia itu mempunyai insting kekejaman. Maka agar dapat dicegah timbulnya peperangan di dunia, salah satu usaha yang diperlukan adalah adanya pendidikan ke arah perdamaian.

 

NILAI KEINDAHAN   

Nilai keindahan adalah suatu kenikmatan yang dihasilkan dalam pengalaman bila kognisi dan perasan bercampur atau saling pengaruh mempengaruhi. Yang dimaksud dengan kognisi di sini adalah persoalan persepsi sebagaimana dihubungkan dengan kenikmatan keindahan. Apa yang dihasilkan ditambah dengan perasan yang mengikutinya. Berarti bahwa kenikmatan seseorang mengenai keindahan itu merupakan perpaduan antara pengalaman, persepsi dan perasaan.

Kesenian, menurut realisme, adalah hidup sebagaimana adanya, maka kesenian dengan sendirinya berisikan hal-hal yang kompleks sebagaimana hidup itu sendiri. Ditinjau dari sudut manusia, faktor yang amat penting dalam tinjauan mengenai pengalaman kesenian ini, kesenian dapat memiliki sifat-sifat yang kaya seperti yang dialami oleh manusia, misalnya harmoni-disharmoni, suka duka, dan lain sebagainya. Pokoknya kesenian adalh pencerminan dari alam atau kehidupan sebagaimana wajarnya.

 

PANDANGAN MENGENAI PENDIDIKAN

Pandangan mengenai pendidikan yang diutarakan disini bersifat umum, simplikatif dan selektif, dengan maksud agar semata-mata dapat memberikan gambaran mengenai bagian-bagian utama dari esensialisme.

Essensialisme timbul karena adanya tantangan mengenai perlunya usaha emansipasi diri sendiri, sebagaimana dijalankan oleh para filsuf pada umumnya ditinjau dari sudut Abad Pertengahan. Usaha ini diisi dengan pandangan-pandangan yang bersifat menanggapi hidup yang mengarah kepada keduniaan, ilmiah dan teknologi, yang ciri-cirinya telah ada sejak zaman Renaisans.

Dalam rangka menunjukkan antesedens esensialisme ini, akan dipaparkan secara historis kronologis dengan mengetengahkan tokoh-tokoh yang utama. Penggalan kronologis dijatuhkan kepada periode sebelum dan sesudah tahun tiga puluh abad ini.

Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir Abad ke 15 dan permulaan Abad ke 16, adalah tokoh yang mula-mula sekali berontak terhadap pandangan hidup yang berpijak pada “dunia lain”. Tokoh ini berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, yang dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat. Pendidikan yang dilewatkan mereka ini memberikan kemungkinan dapat berlangsungnya perubahan diharapkan oleh Eramus tersebut. 

          Tokoh berikutnya, Johann Amos Comenius (1592-1670) adalah pendidik Renaisans pertama yang berusaha untuk mensistematisasikan proses pengajaran. Tokoh ini dengan menilik pandangan-pandangannya, dapat disebut seorang realis yang dogmatis. Ia berkata antaralain bahwa hendaklah sesuatu diajarkan melalui indera karena indera adlah pintu gerbang jiwa. Jadi pintu gerbang dari pengetahuan itu sendiri. Di samping itu, comenius mempunyai pendirian bahwa karena dunia itu dinamis dan bertujuan, tugas kewajipan pendidikan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.

          John locke (1632-1704), adalah tokoh dari Inggris yang dikenal sebagai “pemikir dunia ini”, ia berusaha agar pendidikan menjadi dekat dengan situasi-situasi. John Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.

          Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827) percaya sedalam-dalamnya mengenai alam dalam arti peninjauan yang bersifat naturalistis. Alam dengan sifat-sifatnya tercermin pada manusia, yang karenanya manusia memiliki kemampuan-kemampuan wajarnya. Di samping itu Pestalozzi percaya akn hal-hal transedental, dengan mengatakan bahwa manusia itu mempunyai hubungan transendental langsung dengan Tuhan.

          Pandangan yang serba transendental ini nampak pula pada Johan Friedrich Frobel (1782-1852), dengan corak pandangannya yang bersifat kosmis-sintetis. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dan merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu tunduk dan mengikuti ketentuan dan hukum-hukum alam.

          Dengan tertarik kepada pendidikan anak kecil, Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif. Dalam tingkah laku demikian ini tampak adanya kualitas metafisis; maka tugas pendidikan adalah memimpin anak didik ini kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai dengan pernyatan dari Tuhan.

          Johan Friedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant, adalah tokoh yang selalu bersikap kritis. Ia berpendirian bahwa tujuan pendidikan ini adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dariYang Mutlak, yang berarti antara lain penyesuaian sdengan hukum-hukum kesusilaan. Prosese untuk mencapai tujuan pendidikan ini oleh Herbart disebut pengajaran yang mendidik.

          Tokoh terakhir yang perlu dibicarakan dalam rangka menyingkap sejarah sejarah esensialisme ini adalah William T. harris (1835-1909). Sebagai tokoh Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh Hegel ini berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Menurut Harris, tugas pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang tidak terelak (pasti) bersendikan kesatuan spritual. Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang kepada masyarakat.

          Oleh karena terasaskan adanya saingan dan progresivisme, maka pada sekitar tahun 1930 timbul organisasi yang bernama Essentialist Committee for the Advancement of Education. Dengan timbulnya Komite ini pandangan-pandangan esensialisme (menurut tafsiran Abad XX), mulai diketengahkan dalam dunia pendidikan. William C. Baglay, salah seorang tokoh komite, mengemukakan pandangan progresivisme yang panting tentang perlunya ada “progres yang seluas mungkin untuk menyampaikan ajaran atau pengetahuan kepada anak didik,” dikatakan, bahwa bukan hanya prosese yang penting, melainkan juga isi. Isi yang sembarang akan menjadikan pendidikan tidak menetu, untuk ini hendaklah dipilih warisan sosial dengan proses bagaimana menyampaikan nilai esensial kepada anak didik.

 

PANDANGAN MENGENAI BELAJAR   

          Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauan mengenai pribadi individual dengan menitik beratkan pada aku. Menurut idealisme, bila seseorang itu belajar pada tahap permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.

          Sebagai contoh, dengan landasan pandangan di atas, dapatlah dikemukakan pandangan Immanuel Kant (1724-1804). Dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia lewat indera memerlukan unsur a priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.

          Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman tau pengamatan. Jadi, a priori, yang terarah itu bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itulah yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang waktu.

          Dengan mengambil landasan pikir di atas, belajar dapat didevinisikan sebagai jiwa yang berkembang kepada diri sendiri sebagai substansi spritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri.

          Pandangan realisme mengenai belajar, tercermin antara lain pada pandangan ahli-ahli psikologi, diantaranya seperti pandangan-pandangan dari Edward L, Thorndike pendukung aliran koneksionisme. Koneksionisme mendekatistudi mengenai manusia dengan pengurangan sampai dengan sifat-sifat mekanistis kuantitatif. Ini tercermin antara lain dalam teori Sar. Bon. Berarti bahwa belajar itu adalah tidak lain mengadakan penyesuaian dengan yang ada.

          Seorang filsuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L.Finney menerangkan tentang hakekat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rokhani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umunya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah proses reproduksi dari apa yang terdapat dalam kehidupan sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya.

          Pandangan-pandangan realisme di atas mencerminkan adanya dua jenis deternimisme yaitu determinisme mutlak dan deternimisme terbatas. Yang mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengenai hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti penyesuaian supaya dapat tercipta suasan hidup yang harmonis. Banyak tata dalm alam ini seperti teraturnya perjalanan matahari, perbedaan letak kawasan yang sekaligus membawa perbedaan jenis dan sifat musim, adalah gejala-gejala mutlak, yang bagi manusia tiada lain kecuali harus menyesuaikandiri. Sedangkan determinisme terbatas memberikan gambaran kurangnya dunia pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini berarti tidak mungkin adanya penguasan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawasan diperlukan. Untuk ini di samping mengetahui dan mengenal, pada orang yang belajar perlu dibangkitkan kemauan dan kemampuan yang memungkinkan mengawasi hal-hal yang mengenai lingkungannya itu. Dengan demikian jiwa yang mempelajari sesuatu adalah jiwa yang aktif.

PANDANGAN MENGENAI KURIKULUM

          Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Bersumber atas pandangan ini, kegiatan-kegiatan pendidikan yang dilakukan. Pandangan dari dua tokoh akan dipaparkan di bawah ini.

          Herman Harrell Horne menulis dalam bukunya yang berjudul This New education mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas fundamaen tunggal, iaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik tersebut. Atas dasar ketentuan ini berarti bahwa kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen itu.

          Semua yang ideal baik, yang berisi manifestasi dari intelek, emosi dan kemauan, ini semua perlu menjadi sumber kurikulum. Berhubung dengab itu kurikulum hendaklah berisikan ilmu pengetahuan, kesenian dan segala yang dapat menggerakakan kehendaki manusia.

          Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan hal-hal yang lebih jelas dari Horne. Di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian, ialah:

a)    Universum. Pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala manifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal-usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.

b)   Sivilasi. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.

c)    Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.

d)   Kepribadian. Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologis, emosional, dan intelekyual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut.

                        Dalam lingkungan idealisme adanya gagasan yang merupakan komponen pengembangan kurikulum cukup banyak. Dalam variasi di atas nampak adanya kesamaan prinsip, adalah tekanan kepada segi-segi kejiwaan dan pembentukan watak dengan menggunakan alat disiplin, pengawasan dan lain-lainnya. Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakekatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas ini tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu diadakan perencanaan dengan kesaksaman dan kepastian.

          Di samping Ulich, Horne mengemukakan bahwa kurikulum sebagai kegiatan dalam pendidikan adalah prosese penyesuaian yang bersifat kosmis. Anak didik perlu disiapkan supaya berpikir dan berbuat sebagaimana seharusnya. Maka dari itu pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan kepada anak didik hendaklah disusun sedemikian agar dapat diterima secara normatif sebagaimana mempelajari nilai-nilai hidup.

          Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak tiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedang Demihkevic menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi.

          Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Misalnya, mengenai isi mata pelajaran matematika dan bahasa, semula diberikan dasar-dasar yang fundamental yang selanjutnya menjadi makin meningkat hingga pelajaran bagian-bagian yang menggunakan angka dan bahasa sebagai dasar.

          Susunan seperti yang diutarakan di atas dapat diibaratkan sebagi susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundaman atau dasar dari susunannya yang lebih kompleks. Jadi, bila kurikulum disusun atas dasar pikiran ini akan bersifat harmonis.

 

PERENIALISME

CIRI-CIRI UTAMA

            Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan ke simpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagi zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan.

          Perenialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasr tingkah laku dan perbuatan Zaman Kuno dan Abad Pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah kepercayaan-kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realita dan nilai dari zaman-zaman tersebut. Semuanya ini telah dianggap sebagai dasar sivilasi dari abad ke abad.

          Motif perenialisme dengan mengambil jalan regresif bukanlah hanya nostalgia atau hanya rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, melainkan berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan fitalbagi pembangunan kebudayaan abad ke-20. prinsip-prinsip aksiomatis yang tidak terikat oleh waktu itu, terkandung dalam semua sejarah.

          Perenialisme merupakan filsafat yang susunan dirinya merupakan kesatuan. Maka dari itu premis-premis yang disusn merupakan hasil pikiran yang memberi kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Oleh karenanya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang evolusionistis dan naturalistis.

 

ANTESEDENS  

        Istilah perenial berarti terus tiada berakhir. Pengertian ini dapat dianalogikan dengan bunga yang terus menerus mekar dari musim ke musim Darigejala kehidupan-kehidupan bunga-mekar dari musim ke musim ini merupakan teras, karena merupakan gejala yang terus ada dan sama bila gejala dari musim ke musim itu dihubungkan satu sama lain seolah-olah merupakan benang dan corak warna yang khas; terus-menerus sama.

          Atas dasar pandangan di atas, maka untuk tiap sivilasi perlu diteliti tentang adanya watak yang selalu berulang kembali dan sama itu. Tampa usaha semacam ini manusia akan kehilangan jejak dan faktor-faktor yang menstabilkan peradabannya sendiri.

          Benang dengan warna yang khas yang terus menerus ada ini, harus dicari dalam lingkup filsafat dan cabang-cabang utamanya, seperti metafisika, epistemologi, aksiologi dan logika. Tetapi dengan mengambiltokoh-tokoh yang memang mempunyai pandangan seperti yang diharapkan. Jadi, dapatlah dianalogikan dengan pekerjaan dokter, bahwa tokoh-tokoh inidapat memberikan resep pengobatan bagi zaman yang sedang sakit,meskipun dokter-dokter lain yang dapat memberikan bantuan tidak boleh diabaikan.

          Perenialisme berpendapat bahwa tokoh-tokoh yang mampu kearah itu adalah Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas, karena memiliki pendirian-pendirian dan pandangan-pandangan yang masih mempunyai arti bagi abad ke-20. Di samping itu pendirian dan pandangan-pandangan itu masih dapat pula dipertimbangkan sebagai dasar dan pedoman kebudayaan abad ke-20 ini.

          Plato (427-347 SM), adalah filsuf idealis, Plato memandang dunia ide sebagai dunia kenyataan. Maka, menurut tokoh ini ide adalah realitas. Oleh karena itu filsafat plato dipandang beraliran yang realistis.

          Dalam tulisannya yang terkenal, Republik, plato menunjukkan adanya filsafat spekulatif yang tinggi dengan formulasi yang masak. Ia percaya bahwa jalan untuk membntuk masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi tiap orang atau tiap kelas menurut kapasitasnya masing-masing dalmmasyarakat sebagi keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanan yang cukup dapat menduduki posisi yang tinggi, dan seterusnya ke bawah bagi mereka yang mempunyai kualitas yang tinggi, dan seterusnya ke bawah bagi mereka yang mempunyai kualitas yang lebih rendah. Dari atas ke bawah mengambil urutan-urutan para raja, filsuf, perwira dan prajut, pekerja tangan dan budak. Yang paling atas adalah mereka telah bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan, dan telah menunjukkan sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta menunjukkan cara hidup menurut kebenaran tertinggi.

         Dalam buku Republik itu dikupas dan dicari standar mengenai kebenaran tertinggi. Ini dinyatakan oleh Plato dengan doktrin terkenal yang disebut Ide. Di dunia ini tetap dan satu jenisnya, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dan menjadi contoh dunia pengalaman.

         Dunia ide adalah berbeda dengan dunia pengalaman, yang penangkapannya dilakukan oleh indera. Yang pertama tetap sedangkan yang kedua berubah-ubah. Dunia kedua ini juga disebut dunia bayang-bayang.

         Sekali manusia mengenal dan menguasai dunia ide, ia dapat mengetahui jalan yang passsti. Dengan demikian dapat menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengadakan klasifikasi dan penilaian terhadap segala sesuatu yang dialami sehari-hari.26) Salah seorang diantara murid-muird Plato adalah Aristoteles (483 – 322 SM).

         Meskipun tokoh ini murid Plato, Aristoteles berusaha untuk menghilangkan pandangan dualistis dari gurunya mengenai dunia, ialah dunia ide dan dunia bayang-bayang. Untuk ini diciptakanlah teori hilomorfisme, suatu teori bentuk dalam unsur-unsur,gagasan dalam benda-bendanya atau jiwa dalam badan.

         Dunia, menurut Aristoteles, adalah tunggal, yaitu, suatu kesatuan dalam tata kosmis. Untuk ini Aristotele mengemukakan teori yang bersendikan atas gambar piramidda yang disebut piramida ontologis Aristoteles.

         Bagian bawah piramida itu, terutama di bagian dasarnya tttterdapat pernyataan yang berujud unsur (matter) dengan  bentuk  yang paling kecil di antara ssemua yang berbentuk. Keadaan ini berubah bila kenyataan itu menanjak dari bagian bawah melalui sisi-sisinya hingga sampai pada tingkat yang paling tinggi.

         Puncak ini bebas dari sifat-sifat kotor dan pengalaman yang fana, dan disebut penggerak yang tiada gerak, yang mempunyai sifat-sifat ke-Tuhanan. Secara terus menerus puncak ini menarik dan meningkatkan hal-hal atau benda-bendda yang lebih rendah ke arahnya.

         Dengan demikian jelaslah tendensi daripada kenyataan itu adalah menuju arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari potensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Misalnya, meskipun manusia dalam hidupnya tidak jarang dikuasai oleh sifat eksistensi keduniaan, tidak jarang pula berkat dimilikinya akal, perasaan dan kemauannya, semua ini dapat di kurangi. Hal-hal   yang bersifat partikular yang merintang kehidupan dapat diatasi. Maka, dengan peningkatan suasana hidup spritual ini manusia dapat makin mendekatkan diri kepada Gerak yang Tanpa Gerak itu,,, ialah tujuan dan bentuk terakhir dari segalanya. Kenyataan hidup seperti terlukis ini selalu menjadi irama manusia.27)

         Pada Abad Pertengahan filsafat Yunani umumnya dan filsafat Arristoteles khususnya yang berjudul Filsafat Islam, menerangkan bahwa kepudaran tersebut disebabkan antara lain karena analisa-analisa dengan akal iitu belum tentu dapat menjawab semua pertanyaan dan mengumpulakan kebenaran yang sesungguhnya. Misalnya, Aristoteles mengatakan bahwa baik itu adalah yang buat semua orang dikatakan baik. Tetapi Aristoteles tidak berhasil untuk menerangkan, mengapa sesuatu yang lebih dikatakan baik dapat dianggap tidak baik oleh orang lain.28)

         Ketika Islam datang, berkembanglah filsafat Islam yang diairi dengan pelajaran Hikmah yang tertera dalam kitab suci Al-Qur’an. Maka, karena filsafat Yunani dapatdihidupkan kembali, tulisan-tulisan Arristoteles dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Karya-karya ini menjadi bahan pengalaman pertama bagi filsuf-filsuf berikutnya.

         Meskipun dalam Abad Tengah kepercayaan agama mengalahkan filsafat dalam arti pengujian kritis, maka ada reformasi pendirian bahwa akal tidak dapat “tidur”. Pada zaman itu terdapat ahli-ahli fikir yang tidak puas dengan hidup penuh kemenurutan terhadap agama dan otoritas mutlak.

         Kristalisasi “hidup keembalinya” akal berada dalam suatu gerakan intelektual yang disebut scholastisisme. Tujuan utama gerakan ini adalah menunjukan adanya eksistensi Tuhan, sifat-sifat keabdian dan jaminan tentang adanya kesemuanya itu.

         Pada zaman ini tampillah Thomas Aquinas, seorang tokoh yang hidup dari tahun 1225 sampai tahun 1274, yang sebagian dari ajaran-ajarannya menjadi penuntun perenialisme. Meskipun tokoh ini telah mempelajari dengan saksama ajaran-ajaran Aristoteles, dikembangkanlah ajaran yang berlainan. Ajaran (aliran) ini disebut Thomisme.

          Mengenai ontologi, Thomas Aquinas mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segala sesuatu yang menyertai-Nya adalah baik pula. Maka dari itu tidak tepatlah bila di dunia ini diadakan pembedaan mana yang baiak dan mana yang buruk.

         Perlu ada perbedaan sebagai berikut : ada mahluk ada yang diadakan, sedangkan adanya Tuhan itu ada dengan sendiri. Maka, dapatlah dikatakan filosofis bahwa ada Tuhan adalah esensinya, sedangkan ada mahkluk tidak sama dengan esensinya. Ada makhluk memang tidak terpisahkan dari esensinya, tetapi dapat dibedakan satu sama lain, sedangkan pada Tuhan keduanya identik.

         Pandangan di atas mengemukakan dua unsur yang satu sejenis dengan hilomorfisme menurut pandangan dari Aristoteles. Di samping itu Thomas Aquinas mempunyai pandangan tentang dualisme, tetapi yang berbeda dengan ajaran Plato.

         Tokoh ini mengemukakan bahwa pengetahuan itu mula-mula merupakn persentuhan dengan badan (indera), dan ini masih merupakan bahan. Budi lalu mengolah bahan itu menjadi pengetahuan. Bila belum diolah oleh budi dapat juga disebut pengetahuan tetapi yang baru mempunyai sifat-sifat jasmaniah belaka.

         Budi adalah kemampuan manusia yang tinggi, yang mempunyai cita-cita untuk menuju ke kebenaran sejati yang bersumber pada Tuhan.

         Selain budi, manusia juga mempunyai kehendak. Baik budi maupun kehendak menuju kepada Tuhan. Maka jelaslah makin besar arah budi dan kehendak manusia kepada semuanya, berarti semakin besarlah partisipasi manusia di dunia menurut kehendak Tuhan.

         Dari uraian di atas, jelaslah bahwa manusia mempunyai dua jenis kepercayaan, yaitu yang berdasarkan wahyu dari Tuhan yang bersifat rasional. Keduanya perlu bagi pembinaan individu dan sifilasi, karena saling menyempurnakan pula. Misalnya, dalam lapangan kesusilaan, manusia dapat menyusun hukum-hukum kesusilaan, tapi hukum itu dapat sempurna bila dilingkungi oleh hukum-hukum supernatural.

         Pandangan-pandangan Thomas Aquinas berpengaruh besar dalam gereja Katolik. Demikian pula aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain daripada itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme.

         Selain perenialisme terdesak karena perkembangan politik dan industri yang cukup berat, timbulah usaha untuk membangkitkan kembali dengan nama gerakan neoscholastisisme atau neo-Thomisme, yang inti sari alam pikirnya tetap perenialistis.

         Neo-scholastisisme atau neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan jaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke 20. Misalnya, mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empiri dan eksperimentasi hanya di pandang hanya sebagi pengetahuan yang fenomenal. Maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia dikemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah ditekankan pada sifat spritualnya. Simbul dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti, dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi.

         Tokoh-tokoh perenialis abad ke-20 diantaranya adalah : jacques Maritain, Aldous Huxley, berjijdev dan Alder. Banyak tulisan yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh tersebut.

 

PANDANGAN MENGENAI REALITA

         Agar manusia dapat berpijak pada pendirian-pendirian yang benar, yang karenanya dapat tegak berdiri dalam arti spritual, perlu dijamin dengan pandangan-pandangan mengenai kenyataan yang bersifat universal. Artinya dimanapun dan bila manapun tidak berubah.

         Berhubung dengan kupasan-kupasan yang bersifat ontologis haruslah sampai pada pengertian-pengertian yang bersifat hakiki. Ontologi perenialisme antara lain terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individual, esensi, aksiden dan substansi.

         Benda individual adalah sebagaimana nampak di hadapan manusia dan ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, oarang dan sebagainya. Dari penangkapan ini dapat dihayati perwujudan dari benda-benda tersebut seperti bentuk dan warna. Esensi dari sesuatu adalah kualitas yang menjadikan atau menyebabkan benda itu lebih intrinsik daripada halnya.

         Aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan yang esensial. Sebagaimana contoh misalnya, orang suka bermain sepatu roda, suka berpakaian bagus.

         Kenyataan yang diketahui atau dihadapi oleh manusia mengenai hal-hal tersebut di atas tidaklah terlepas satu sama lain, tetapi seketika bersama-sama. Malahan ditambah dengan sifat-sifat lain seperti yang partikular, partikular dan universal, material dan spritual. Kesatuan dari tiap-tiap yang berpasangan pada tiap-tiap individu atau hal ini disebut substansi. Akallah yang harus mengadakan pembedaan mengenai sifat-sifat tersebut.

         Di samping hal-hal yang telah diutarakan di atas, perenialisme mengemukakan bahwa realita itu bersifat teleologis, yang berarti mengandung tujuan. Oleh karena semua hal itu bersumber pada kenyatan yang bersifat spritual, maka tiap-tiap hal itu terarah untuk mencapai tujuan masing-masing. Untuk ini perlu tiap hal atau benda melewati jalannya sendiri-sendiri yang tidak dapat dihindari.

         Ada empat macam sebab (kausa) yang menjadi pendukung atau pendorong terjadi atau berlangsungnya sesuatu. Istilah-istilah beserta pengertiannya yang berasal dari Aristoteles ini terdapat dalam karya Plato yang berjudul Fisika. Plato menerangkan dalam buku itu bahwa istilah-istilahini menjelaskan tentang adanya garis perjalanan sesuatu benda dan penting bagi dasar pemahaman bila seseorang akan mengikuti dan mengadakan penemuan mengenai benda yang bersangkutan.

         Keterangan mengenai kausa-kausa tersebut adalah sebagai berikut :

(a)  Kausa materialis, adalah bahan yang menjadi susunan sesuatu benda, misalnya batu atau kayu patung;

(b) Kausa formalis, bentuk atau model sesuatu benda, miasalnya bulat panjang atau patung tersebut ;

(c)  Kausa effisiens, gerakan yang digunakan dalam pembuatan. Misalnya, gerak yang penuh usaha dari seniman yang membuat patung itu, dan

(d) Kausa finalis adalah akhir atau tujuan sesuatu benda. Misalnya, konsep mengenai patung itu dalam jiwanya seorang seniman.

Bila kausalitas ini teruskan tinjauannya, maka akan terasakan bahwa kausalitas merupakan mata rantai yang tiada putusnya sebelum sampai kepada pertanyaan adanya penyebab pertama atau kausa prima. Maka sesuai dengan konsep mengenai piramida ontologis, kausa prima itu berada pada puncaknya: sebagai Tuhan, sebab Pertama, dan Penggerak yang tiada Gerak.

Tuhan adalah Aktualitas Murni dan Bentuk Murni, sama sekali sunyi atau sepi dari substansi. Oleh karena itu akal manusia tidak mampu untuk menggambarkan atau mengira-irakan wujud dan bentuk-Nya karena semuanya berada di atas akal. Maka dari itu berarti pula bahwa ke-Tuhanan berada dalam lapangan kepercayaan

 

PANDANGAN MENGENAI PENGETAHUAN

          Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara fikir dengan benda-benda.

          Yang dimaksud dengan benda-benda adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi sesuatu.

          Bila hal-hal tersebut di atas dibandingkan dan teliti, orang akan sampai kepada dalil-dalil yang meyakinkan. Syarat yang diperlukan agar sampai pada prinsip-prinsip seperti di atas adalah bila dalil-dalil tersebut mengandung ketepatan. Artinya telah memenuhi syarat-syarat logis, sehingga sukar untuk ditolak atau dibantah. Akal perlu mengadakan tinjauan agar pengertian-pengertian yang dirumuskan memiliki evidensi diri sendiri.

          Pengertian-pengertian yang mengandung prinsip pertama menurut Aristotles adalah :

(a)  “Prinsipium identitas”, yang mengatakan a sama dengan a Berarti bahwa obyek atau benda a selalu menyamai dirinya sendiri. Prinsipium ini disebut pula hukum identitas.

(b)  “Principium contradictionis”. Kalau dikatakan a sama dengan b, dan di samping itu dikatakan pula bahwa a tidak sama dengan b, maka salah satu dari keterangan tersebut tentu tidak benar. Jadi, bila dari satu keterangan datang kesalahan, maka dari keterangan yang lain tentu datang kebenaran.

(c)  “Principium exclusitertii”. Ini mengatakan bahwa tidak benarnya keterangan yang satu, berarti membenarkan kebenaran yang lain. Misalnya, bila a sama dengan b dan a tidak sama dengan b, maka tidak mungkin diperoleh keterangan ketiga mengenai a dan b tersebut. Berarti tidak benarnya keterangan yang satu berarti membenarkan keterangan yang lain.

(d)  “Principium rationis suffecientis”. Bila mengenai sesuatu dapat diterangkan asal atau sebabnya, dapat diterangkan pula mengenai akibatnya dan tujuanya. “Prinsipium” ini disebut pula hukum mansahkan hulum.

Metode yang diperlukan yang dapat menuntun orang untuk sampai kepada pemikiran hakiki seperti di atas adalah penalaran. Penalaran mempunyai hukum-hukumnya sendiri untuk dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis.

Ajaran lain yang dapat digunakan sebagai pegangan adalah juga berasal dari aristoteles yang dinamakan logika. Juga biasa disebut organon (alat).

Logika Aristoteles terutama sekali membicarakan dua hal pokok : jalan pikiran (rationorium) dan bukti. Jalan pikiran adalah silogisme. Silogisme menunjukkan adanya hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan konklusio (kesimpulan). Masing-masing terdiri dari putusan. Tiap putusan terdiri dari pengertian yang berhubungan satu sama lain. Contoh mengenai silogisme:  kalau kita menerima premis bahwa semua manusia itu adalah “animal rasionale” dan kita akui bahwa si Badu adalah manusia, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa si Badu adalah “animal rasionale.”

Selain dengan cara deduktif seperti di atas, manusia perlu mengenal dunia dengan cara kebalikannya, ialah induktif. Cara ini memulai pengenalan dengan hal-hal partikular.

Dalam hal induksi, Aristoteles berpendapat bahwa ini adalah suatu usaha terpaksa dari manusia karena kekurangan-kekurangannya. maka, ia bergerak perlahan-lahan ke arah  pemahaman umum karena tidak dapat segera mampu mengetahui universilitas, yang sebenarnya selalu ada. Sedangkan Thomas Aquinas berpendapat bahwa meskipun tindakan persepsi indera itu mengenai hal yang partikular, isinya universal. Jika belum mengandung hal-hal yang universal adalah mustahil data partikular itu dapat membangun kesimpulan-kesimpulan yang universal.

Atas dasr pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat ada dan berkembang atas dasarnya sendiri-sendiri, dengan adanya perbedaan-perbedaan metode yang digunakan. Akan tetapi sering kali filsafat memberikan putusan akhir terhadap hasil-hasil yang telah dicapai oleh ilmu. Misalnya, para ahli dapat menanyakan peranan ilmu bagi pembinaan kesejahteraan kemanusiaan. Oleh karena kemanusiaan perlu dicegah dari kemungkinan destruksi, maka ilmu yangmembahayakan kemanusian perlu dihambat perkembangannya dan hasil-hasilnya dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan.

Jawab semacam ini berasal dari filsafat.

 

PANDANGAN MENGENAI NILAI

Hekekat manusia itu pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itu hakekat manusia juga menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya dan persolan nilai adalah persoalan spritual.

Hakekat manusia adalah emansi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh Tuhan, atas dasar inilah tinjauan mengenai baik dan buruk itu dilakukan. Berarti dasar-dasar yang digunakan haruslah teologis.

Neo-thomisme memasukkan etika dan estetika ke dalam golongan filsafat praktis. Filsafat ini mencakup prinsip-prinsip universal yang praktis.

Oleh karena secara teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, sedang kebaikan tertinggi adalah nilai yang merupakan suatu kesatuan dengan Tuhan, maka usaha manusia itu mengandung hal-hal praktis. Ini berarti bahwa manusia berada dalam suatu suasana hidup tertentu yang bersifat rasional, yang kedudukannya lebih rendah dari yang pertama. Keterangan mengenai prinsip-pronsip di atas adalah seperti di bawah ini.

Sebagai contoh dapat diutarakan bahwa kebahagiaan duniawi sebagai kebaikan itu ada, dan merupakan bagian yang satu dari hidup itu sendiri. Tetapi kebahagian itu baru akan tetap tinggi nilainya, bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka. Sebab, taraf ini adalah taraf hidup materiil. Maka dari itu agar kebahagiaan itu dapat meningkat dari taraf keduniaan (materiil) ke taraf spritual perlu dikuasai dan dituntun oleh akal.

Masalah ini dapat diterangkan dengan menunjuk kepada pandangan Aristoteles mengenai kebajikan, yang dibedakan menjadi dua : (a) intelektual dan (b) moral.

Kebajikan moral adalah kebajikan yang merupakan pembentukan kebiasaan, yang merupakan dasar dari kebajikan intelektual. Ada yang bersifat intelektual dibentuk oleh pendidikan dan pengajaran. Berarti bahwa kebajikan ini didasari oleh pertimbangan dan pengawasan dari akal.

          Seperti halnya etika, estetika oleh perenialisme digolongkan pula ke dalam filsafat praktis. Kesenian, sebagai salah satu sumber penikmatan keindahan, adalah suatu kebajikan intelektual yang bersifat praktis filosofis.

          Seorang seniman mengadakan ekspresi terhadap benda (materi), agar dapat memberi makna perwujudan aktualitas dari benda-benda itu sesuai dengan potensialitasnya masing-masing. Jadi bila seorang seniman berusaha menunjukkan nili keindahan ia bersendikan prinsip-prinsip metafisik. Berhubung dengan itu keindahan sebagai nilai tertinggi dalam estetika, haruslah yang mengandung kabaikan tertinggi dalam arti etik. Ini berarti bahwa apa yang dapat dinilai indah haruslah yang dapat dipandang baik. Berarti pula bahwa dalam mempersoalkan masalah keindahan haruslah bersendikan atas dasar-dasar teologis, Ke- Tuhanan.

          Di samping itu rasa keindahan yang berarti adalah yang dapat dialami dengankatarsis, iaitu yang dapat menigkatkan hidup manusia dalam arti spiritual. Dengan demikian kegembiraan dan kesenangan yang dialami manusia berada dalam suasana peningkatan hakekatnya sendiri. 

 

ANTESEDENS

          Pandangan mengenai pendidikan yang wajar untuk menjadi antesedens adalah pandangan dari tokoh-tokoh utama perenialis pada masa sebelum abad modern. Berhubung dengan ituy pembicaraan mengenai pendidikan secara umum akan terdiri dari pandangan dari Plato, Socrates dan Thomas Aquinas dan diteruskan dengan pandangan dari tokoh-tokoh modern.

          Plato membentangkan pandangan mengenai pendidikan yang tidak terlepas dari pandangan politis dan doktrin mengenai dunia ide. Pandangan politisnya bersifat aristokratis. Sedangkan pengertian-pengertian mengenai dunia ide menjadi tumpuan terbentuknya pengertian hakiki mengenai realita, pengetahuan dan nilai, yang terdiri dari semua hal yang ada, yalah satu arkhetipe-arkhetipe dari semua benda partikular, kebenaran dan kebaikan.

          Berhubung dengan landasan pikiran di atas tujuan utama pendidikan adalah melatih pemimpin-pemimpin yang dapat mengakui dan melaksanakan tuntutan kebajikan dari ide-ide tersebut. Program pendidikan hendaklah disusun dan dilakukan dengan sengaja dan dimulai sejak anak dilahirkan sampai orang dewasa mencapai usia 50 tahun. Jangka waktu ini dibagi menjadi tahapan-tahapan umur.

          Tahapan-tahapan umur untuk pendidikan ini adalah sampai umur 20 tahun dengan pusat perhatian pengajaran muzik, gimnastik, membaca, menulis, berhitung dan latihan kemiliteran. Dari umur 20 sampai 30 tahun pendidikan dipusatkan pada ilmu pasti dan pengetahuan alam kodrat; dari umur 30 tahun sapai 35 tahun pada filsfat. Dan dari umur 35 sampai 50 tahun pada pengalaman-pengalaman praktis dalam masyarakat. Untuk tahap terakhir ini ketabahan yang bersifat moral dan intelektusl mendapat ujian dengan sungguh-sungguh.

          Program pendidikan yang ideal didasarkan atas faham adanya nafsu, kemauan, dan akal sebagai potensi jiwa manusia. Tiga kemampuan ini perlu mendapat perhatian dan perhitungan dalam pendidikan. Misalnya perkembangan anak-anak terutama mengenai nafsu dan kemauan. Maka tekanan pendidikannya pada gimnastik dan muzik. Sedangkan pada tingkat-tingkat berikutny terutama pada akal dan untuk itu perlu diberikan pengetahuan alam kodrat, ilmu pasti dan filsafat.

          Oleh karena akal mempunyai peranan untuk “memerintah” dua potensi jiwa yang lain, pendidikan akal mempunyai kelebihan dibanding dengan yang lain-lain. Latihan-latihan untuk akal harus lebih efektif dan lebih pasti dari pada yang lain.

          Aristoteles, sebagai murid Plato, juga memandang sangat penting perkembangan budi dengan menggunakan filsafat sebagai alat-alatnya. Latihan-latihan dalam lapangan ini perlu diutamakan karena merupakan proses pendidikan ke arah kebijaksanaan.

          Aristoteles menggangap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan rendah, sebab pada tingkat pendidikan usia muda ini perlu ditanamkan kesadaran menurut aturan-aturan moral dan, dengan ditambah hukum pergaulan dan tradisi merupakan hundamen yang penting baagi perkembangan pribadi anak.

          Anak-anak memerlukan tuntutan yang perlu sesuai dengan tujuan yang hendak di capai. Hal ini perlu karena anak harus diangkat ke atas, supaya unsur-unsur atau gerak anak-anak itu selalu berada di atas bentuk dan tujuannya. Pikiran Aristoteles adalah sesuai dengan pahamnya tentang piramida, yang mencakup pengertian tentang potensialitas dan aktualitas. Bila cita-cita pendidikan seperti tergambar pada piramida itu tidak dapat tercapai, berarti bahwa aktualitas anak masih berada di bawah potensialitasnya.

          Berdasarkan tinjauan filosofis hal seperti di atas itu belum merupakan inti hakikat perkembangan manusia yang ideal. Maka dari itu teori ini menyarankan agar guru memiliki potensialitas yang lebih dari siswa-siswanya. Dengan demikian guru akan mampu untuk menuntun berbagai kualitas dan kemampuan anak didiknya.

          Aristoteles juga mengemukakan bahwa pendidikan yang baik adalah yang bertujuan kebahagiaan.  Kebahagiaan tertinggi adalah hidup spekulatif ; dan dengan jalan teori hilomorfisme Aristoteles mengajarkan bahwa kebahagiaan itu bulat dan seimbang.

 

THOMAS AQUINAS

          Tokoh ini mempunyai pandangan bahwa pendidikan adalah menarik atau menuntun kemampuan-kemampuan yang masih “tidur” menjadi aktif dan nyata. Tingkat aktif dan nyata yang timbul dari dan bergantung dari kesadaran-kesadaran yang mendukungnya pada tiap-tiap individu.

          Tuntunan yang berasal dari guru kepada anak didik berwujud sebagai pengajaran, yang berfungsi untuk membantu substansimanusia untuk berkembang dan kaya akan pengalaman –pengalaman yang berasal dari luar. Sedangkan tugas seorang guru dapat dianalogikan dengan seorang dokter.

          Guru adalah penghubung antara Kebenaran-Realira tertinggi dengan anak didik sebagai makhluk yang selalu untuk berusaha mengerti dan menginsyafi perihal realita dengan segala macam bentuk dan tingkat-tingkatnya. Dokter membantu organisma yang sakit atau luka dalam tendensi herensinya untuk menyembuhkan diri sendiri. Jadi, karena perananya sebagai penolong anak atau orang yang sudah dewasa untuk mengerti dan mendudukkan tendensi inherensinya, tugas guru dan dokter mempunyai kesamaan.

          Dalam Abad Pertengahan, filsafat pendidikan yang ada lazim bersifat teosentris, dan sejalan dengan ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Pada Abad Pertengahan itu pula dukungan terhadap ajaran dari Thomas Aquinas kuat, malahan bersifat tunggal iaitu oleh Gereja Katolik. Gereja merupakan pusat pendidikan paling utama selama beberapa abad.

          Pada zaman sekarang, perenialisme berkembang dalam lingkungan yang lebih luas dibanding dengan periode-periode sebelumnya, artinya tidak hanya terbatas dalam lingkungan gereja Katolik. Dengan menggunakan panji-panji neoscholasticisme atau ne-Thomisme tokoh-tokoh tertentu menyebarkan gagasan –gagasan yang merupakan pandangan-pandangan baru. Tokoh-tokoh yang akan dipaparkan pandangan-pandangannya adalah Robert M. Hutchkins dan Jacques Maritain.

Robert M. Hutchkins, yang terkenal dengan usaha merintis gerakan “The Great Book Learning”, mengemukakan konsep mengenai isi pendidikan. Menurut tokoh ini konsep pendidikan yang isinya “penyesuaian terhadap lingkungan” dianggap tidak penuh dengan kebingungan. Kurikulum yang disusun atas dasar semacam ini dapat menjerumuskan pendidikan itu sendiri, karena sukar untuk dikendalikan.

Tugas manusia di dunia, menurut Hutchkuns, antara lain mengubah alam sekitar, bukan menyesuaikan dengan perubahan-perubahan. Berhubung dengan itu anak didik perlu “dipersenjatai” dengan sebaik-baiknya, dan “senjata” itu adalah nilai-nilai yang tinggi. Tetapi hal ini belum dapat menjamin bahwa anak didik dapat berbuat menurut prinsip tersebut di atas. Yang penting bukanlah yang banyak itu, tetapi penguasan dari hal-hal yang terpenting dari yang banyak itu. Yang terpenting inilah yang dapat diharapkan mempunyai peranan sebagai “senjata”.

Jacques Maritain, adalah tokoh kuat dalam lapangan agama Katolik dan filsafat dan mempunyai karya tulis yang cukup banyak. Di antaranya mengenai pendidikan dengan judul Educatiao at the Crossroad. Di bawah ini dikemukakan sejumlah disposisi dan norma fundamental mengenai pendidikan menurut maritain.

Disposisi yang terpenting adalah :

a)    Cinta akan kebenaran. Ini adalah tendensi utama dari intelek manusia.

b)   Cinta akan kebaikan dan keadilan. Inipun semuanya sesuai dengan sifat wajar manusia.

c)    Kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksisitensi. Yang dimaksud dengan ini adalah sikap yang wajar dari seseorang bahwa ia itu ada sebagi makhluk.

d)   Cinta akan kerjasama.

Berhubung dengan itu dapat ditentukan adnya norma-norma fundamental dalam pendidikan sebagai berikut :

a)     Perlu diusahakan agar disposisi tersebut di atas dapat tumbuh sebaik-baiknya dalam jiwa anak. Agar tendensi-tendensi tersebut mendapat pengaruh yang baik pendidikan perlu dilaksanakan dengan iluminasi dan pemberian semangat mengenai segala kebaikan.

b)     Pengaruh pendidikan hendaklah di uasahakan agar meresap ke dalam pribadi anak. Cara-cara pelaksanaan untuk ini adalah sebagai berikut : mula-mula mengikuti adanya perhatian spontan dan kecenderungan-kecenderungan wajar yang ada pada anak. Dengan melatih akal dan ingatan sebaik-baiknya dengan cerita-cerita yang mengandung ajran yang dalam, pendidikan berusaha agar pribadi anak didik mampu mengadakan adesi dengan realita. Kepada anak didik itu dipilih sedemikian agar adesi dapat berlangsung sebaik-baiknya.

c)     Pendidikan dan pengajaran adalah sarana untuk mengujudkan kebulatan (kesatuan) jiwa manusia dalam pribadi yang bulat dan seimbang pula. Pendidikan dan pengajaran perlu mempunyai implikasi dengan pengalaman dengan menempatkan pendidikan intelek sebagai prioritas utama. Jadi, apa yang dilaksanakan ini tidak semata-mata bersendikan atas spontanitas anak-anak.

d)     Tujuan pengajaran adalah agar anak didik dengan akalnya dapat menguasai apa yang dipelajari. Dengan demikian ia tidak berada di dalam ikatan pekerjaan, tetapi justeru di atasnya.

Cukilan pandangan Hutchkins dan Maritain ini menunjukkan adanya konsep pendidikan yang luas yang tersusun dengan maksud untuk disesuaikan dengan zaman. Sifat yang demikian ini nampak pula dalam bagian-bagian berikut ini, dan yang sekaligus merupakan kumpulan unsur kesamaan pandangan antar kaum perenialis.

 

PANDANGAN MENGENAI BELAJAR  

        Tuntutan tertinggi dalam belajar, menurut perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka, teri dan praktek pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut.

Sebagai makhluk, manusia mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk lain, ialah karena memiliki sifat rasionalitas. Rasionalitas ini merupakan sifat umum manusia, dan merupakan evidensi sendiri. Permulaan dan akhir dari keaktifan  jiwa manusia adalah pada rasionalisme tersebut.

Sifat rasional dari pada manusia itu melahirkan konsep dasar tentang kebebasan. Bahwa dengan rasionya manusia dapat menghilangkan belenggu atau rintangan yang dihadapi, maka ia lalu merdeka. Kemerdekaan itu haruslah menjadi tujuan dan dilaksanakan dalam pendidikan, supaya anak didik mempunyai kemampuan berbuat dengan sengaja.

Atas dasar pandangan di atas dapatlah disimpulkan bahwa belajar itu pada hakekatnya adalah belajar untuk berpikir. Untuk ini perlu diadakan kebiasaan-kebiasaan sejsk anak didik masih muda.

Sebagai pendahuluan pendidikan ke arah tujuan tersebut, kecakapan-kecakapan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung, penting sekali karena merupakan permulaan dari yang lain-lain. Untuk tingkat yang lebih tinggi latihan-latihan yang diperlukan adalah mengenai paramasatra, logika dan retorika.

Dasar pikiran mengenai perlunya pendidikan dan pengajaran semacam ini adalah bahwa bahasa adalah intisari penguasaan logika dan retorika. Bahwa agar orang dapat menguasai kaidah kaidah pokok dalam berpikir, perlu belajar baik-baik untuk menghubungkan kata yang satu dengan yang lain, hingga dapat dicapai kejelasan tata. Maka rasio dapat memperoleh bahan-bahan untuk bekerja atau bertindak. Dengan demikian jiwa, jadi aku, dapat mengadakan hubungan ke dalam, artinya dengan sendiri; yaitu dengan orang lain.

Lain dari pada latihan-latihan di atas, semantik juga mempunyai peranan yang sangat penting. Pengetahuan ini, yang mengajarkan arti dari pada arti, dapat menjadi bekal cara berpikir yang lurus dan kaya. Cara inidapat mengantarkan seseorang berpikir dengan berhasil, karena bersendikan atas konsep-konsep yang abstrak.

Letak disiplin mental bila dihubungkan dengan gambaran piramida menurut Aristoteles ada pada salah satu bagian puncak dari piramida tersebut. Berarti dalam soal belajar yang terpenting adalah mengenai esensi, termasuk esensi dari materi yang diberikan kepada anak didik. Dan kualitas materi dari yang esensial adalah lebih sedikit dibanding dengan yang lain-lain.

Segi-segi yang bersifat esensial merupakan hasil saja dari kuantita materi keseluruhan. Maka dengan sendirinya materi di luar itu merupakan kuantita yang lebih segar dan ini dapat diujudkan dalamproses belajar sebagi perbuatan pengalaman langsung atau tidak langsung. Ini diuashakan terus bergerak dari hal-hal yang bersifat perifir sampai kepada yang hakiki dan metafisis.

Dalam rangka mencapai uasaha efesiensi dalam belajar, menggerakkan kognisi (mengetahui), afeksi (merasa) dan konasi (berbuat), merupakan kegiatan yang perlu mendapat perhatian yang cukup. Tujuannya tidak lain adalah agar anak didik mengalami perkembangan kepribadian yang utuh (integral) dan seimbang sesuai dengan pandangan bahwa manusia itu bersifat psikosomatis.

Belajar dapat dibedakan menjadi dua, iaitu belajar karana pengajaran dan belajar karena penemuan. Untuk yang pertama, adalah guru memberikan penerangan atau pengetahuan, juga mengadakan pencerahan. Pencerahan ini dapat dilakukan dengan jalan menunjukkan dan menafsirkan implikasi dari pengetahuan dan ilmu yang diberikan.

Untuk tipe belajar yang kedua tidak lagi memerlukan guru, siswa diharapkan telah dapat belajar atas kemampuannya sendiri.

 

PANDANGAN TENTANG KURIKULUM

Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak disik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan tersebut.

Perenialis tidak mengesampingkan memorisasi. Meskipun diketahui benar memorisasi itu bersifat mekanis, karena belajar mempunyai peranan untuk menerima benih-benih yang baik, maka memorisasi diperlukan. Memorisasi diperlukan agar benih-benih tersebut berada dengan baik dalam jiwa anak didik sebelum dapat berakar dan tumbuh.

Sejalan dengan pandangan di atas, perenialisme sangat menghargai pengalaman yang tidak langsung, meskipun tidak mengesampingkan pengalaman langsung. Diyakini pula agar mata pelajaran-mata pelajaran yang diterima anak didik dapat mencapai integrasi diperlukan adanya pengalaman langsung. Lain dari pada itu pengalaman langsung diperlukan untuk mempelajari kebutuhan riil manusia.

Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengetahuan yang serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti mebaca, menulis dan berhitung anak didik memperoleh dasar penting bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.

Tugas sekolah rendah yang lain adalah pendidikan watak dengan tekanan utama pada kebajikan-kebajikan moral. Untuk ini, yang diperlukan adalah penanaman dan latihan yang memadai agar tertanamanya kebajikan itu menjadi kuat.

Oleh karena pendidikan rendah baru memberikan pendidikan dasar, maka belum dapat dijadikan dasar pembaharuan sosial dalam arti sesungguhnya. Di samping itu belum juga dapat disebut sebagai badan untuk mengadakan pembaharuan sosial.

Prinsip-prinsip kurikulum untuk sekolah menengah dengan suatu prinsip peningkatan pemasakan akal anak didik. Peningkatan ini adalah dalam bentuk pendidikan umum, yang menuntun perkembangan umum, psikis dan fisik anak didik yang berumur dari 12 sampai 20 tahun.

Bagi mereka yang berumur 12 sampai 16 tahun kurikulum yang diperlukan terdiri dari bahasa-bahasa modern. Penguasaan bahasa akan merupakan usaha pengenalan dunia luas bagi anak didik.

Anak didik yang berumur 16 tahun sampai 20 tahun perlu mendapatkan pengetahuan dengan kelompok:

(a)          Yang merupakan kunci dari penalaran seperti logika, retorika, paramasastera dan ilmu pasti;

(b)         Yang termasuk ke dalam “buku-buku” besar sepanjang masa. Golongan ini adalah tulisan dari tokoh-tokoh besar, yang karenanya bernilai besar pula sepanjang masa.

          Golongan yang pertama adalah pengetahuan yang dapat meningkatkan atau mempertinggikecerdasan akal, sedangkan golongan kedua adalah isi hakiki dari kebudayaan.

          Kelompok-kelompok pengetahuan tersebut di atas bila dilanjutkan pada taraf pendidikan umum. Tugas pendidikan umum ini diselenggarakan pada tahun-tahun pertama.

          Mengenai hakekat pendidikan tinggi ini, Robert Hutchkins mengutarakan lebih lanjut, bahwa kalu pada Abad Pertengahan bersifat teologis, sekarang seharusnya bersendikan filsafat metafisika. Filsafat ini ada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Di samping itu, dikatakan pul  a bahwa karena kedudukan sendi-sendi tersebut penting, maka perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilistis.

          Sifat rang demikian itu telah sewajarnya dimiliki oleh perguruan tinggi. Untuk ini dapat dijelaskan bahwa meskipun perguruan tinggi di samping filsafat juga memlihara ilmu-ilmu lain, hubungan ilmu-ilmu ini dengan metafisika tetap ada. Misalnya,ilmu-ilmu sosial tentu mempunyai sangkut paut dengan filsafat praktis. Kalau dihubungkan dengan peri kesusilaan dalam pergaulan antar manusia, hal ini akan menyangkut etika. Oleh karena mengenai etika, maka dengan sendirinya mempunyai hubungan dengan metafisika pula.

 

 

BAB IV

METODE

 

PENDAHULUAN

          Pembicaraan mengenai suatu bidang studitidak lengkap bila tidak disertai dengan tinjauan mengenai metode. Oleh karena yang dimaksud dengan metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data, yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut, maka usaha pengembangan metode itu sendiri merupakan syarat mutlak. Dengan demikian, dengan melalui tinjauan akademik, pengetahuan mengenai metode ini merupakan bagian yang tiada terpisahkan dari

keseluruhan disiplin yang bersangkutan.

 

          Usaha untuk mengenal ciri-ciri metode dalam filsafat pendidikan, dapat dilakukan lewat pengenalan mengenai ciri-ciri perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan (science) pada umumnya. Hal ini diteruskan dengan pengetahuan tentang jenis pertanyaan dalam pendidikan itu yang termasuk dalam lingkup filsafat pendidikan. Dengan mengadakan identifikasi ini pengenalan mengenai metode dapat dipermudah, karena hasil identifikasi dapat memberi penerangan dan memperjelas lingkup filsafat pendidikan.

          Dengan berpedoman pada dasr-dasar di atas, uraian di bawah ini berturut-turut adalah mengenai: ciri-ciri perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan (science) dan gambaran mengenai masalah metode.

 

FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN

          Dalam sebuah analisa mengenai filsafat, ilmu dan filsafat pendidikan dalam bukunya yang berjudul Introduction to Philosophy of Education, Stella Van Petten Henderson mengemukakan, bahwa filsafat selalu berusaha untuk memahami segala sesuatau yang timbul dalam spektrum pengalaman manusia; dan berusaha untuk memperoleh pandangan yang luas (komprehensif) mengenai alam, dan mampu memberikan penerangan yang universal mengenai hakekat benda-benda (segala sesuatu).

          Dengan demikian jelaslah bahwa filsafat bukan hanya pengetahuan, tetapi berusaha menyelami hal-hal yang berada di balik pengetahuan tersebut, untuk memahami adanya saling hubungan satu sama lain. Dengan mengetahui saling hubungan ini diharapkan dapat dikenal adanya implikasi yang dapat diperkirakan. Maka, sampailah fungsi dari filsafat sebagia ilmu yang menjadi sumber kebajikan manusia. Artinya, dengan dasar pengetahuan yang bersifat filosofis ini diharapkan orang dapat memberikan pendapat dan keputusan yang serba bijaksana.

          Baik ditinjau dari sudut peranan filsafat maupun dari sistem implikatif peranan sebagai sumber kebajikan, nampak adanya perbedaan hakiki antara filsafat dan ilmu pada umumnya. Kalau filsafat memandang sesuatu secara “sinopsis”, ilmu menjurus ke bagian-bagian dengan tujuan yang serba mendalam tiap bagian yang kecil sekalipun. Dengan berdasarkan atas pengetahuan yang dapat dikumpulkan dari berbagai jenis lapangan tersebut, ”….filsafat berusaha untuk melihat alam semesta sebagai keseluruhan dan tempat manusia di dalamnya. Keseluruhan mempunyai sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh bagian-bagiannya dan semua sifat ini merupakan fokus utama dari filsafat.

          Ilmu berusaha untuk mengetahui fakta sebagaimana adanya, sedangkan filsafat berusaha mendalami bagaimana seharusnya sesuatu itu. Dalam hal penemuan yang telah dihasilkan oleh suatu ilmu, filsafat dapat membantu pemikiran tentang bagaimana hasil itu dapat digunakan sejauh keperluan peningkatan kesejahteraan manusia.

          Dalam ilmu, pengalaman manusia merupakan permulaan dari usaha penelitian dan pengungkapan fakta, dan pengalaman itu pula akan merupakan tempat untuk menguji hasil-hasil yang telah dicapai. Filsafat, dalam usaha penelitian dan pengungkapan data mulai pula dari pengalaman, tetapi karena hasil yang hendak dicapai itu bersifat komprehensif dan berada di balik fakta dan pengalaman itu sendiri, maka akallah dengan keterampilan ulah fikir, mampu menjangkau jauh ke arah kesimpulan-kesimpilan yang hakiki.

          Hal di atas dapat diterangkan dengan kata lain, filsafat dan ilmu pengetahuan itu bersifat komplementer. Filsafat dapat menetukan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh manusia demi peningkatan ketenangan dan kesejahteraan hidup, pergaulan dan bernegara. Untuk ini bagi bangsa Indonesia telah menemukan melalui filsafat Pancasila. Ilmu pengetahuan, dengan dasar pijak tersebut di atas, berusaha dengan segala kegiatannya. Mengumpulkan data atas dasar pengalaman untuk membantu bagaimana tujuan-tujuan di atas dapat tercapai. Dengan demikian keyakinan akan kebenaran filsafat Pancasila dapat terus ditingkatkan dan kebajikan dapat dirumuskan.

          Adapun kedudukan filsafat pendidikan dalam hal penemuan yang bersifat melampaui pengalaman ini adalah “penerapan filsafat terhadap studi problema-problema pendidikan.” Maka, jelaslah bahwa problema-problema tersebut harus yang memang sewajarnya ditinjau secara filosofis.

          Untuk memperjelas bagaimanasifat kadar ilmiah dan filosofis, dalam rangka memahami makna metode filosofis, Anderson mengihtiarkan hubungan antara ilmu pengetahuan dan filsafat sebagai berikut :

 

 


Ilmu Pengetahuan :

1.   Aslinya, anak dari filsafat.

2.   Analitis, meneliti semua fenomena setiap saat timbul dan melukiskan menurut bagian-bagiannya.

3.   Memperhatikan fakta, melukiskan sebagaimana adanya, berusaha mengadakan abstraksi dari keinginan dan harapan manusia.

4.   Memulai dengan asumsi-asumsi.

5.   Menggunakan eksperimen sebagai salah satu metode utama; mengadakan pembuktian dengan alat pengalaman indera.

 

 

 

 

 

Filsafat :

1.   Ibu dari pengetahuan.

2.   Sinopsis, meneliti dunia sampai alam semesta sebagai keseluruhan, dan sebagai mungkin berusaha menerangkan dan memahami keseluruhan.

3.   Tidak hanya memperhatikan benda-benda seperti adanya, melainkan sebagaimana mereka seharusnya. Kehendak dan nilai-nilai pada manusia adalah faktor yang penting.

4.   Meneliti senua pertanyaan dan semua asumsi.

5.   Memperhatikan hasil penemuan utama dari ilmu, mengadakan pembukitan dengan akal yang berdasarkan atas pengalaman manusia.       


Dari perbandingan tersebut di atas tampak sifat yang radikal daripada filsafat dibanding dengan ilmu pengetahuan. Hal ini terlukiskan dalam istilah-istilah sinopsis dan melihat segala sesuatu dari sudut keseluruhan, meninjau segala sesuatu tidak hanya dari sudut keadaanya sekarang, juga dari sudut bagaimana seharusnya, dan menguji dan memperhatikan semua asumsi.

Sifat-sifat tersebut di atas menunjukkan bahwa filsafat, dalam arti metodologis, menggunakan sudut pandangan hakiki terhadap obyeknya. Ini merupakan kekhususan atau suatu corak utama dari filsafat tersebut.

Berhubung dengan corak tersebutdi atas, hal-hal yang menjadi lingkup filsafat pendidikan untuk diteliti adalah yang diawali oleh corak pertanyaan yang bersifat teoritik dan hakiki; dan yang tidak hanya melihat hal sesuatunya itu dari sudut keadaan sekarang, melainkan bagaimana seharusnya di masa yang akan datang. Hasil yang dicapai memberikan pandangan jangkauan ke depan dan bersifat hakiki.

 

 

FILSAFAT TRADISIONAL DAN FILSAFAT KRITIS

          Sudah barang tentu dalam berbagai jenis penelitian filsafat pendidikan, selain pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicari jawabanya harus bersifat filosofis, pertanyaan-pertanyaan itu sendiri haruslah diketemukan. Untuk ini terlebih dahulu perlu ada tinjauan tentang penegrtian filsafat tradisional dan filsafat kritis.

          Filsafat tradisional adalah filsafat sebagaimana adanya sistematika, jenis, serta aliran sebagaimana dijumpai dalam sejarah. Jadi, kalau diajukan pertanyaan-pertanyaan maka jawab yang diperlukan ada melekat pada masing-masing jenis tersebut. Lain halnya dengan filsafat kritis, pertanyaan-pertanyaan yang dapat disusun dapat dilepaskan dari ikatan waktu (historis) dan usaha mencari jawab dapat “memobilisasikan” berbagai aliran yang ada. Sedangkan jawab yang diperlukan dapat dicari dari masing-masing aliran itu sendiri, diambilkan dari jenis masalah yang bersangkutan dengan aliran yang bersangkutan.

          Berbeda dengan dalam pengertian filsafat kritis (critical philosophy) hal-hal yang diutarakan di atas diusahakan penyelesaiannya dengan melalui jalan lain. Pertanyaan-pertanyaan filosofis diusahakan jawabannya melalui analisa filosofis pula.

          Analisa filosofis dan kritis diperlukan, karena data yang diperlukan bukanlah yang diketemukan dari penelitian laboratoria, melainkan dari perenungan. Harry Schofield mengatakan bahwa analisa filosofis pada hakekatnya terdiri dari analisa linguistik dan analisa konsep. Yang pertama adalah usaha untuk mengetahui arti yang sesungguhnya dari sesuatu ; sedangkan yang kedua adalah analisa kata-kata yang dapat dikatakan kunci atau pokok, yang mewakili suatu gagasan atau konsep. Pada hakekatnya dua jenis analisa ini tidak dapat dipisahkan atau sama lain.

 

ANALISA BAHASA DAN ANALISA KONSEP

          Dua jenis analisa tersebut dikemukakan agar penelitian filsafat tidaklah semata-mata mengadakan pendekatan yang “historiko filosofis”, melainkan agar berfilsafat dalam arti sesungguhnya. Yang pertama adalah mengadakan diteksi dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mana yang telah mendapat jawab dari para ahli filsafat sepanjang sejarah. Dari sekian jawab, dipilih oleh penanya mana yang sesuai dan dibutuhkan. Cara ini sebenarnya bagi peneliti, bukanlah mengemukakan problema filosofis dan dijawab secara filosofis pula.

          Adapun cara yang kedua peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan diusahakan jawabnyayang bersifat filosofis pula. Cara ini berarti bahwa peneliti tersebut dapat benar-benar terlibat dalam prosese penelitian itu sendiri.

          Dua jenis pendekatan tersebut di atas mempunyai makna penting baik bagi analisa bahasa maupun analisa isi. Lebih-lebih lagi bila diingat bahwa analisa isi itu akan mungkin sekali menyangkut berbagai istilah yang berkembang dari zamanke zaman, yang menyangkut beberapa perubahan variabel. Semuanya ini akan menyangkut tinjauan mengenai bahasa, meskipun mungkin tidak nampak adaanya perubahan prinsip-prinsip problema sepanjang sejarah.

          Analisa bahasa (linguistik) menurut harry Schofield, adalah usaha untuk mengadakan interpretasi yang menyangkut pendapat atau pendapat-pendapat mengenai makna yang dimilikinya. Di samping itu, analisa konsep adalah suatu analisa mengenai istilah-istilah (kata-kata) yang mewakili gagasan atau konsep. Contoh jenis-jenis tersebut adalah :

          Penerapan analisa bahasa (linguistik) antara lain untuk “sejarah adalah perkembangan yang menarik”. Sedangkan bila usaha untuk mengetahui makna dari “sejarah” saja diperlukan analisa konsep.

 

a) Analisa Bahasa

          oleh karena bahasa itu dapat digunakan secara rasional dan emosional, filsafat mengutamakan jenis yang pertama. Hal ini penting untuk dijadikan pegangan, karena biasanya penggunaan bahasa yang emosional itu berisikan prasangka dan gagasan-gagasan yang telah ada dahulu. Maka dari itu ulasan-ulasan yang bersifat memasukkan unsur perasaan akan dapat mengurangi sifat keobyektifan dari interpretasi atau pemberian arti.

          Sehubungan dengan dasar analisa bahasa yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa pengertian mengenai filsafat pendidikan akan menggunakan sumber-sumber tertulis sebagai sumber pengambilan data. Maka dari itu prinsip-prinsip yang berlaku mengenai penelitian deskriktif dan historis dapat diterapkan bagi filsafat pendidikan. Termasuk dalam lingkup ini antara lain : pemilihan dan pengumpulan sumber, kritik terhadap sumber, baik yang eksteren maupun yang intern, dan analisa dokumen untuk mencari jawab pertanyaan-pertanyaan yang menunjuk kepada jenis data yang diharapkan.

          Dengan mengemukakan satu deretan pertanyaan-pertanyaan yang mempunyai hubungan satu sama lain, diharapkan agar analisa dokumen ini bukanlah semata-mata memperhatikan satu atau dua kata, tetapi konsep-konsep dalam konteks yang semestinya. Schofield, dalam hubungan ini mengemukakan, bahwa bila orang akan mempelajari makna dari “pendidikan komprehensif”, ia tidak hanya memperhatikan kata-kata, tetepi juga perlu memperhatikan gagasan-gagasan. Gagasan-gagasan ini adalah yang mempunyai pengaruh terhadap seseorang sebagai orang tua, guru dan terhadap anak didik sebagai seseorang yang akan dididik.

Di bawah ini adalah beberapa contoh yang lain sebagai penjelasan :

a) Makna dari pendididkan pembangunan, perlu ditelaah ke dalam konteks makna dari pembangunan itu sendiri, tujuan, peranan, fungsi dan sasaran-sasarannya.

b) Makna dari pendidikan formal perlu dipelajari antara lain dalam konteks, makna dan tujuan pendidikan nasional, sarana pencapaian dan jenis lembaga yang diperlukan.

c) Makna dari pendidikan non formal perlu ditelaah dalam hubungan dengan makna pendidikan nasional, pendidikan formal dan peranan pendidikan bagi pengembangan umum masyarakat.

d) Makna dari pendidikan tinggi suatu bangsa dapat dipelajari dalam hubungannya dengan gagasan pengembangan ilmu dan kesejahteraan bangsa di masa-masa yang akan datang.

b) Analisa Konsep

          sesudah pada bagian-bagian di muka dibicarakan mengenai analisa bahasa (linguistik), sampailah sekarang pada pembicaraan tentang anlisa konsep. Hal ini adalah mengenai kata-kata yang dipandang pokok atau kunci, yang mewakili gagasan suatu konsep.

          Bila suatu analisa berusaha untuk menjawab mengenai apa-nya sesuatu, makna apa yang dilakukan ini adalah analisa filosofis. Jawab ini akan berbentuk sebagai definisi-definisi. Dalam hubungan dengan sumber-sumber tertulis-sebagai sumber-sumber pengambilan data-maka definisi-definisi yang diperlukan haruslah diangkat dari sumber-sumber tersebut. Di bawah ini adalah beberapa cara :

(1)   Secara historiko filosofis.

Dengan berpijak pada definisi sebagai dasar, maka analisa historiko filosofis akan mengungkapkan suatu deretan definisi mengenai pendidikan dari Zaman Kuno sampai sekarang ini. Tokoh-tokoh yang mempunyai andil dalam hubungan ini misalnya : Plato, Aristoteles, Bertrand Russell, John Milton, Comenius, Mangkunagoro IV, Yasadipura, Ranggawarsita, Mohammad Syafii, KHA Dachlan dan Ki Hadjar Dewantara.

Rangkaian definisi yang dapat diketemukan dalam analisa dokumen secara historika filosofis belum dapat menjawab terakhir mengenai makna dari pendidikan itu sendiri. Orang masih mempunyai kecenderungan untuk menerima beberapa dan tidak menggunakan yang lain. Bila ditelaah sebab musabab sikap yang demikian ini, alasan yang dapat dikemukakan adalah sering subyektif.

(2)  Melalui tinjauan tentang definisi

Agar dapat terhindar dari kesulitan tersebut, studi filsafat perlu memperhatikan dua jenis definisi, yang oleh Schofield dibedakan menjadi yang deskriptif dan yang stipulatif. Definisi jenis pertama ini sering disebut definisi kamus (dictionary definitions); definisi yang telah disusun dan telah merupakan standar. Bagi seseorang yang mengadakan studi, persoalannya tinggal menerima atau tidak, atau mengadakan elaborasi untuk mengubahnya.

Dengan memperhatikan adanya kenyataan bahwa definisi-definisi mengenai pendidikan itu sendiri, usaha untuk memikirkan makna dari pendidikan itu selalu ada proses. Dan dari inipun dapat digambarkan bahwa pendidikan itu sendiri, usaha untuk memikirkan makna dari pendidikan itu selalu berada dalam proses. Dan dari inipun dapat digambarkan bahwa pendidikan, merupakan suatu “keluarga gagasan-gagasan yang disatukan oleh jaringan (net work) kesaman-kesaman, yang saling melindih dan bersilangan.

Ini berarti bahwa untuk mengetahui makna pendidikan perlu diusahakan adanya tinjauan yang melihat pensndidikan itu dari sudut proses, dan peneliti menempatkan diri sebagai penanya yang bebas, baik dalam mengemukakan pertanyaan-pertanyaan    yang relevan maupun mencari jawab yang diperlukan. Cara ini adalah disebut  cara stipulatif.

Dalam hubungan ini,Schofield bbbila pendidikan didefinisikan sebagai “ Pendidikan adalah…..” merupakan sebuah definisi deskriptif; sedangkan bila “Pendidikan dpat dipikirkan sebagai….” Adalh stipulatif. Atas dasar pijak ini dikembang kan berbagai pemikiran  yang memperjelas makna dari pendidikan itu.

(3)  Pendidikan sebagai proses.

Dengan memperhatikan pendidikan sebagai suatu proses, maka  agar dapat dikenal apakah suatu proses itu mempunyai aspek-aspek yang termasuk ke dalam lingkup pendidikan , diperlukan standart untuk membandingkan. Schofield, dengan mengutip pandangan dari  R.S. Peters, mengemukakan adanya tiga standard, untuk mengeahui suatu proses itu termasuk ke dalam pendidikan atau bukan.

Dengan mempertimbangkan revelansi, Peters memasukan tiga hal sebagai kriteria sebagai berikut:

1.   Pendidikan berisikan pemindahan (transmission) apa yang berarti bagi mereka yang memerlukan perkembangan untuk itu.

2.   pendidikan haruslah menyang kut pengetahuan dan pemahaman dan beberapa jen9is “perspektif kognitif” yang tidak merupakan pembawaan.

3.   Pendidikan akan menyingkirkan beberapa prosodur pemindahan yang dapat mengabaikan kemauan dan sikap sukarela dari pihak anak didik.8)

Tiga kriteria ini mengandung unsur-unsur utama: nilai dan kebudayaan, yang dipindahkan dari satu angkatan kepada angkatan berikutnya; pengetahuan dan pemahaman mengenai apa saja yang dipindahklan; yang ketiga mengenai metode. Tiga unsur yang berupa isi, keaktipan dan kemampuan yang diharapkan dari anak didik, serta metode yang tepat, merupakan kesatuan yang menunjukkan ciri pengetian pendidikan.

Tinjauan seperti tersebut dapat menghasilkan suatu kesatuan uth mengenai pandangan dalam pendidikan. Denggan berpijak pada kriteria tersebut, peneliti dapat mengadakan elaborasi penjabaran masalah yang tercakup pada tiap-tiap lingkup, dan setelah ditinjau dalam bentuk-bentuk konsep, akan sampai kepada kesatuan gagasan mengenai pendidikan.  

Adapun dalam kaitannya dengan analisa dokumen dan pengembangan konsep selanjutnya, Schofield menunjukkan adanyanya beberapa rangkaian usaha agar sampai kepada hasil yang setepatnya sebagai berikut:                

1.   berusaha untuk menemukan kembali arti istilah-istilah pendidikan yamg bersangkutan (khusus), yang telah kabur karena penggunaan istilah tersebut yang kurang teliti.

2.   Konsep-konsep tersebut dinilai obyektif, berarti menjauhkan dari gagasan-gagasan yang telah ada pre-konsepsi.

3.   Analisa yang digunakan hendaklah bersendikan atas penerapan logika dan bukan semata-mata atas dogmatisme. Hendaklah bukan karena reputasi seseorang suatu konsep dinyatakan benar, melainkan karena secara obyektif dapat digunakan sebagai pegangan.

4.   Suatu proses penemuan hendaklah didasarkan pada pemahaman yang jelas mengenai hubungan antara pikiran, bahasa dan realita. Apa yang merupakan hasil pikiran, haruslah dapat dilukiskan dengan bahasa, dan memenuhi syarat sebagai realita.9)          

 

 

 

 

 

         

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

Related Posts :

0 Response to "Filsafat Umum"

Post a Comment

Komentarnya ya...