ANALISA FILSAFAT dan TEORI PENDIDIKAN ISLAM

 

ANALISA FILSAFAT dan

TEORI PENDIDIKAN ISLAM

Oleh    : Dra. Zuhairini, dkk.

 

1.      ANALISA FILSAFAT DALAM MASALAH PENDIDIKAN

 

Masalah pendidikan, adalah merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya adalah proses yang satu. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Rupert C. Lodge dalam bukunya “Philolosophy of Education” sebagai berikut:

“The word education is used, sometimes in a wider, sometimes in a narrower sense. In the wider sense, all experience is said to be educative. . . . . . The child educates his parents, the pupil educates his master. Everything we say, think or do, educates us, no less than what is said or done to us by other beings, animate or inanimate. In this wider sense, life is education, and education is life”.8)                            

           

            Kalau kita perhatikan pengertian yang luas dari pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Lodge, yaitu bahwa “life is education, and education is life”, akan berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah  proses pendidikan. Segala pengalaman sepanjang hidupnya merupakan dan memberikan pengaruh pendidikan baginya.

            Selanjutnya, dalam artinya yang sempit Lodge menjelaskan pengertian pendidikan sebagai berikut :

 

            “In the narrower sense, education is resticted to that function, its background, and its outlook to the member of the rising generations.

               8. Ruper C. Lodge, Philosophy of Education, Harer & Brothers, New York, 1974, hal 23. …..in the narrower sense, education becomes, in practice identical with ‘schooling’, i.e. formal instruction under controlled conditions’’…. 9

            Dalam artinya yang sempit, pendidikan hanya mempunyai fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar-dasar dan pandangan hidup kepada generasi yang tumbuh, yang dalam prakteknya identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta lingkungan belajar yang serba terkontrol.

 

            Bagaimanapun luas sempitnya pengertian pendidikan, namun masalah pendidikan adalah merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggungjawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan cirri-ciri kemanusiaannya. Dan pendidikan formal di sekolah hanyalah bagian kecil saja daripadanya, tetapi merupakan inti dan tidak bisa lepas kaitannya dengan proses pendidikan secara keseluruhannya.

 

            Dengan pengertian pendidikan yang luas, berarti bahwa masalah kependidikan pun mempunyai ruang lingkup yang luas pula, yang menyangkut seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Memang di antara permasalahan kependidikan tersebut terdapat masalah yang sederhana yang menyangkut praktek dan kehidupan manusia. Memang di antara permasalahan kependidikan tersebut terdapat masalah yang sederhana yang menyangkut praktek dan pelaksanaan sehari-hari, tetapi banyak pula di antaranya yang menyangkut masalah yang bersifat mendasar dan mendalam, sehingga memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain dalam memecahkannya. Bahkan pendidikan juga menghadapi persoalan-persoalan yang tidak mungkin dijawab dengan menggunakan analisa ilmiah semata-mata, tetapi memerlukan analisa dan pemikiran yang mendalam, yaitu analisa filsafat.

            Sebagai contoh, berikut ini akan dikemukakan beberapa masalah kependidikan yang memerlukan analisa filsafat dalam memahami dan memecahkannya, antara lain :

(1)         Masalah kependidikan pertama dan yang mendasar adalah tentang apakah hakikat pendidikan itu. Mengapa pendidikan itu harus ada pada manusia dan merupakan hakikat hidup manusia. Dan apa pula hakikat manusia itu, dan bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup dan kehidupan  manusia.

(2)         Apakah pendidikan itu berguna untuk membina kepribadian manusia. Apakah potensi hereditas yang menentukan kepribadian manusia itu, ataukah faktor-faktor yang berasal dari luar/lingkungan dan pendidikan. Mengapa anak yang mempunyai potensi hereditas yang baik tanpa dibarengi dengan lingkungan dan pendidikan yang baik pula tidak mencapai kepribadian yang diharapkan; dan kenapa pula anak yang mempunyai potensi hereditas yang tidak baik, walaupun mendapatkan pendidikan dan lingkungan yang baik, tetap tidak berkembang dengan baik pula.

(3)         Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu. Apakah pendidikan itu unutk individu, atau untuk kepentingan masyarakat. Apakah pendidikan itu dipusatkan untuk membina kepribadian manusia ataukah untuk pembinaan masyarakat. Apakah pembinaan manusia itu semata-mata untuk dan demi kehidupan riel dan material di dunia ini, ataukah untuk kehidupan kelak di akhirat yang kekal?

(4)         Siapakah hakikatnya yang bertanggung jawab terhadap pendidikan itu, dan sampai di mana tanggung jawab tersebut. Bagaimana hubungan tanggung jawab antara keluarga, masyarakat, dan sekolah terhadap pendidikan, dan bagaimana tanggung jawab pendidikan tersebut setelah manusia dewasa dan sebagainya.

(5)         Apakah hakikat pribadi manusia itu. Manakah yang lebih utama untuk dididik; akal, perasaan atau kemauannya, pendidikan jasmani atau pendidikan mentalnya, pendidikan skil ataukah intelektualnya, ataukah kesemuanya itu.

(6)         Apakah hakikat masyarakat itu, dan bagaimana kedudukan individu dalam masyarakat, apakah individu itu independen ataukah dependen dalam masyarakat.

(7)         Apakah isi kurikulum yang relevan dengan pendidikan yang ideal, apakah kurikulum yang mengutamakan pembinaan kepribadian dan sekaligus kecakapan untuk memangku suatu jabatan dalam masyarakat, ataukah kurikulum yang luas dengan konsekuensi yang kurang intensif penguasaanya dan bersifat praktis pula.

(8)         Bagaimana metode pendidikan yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan yang ideal, bagaimana kepemimpinannya dan pengaturan aspek-aspek sosial pedagogis lainnya.

(9)         Bagaimana asas penyelenggaraan pendidikan yang baik, apakah sentralisasi, desentralisasi, ataukah otonomi; apakah oleh negara ataukah swasta, dan sebagainya. 10)      

            Problema-problema tersebut, merupakan sebagian dari contoh-contoh problematika pendidikan, yang dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran yang mendalam dan sistematis, atau analisa filsafat. Dalam memecahkan masalah-masalah tersebut, analisa filsafat menggunakan berbagai macam pendekatan (approach) yang digunakan antara lain:

(1)         pendekatan secara spekulatif atau speculative-approach, yang disebut juga sebagai cara pendekatan reflektif. Baik spekulatuf maupun reflektif (dari kata : speculate dan reflect) keduanya berarti : memikirkan, mempertimbangkan, juga membayangkan dan menggambarkan. Ini adalah teknik pendekatan dalam filsafat pada umumnya. Dengan teknik pendekatan ini, dimaksudkan adalah memikirkan, mempertimbangkan dan menggambarkan tentang sesuatu obyek untuk mencari hakikat yang sebenarnya. Masalah-masalah kependidikan memang berhubungan dengan hal-hal yang harus diketahui hakikat yang sebenarnya, misalnya apakah hakikatnya mendidik dan pendidikan itu, hakikat manusia, hakikat hidup masyarakat, individu, kepribadian, kurikulum, kedewasaan dan sebagainya.

(2)         Pendekatan normatif (normative-approach). Norma, artinya nilai atau aturan dan ketentuan yang berlaku dan dijunjung tinggi dalam hidup dan kehidupan manusia. Norma-norma tersebut juga merupakan masalah-masalah kependidikan, di samping dalam usaha dan proses pendidikan itu sendiri, sebagai bagian dari kehidupan manusia, juga tidak lepas dari ikatan norma-norma tertentu. Dengan teknik pendekatan normatif, dimaksudkan adalah berusaha untuk memahami nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam hidup dan kehidupan manusia dan dalam proses pendidikan, dan bagaimana hubungan antara nilai-nilai dan norma-norma tersebut dengan pendidikan. Dengan demikian akan dapat dirumuskan petunjuk-petunjuk ke arah mana usaha pendidikan diarahkan.

(3)         Pendekatan analisa konsep (conseptual analysis). Konsep, artinya pengertian, atau tangapan seseorang terhadap sesuatu obyek. Setiap orang mempunyai pengertain atau tanggapan yang berbeda-beda mengenai yang sama, tergantung pada perhatian, keahlian dan kecenderungan masing-masing. Konsep seorang pedagang tentang kerbau misalnya, berbeda dengan konsep seorang seniman tentang kerbau yang sama, berbeda pula dengan seorang petani, peternak, seorang guru, seorang anak dan sebagainya. Dengan analisa konsep sebagai pendekatan dalam filsafat pendidikan, dimaksudkan adalah usaha memahami konsep dari para ahli pendidikan, para pendidik dan orang-orang yang menaruh perhatian atau minat terhadap pendidikan, tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Misalnya konsep mereka tentanganak, tentang jiwa, masyarakat, sekolah, tentang berbagai hubungan (interaksi) yang bersifat pendidikan, serta nilai-nilai dan norma-norma yang berkaitan dengan proses pendidikan, dan sebagainya.

(4)         Analisa ilmiah terhadap realitas kehidupan sekarang yang aktual (scientific analiysis of current life). Pendekatan ini sasarannya adalah masalah-masalah kependidikan yang aktual, yang menjadi problem masa kini. Dengan menggunakan metode-metode ilmiah, dapat didiskripsikan dan kemudian difahami permasalahan-permasalahan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan dalam proses pendidikan. 11)

            Selanjutnya Harry Schofield, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan, menekankan bahwa dalam analisa filasafat terhadap masalah-masalah pendidikan digunakan dua macam pendekatan, yaitu: (1) pendekatan filsafat historis dan (2) pendekatan dengan menggunakan filsafat kritis.

 

            Dengan pendekatan filsafat historis (historiko filosofis), yaitu dengan cara mengadakan deteksi dari pertanyaan-pertanyaan filosofis yang diajukan, mana-mana yang telah mendapat jawaban dari para ahli filsafat sepanjang sejarah. Dalam sejarahnya filsafat telah berkembang dalam bentuk sistematika, jenis dan aliran-aliran filsafat yang tertentu. Oleh karana itu, kalau diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai masalah filosofis dalam bidang pendidikan, jawabannya melekat pada masing-masing sistem, jenis dan aliran-aliran filsafat tersebut. Dari sekian jawaban tersebut, kemudian dipilih jawaban mana yang sesuai dan dibutuhkan.

 

            Adapun cara pendekatan filsafat kritis, dimaksudkan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan diusahakan jawabannya secara filosofis pula, dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan filosofis. Selanjutnya Schofield, mengemukakan ada dua cara analisa pokok dalam pendekatan filsafat kritis, yaitu (1) analisa bahasa (linguistik) dan (2) analisa konsep. Analisa bahasa adalah usahauntuk mengadakan interprestasi yang menyangkut pendapat atau pendapat-pendapat mengenai makna yang dimiliknya. Sedangkan analisa konsep adalah suatu analisa mengenai istilah-istilah (kata-kata) yang mewakili gagasan atau konsep.)

 

2.      FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN

            Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tidak semua masalah kependidikan dapat dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah semata-mata. Banyak di antara-masalah-masalah kependidikan tersebut yang merupakan pertanyaan-pertanyaan filosofis, yang memerlukan pendekatan filosofis pula dalam pemecahannya. Analisa filsafat terhadap masalah-masalah kependidikan tersebut, dengan berbagai cara pendekatannya, akan dapat menghasilkan pandangan-pandangan tertentu mengenai masalah-masalah kependidikan tersebut, dan atas dasar itu bisa disusun secara sistematis teori-teori pendidikan. Di samping itu jawaban-jawaban yang telah dikemukakan oleh jenis aliran filsafat tertentu sepanjang sejarah terhadap problematika pendidikan yang dihadapinya, menunjukkan pandangan-pandangan tertentu, yang tentunya juga akan memeperkaya teori-teori pendidikan. Dengan demikian, terdapat hubungan fungsional antara filsafat dengan teori pendidikan.

            Hubungan fungsional antara filsafat dan teori pendidikan tersebut, secara lebih rinci dapat diuraikan sebagai berikut :

(1)   Filsafat, dalam arti analisa filsafat adalah merupakan salah satu pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidikan dalam memecahkan problematika pendidikan dan menyususn teori-teori pendidikannya, disamping menggunakan metode-metode ilmiah lainnya. Sementara itu dengan filsafat, sebagai pandangan tertentu terhadap suatu obyek misalnya filsafat idealisme, realisme, materialisme dan sebagainya, akan mewarnai pula pandangan ahli pendidikan tersebut dalam teori pendidikan yang dikembangkannya. Aliran filsafat tertentu akan mempengaruhi dan memberikan bentuk serta corak tertentu terhadap teori-teori pendidikan yang dikembangkan atas dasar aliran filsafat tersebut. Dengan kata lain, teori-teri dan pandangan-pandangan filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh seorang filosof, tentu berdasarkan dan bercorak serta diwarnai oelh pandangan dan aliran filsafat yang di anutnya.

(2)   Filsafat, juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah   dikembangkan oleh para ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu, mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata. Artinya mengarahkan agar teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, adalah bahwa setiap masyarakat hidup dengan pandangan dan filsafat hidupnya sendiri-sendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya, dan dengan sendiri akan menyangkut kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di sinilah letak fungsi filsafat dan filsafat pendidikan dalam memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga merefisi teori pendidikan tersebut. Yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup dari masyarakat.

(3)   Filsafat, termasuk juga filsafat pendidikan, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau paedagogik. Suatu praktek pendidikan yang di dasarkan dan diarahkan oleh suatu filsafat pendidikan tertentu, akan menghasilkan dan menimbulkan dan bentuk-bentuk dan gejala-gejala kependidikan yang tertentu pula. Hal ini merupakan data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk menganalisa dan memberikan arti dan terhadap data-data kependidikan tersebut, dan untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat disusun teori-teori pendidikan yang realistis dan selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (Paedagogik).

                

            Di samping hubungan fungsional tersebut, antara filsafat dan teori pendidikan, juga terdapat hubungan yang bersifat suplementer, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Saifullah dalam bukunya “Antara Filsafat dan Pendidikan”, sebagai berikut :

 

“Filsafat pendidikan sebagai suatu lapangan studi mengarahkan pusat perhatiannya dan memusatkan kegiatannya pada dua fungsi tugas normatif ilmiah, yaitu:

 

a.          Kegiatan merumuskan dasar-dasar, dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat hakikat manusia, serta konsepsi hakikat dan segi-segi pendidikan serta isi moral pendidikannya.

b.      Kegiatan merumuskan sistem atau teori pendidikan (science of education) yang meliputi politik pendidikan kepemimpinan pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peranan pendidikan dalam pemnagunan masyarakat dan negara.

         Definisi di atas merangkum dua cabang ilmu pendidikan yaitu, filsafat pendidikan dan sistem atau teori pendidikan dan hubungan antara keduanya adalah bahwa yang satu “supplemen” terhadap yang lain dan keduanya diperlukan oleh setiap guru sebagai pendidik dan bukan hanya sebagai pengajar bidang studi tertentu”13)

 

 

BAB III

 

Aliran-aliran dalam

Filsafat pendidikan

 

 

            Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau para filosof sepanjang kurun waktu dengan obyek permasalahan hidup di dunia, telah melahirkan berbagai macam pandangan. Pandangan-pandangan para filosof itu, ada kalanya satu dengan yang lain hanya bersifat saling kuat menguatkan, tetapi tidak jarang pula yang berbeda atau berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan terutama oleh pendekatan yang dipakai oleh mereka berbeda, walaupun untuk obyek permasalahannya sama. Karena perbedaan dalam sistem pendekatan itu, maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda pula, bahkan tidak sedikit yang saling berlawanan. Selain itu faktor zaman dana pandangan hidup yang melatar belakangi mereka, serta tempat di mana mereka bermukin juga ikut mewarnai pemikiran mereka.

            Menyimak kembali sejarah pertumbuhan dan perkembangan filsafat sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab pertama, akan menjadi jelas adanya perbedaan tersebut di atas. Begitu pula halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pandangan atau aliran. Karena pemikiran filsafat tidak pernah mandeg, maka keputusan atau kesimpulan yang diperolehpun tidak pernah merupakan kesimpulan final. Oleh sebab itu, dunia percaturan filsafat - termasuk di dalamnya filsafat pendidikan – sering kali hanya berkisar pada permasalahan yang itu-itu  juga, baik sebagai suatu bentuk persetujuan ataupun penolakan terhadap kesimpulan yang ada. Muhammad Noorsyam melukiskan keadaan dunia pemikiran filsafat itu, sebagai berikut: “Bagaimanapun wujud reaksi, aksi, cita-cita, kreasi bahkan pemahaman manusia atas segala sesuatu temasuk kepribadian ideal mereka, tersimpul di dalam pokok-pokok ajaran suatu filsafat. Pengertian masing-masing pribadi tentang suatu kesimpulan sebagai belum final, belum valid, tidak mutlak dan sebagainya, memberi kebebasan pada setiap orang untuk menganut atau menolak suatu aliran. Sikap demikian justru menjadi prakondisi bagi perkembangan aliran-aliran filsafat. Sikap ini dikenal dalam filsafat dengan istilah electic atau eclecticism”14)

            Untuk mengenal perkembangan pemikiran dunia filsafat pendidikan, di bawah ini akan diuraikan garis-garis besar aliran-aliran filsafat dalam pendidikan, yaitu :

1.      Aliran Progressivisme

2.      Aliran Esensialisme

3.      Aliran Perenialisme

4.      Aliran Rekonstruksionalisme

5.      Aliran Eksistensialisme

1.      ALIRAN PROGRESSIVISME

 

Aliran progressivisme adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke 20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progressivisme ini.

Biasanya aliran progressivisme ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal – “The liberal road to culture”.15  Yang dimaksudkan dengan ini ialah pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terkait oleh suatu doktrin tertentu), curious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan open-minded (mempunyai hati terbuka).

 

Sifat-sifat aliran progressivisme

 

            Sifat-sifat umum aliran progressivisme dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok: (a) sifat-sifat negatif, dan (b) sifat-sifat positif.

            Sifat itu dikatakan negatif dalam arti bahwa, progressivisme menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk, seperti misalnya terdapat dalam agama, politik, etika dan epistemologi. Positif  dalam arti, bahwa progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan manusia untuk terus-menerus melawan dan mengatasi kekuatan-kekuatan, takhayul-takhayul dan kegawatan-kegawatan yang timbul dari lingkungan hidup yang selamanya mengancam.

            Istilah filsafat yang biasanya dipakai untuk menggambarkan pandangan hidup yang demikian disebut pragmatisme. Dalam lapangan pendidikan lebih lazim dipakai istilah-istilah “instrumentalisme” dan “experimentalisme”. Dalam arti terbatas pragmatisme adalah suatu teori pikir. Menurut John Dewey pragmatisme ialah : “the rule of referring all thinking..............................to consequences for final meaning and test”,16) Untuk mengetahui apakah pikir itu benar, perlu dilihat hasil pikiran itu. Jika pikiran itu berhasil, mmepunyai arti bagi si pemikir, maka pikiran itu benar. Ini berarti pragmatisme, dipakai dalam arti yang lebih luas, menurut Dewey. Akan tetapi lazim juga istilah pragmatisme yaitu meliputi sekelompok keyakinan-keyakinan filsafat mengenai alam dan manusia.

            Progressivisme yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk mengendalikan hubungannya dengan alam. Akan tetapi di samping keyakinan-keyakinan ini ada juga kesangsian. Dapatkah manusia menggunakan kecakapnnya dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam, juga dalam ilmu pengetahuan sosial? Dalam masyarakat manusia? Pragmatisme (dan progressivisme) yakin bahwa manusia mempunyai kesanggupan itu, akan tetapi apakah manusia dapat belajar bagaimana mempergunakan kesanggupan itu dalam hal ini, di sini timbul sedikit kesangsian. Tetapi, meskipun demikian progressivisme tetap bersikap optimis, tetap percaya bahwa manusia dapat menguasai selutuh lingkungannya, lingkungan alam dan lingkungan sosial.

            Maka tugas pendidikan menurut pragmetisme, ialah meneliti sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia itu dan menguji maksud di sini ialah, bahwa manusia hendaknya memperkerjakan ide-ide atau pikiran-pikirannya. Manusia tidak hendaknya berpikir untuk berbuat. Pragmatisme menolak “pure intekkectualisme”. Bagi pragmatisme, jiwa dan pikiran manusia dipakai menghadapi tugas hidup yang maha besar. Pragmatisme menolak pendapat, bahwa maunusi itu tidak berdaya; bahwa manusia hanya dapat menyerah saja kepada kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Pragmatisme berpendapat, bahwa pendidikan adalah alat kebudayaan yang paling baik. Bahwa dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menjadi “the master, not the slaves. of social as well as other kinds of natural change”.17)

 

Perkembangan aliran progressivisme

 

            Meskipun pragmatisme-progressivisme sebagai aliran pikiran baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke 19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh ke belakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Heraclitus (+ 544-484), Socrates (469-399), Protagoras (480 – 410), dan Aristoteles mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut menyebabkan terjadinya sikap jiwa yang disebut pragmatisme-progressivisme. Heraclitus mengemukakan, bahwa sifat yang terutama dari realita ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asas perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epistemologi dengan axiologi. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan (perbuatan yang baik). Ia percaya bahwa manusia sanggup melakukan yang baik. Protagoras seorang sophis, mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai (value) tidak bersifat mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung kepada waktu dan tempat. Aristoteles menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah bukan jalan ekstrim) dalam kehidupan.

            Dalam asas modern – sejak abad ke-16 – Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan Hegel dapat disebut sebagai penyumbang-penyumbang pikiran dalam proses terjadinya aliran pragmatisme-progressivisme. Francis Bacon memberikan sumbangan dengan usahanya untuk memperbaiki dan memperhalus metode experimentil (metode ilmiah dalam pengetahuan alam). Locke dengan ajarannya kebebasan politik. Rousseau manusia lahir sebagai makhluk yang baik. Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia, memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan, bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada hentinya.

            Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh pragmatisme terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson  memberikan sumbangan pada pragmatisme karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan tentang teori tentang pikiran dan hal berpikir  :  pikiran itu hanya berguna atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu “bekerja” yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Funsi berpikir tidak lain dari masa membiasakan manusia untuk berbuat. Perasan dan gerak manusia (perbuatan) adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia dan kedua hal itu tak dapat dipisahkan dari kegiataan intelek (berpikir). Jika dipisahkan, perasaan dan perbuatan menjadi abstrak dan dapat menyesatkan manusia. Tokoh pragmatisme yang lebih terkenal ialah Willam James dan John Dewey.

 

Keyakinan-keyakinan progressivisme tentang pendidikan

 

            Istilah progressivisme dalam bagian ini akan dipakai dalam hubungannya dengan pendidikan, dan menunjukkan sekelompok keyakinan-keyakinan yang tersusun secara harmonis dan sistematis dalam hal mendidik. Keyakinan-keyakinan mana didasarkan pada sekelompok keyakinan-keyakinan filsafat yang lazim disebut orang pragmatisme, instrumentalisme dan eksperimentalisme.

            Perlu diketahui bahwa pragmatisme sebagai filsafat dan progressivisme sebagai pendidikan erat sekali hubungannya dengan kepercayaan yang sangat luas dari John Dewey dalam lapangan pendidikan. Hal ini dengan jelas dapat ditelusuri lewat bukunya, Democracy And Education. Dalam bukunya inilah Dewey memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasan-wawasannya tentang pendidikan, serta mempraktekkannya di sekolah-sekolah yang ia dirikan. Menurut Dewey tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang-bidang studi, seperti, IPA, sejarah, keterampilan, serta hal-hal yang berguna atau langsung dirasakan oleh masyarakat. Metode scientific lebih dipentingkan, dan bukan metode memorisasi seperti pada aliran esensialisme. Praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun (lapangan) merupakan kegiatan yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya “learning by doing”. Progressivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan secara terpisah, melainkan harus diusahakan terintgrasi dalam unit. Karena perubahan yang selalu terjadi maka diperlukan fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku, tidak menghindar dari perubahan, tidak terikat oleh doktrin tertentu, bersifat ingin tahu, toleran, dan berpandangan luas serta terbuka.

 

2.      ALIRAN ESENSIALISME

 

Esensialisme muncul pada zaman Reanissans, dengan ciri-ciri utamanya yang berbeda dengan progessivisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan dasar berpijak mengenai pendidikan yang penuh fleksebilitas, di mana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterikatan dengan doktrin tertentu. Bagi esensialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah. Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.

Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pasa keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan realisme. Imam Barnadid (1981), menyebutkan beberapa tokoh utama yang berperan dalam penyebaran aliran esensialisme, yaitu:

 

- Desiderius Erasmus, humanis belanda yang hidup pada abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.

-  Johann Amos Comenius yang hidup diseputar tahun 2592-1670, adalah seorang yang memiliki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.

-  John Locke, tokoh dari inggris yang hidup pada tahun 1632-1704, sebagai pemikir dunia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.

-  Johnn Henrich Pestalozzi, sebagai seorang tokoh yang berpandangan naturalistis yng hidup pad tahun 1746-1827. pestalozzi mempunyai keparcayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya.selain itu ia mempunayi keyakinan bahwa manusia juga mempunyai hubungan transendental langsung denga Tuhan.

-  Johnn Frienderich Frobel (1782 – 1852) sebagai tokoh yang berpandangan kosmis-sintstis dengan keyakinannya bahwa manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan Frobel memandang anak sebagai mahkluk yang berekspresi kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas pendidikan adalah memimpin anak didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.

-  Johnn Friederich Herbert yang hidup pada tahun 1776-1841, sebagai salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis, Herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai ‘pengjaran yang mendidik’.

-  William T. Harris, tokoh dari amerika serikat hidup pada tahun 1835-1909. Harris yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spritual. Kedudukan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.

 

Dalam rangka mempertahankan pahamnya itu, khususnya dari persaingan dengan paham progressivisme, tokoh-tokoh esensialisme memdirikan suatu organisasi yang bernama  ‘Essentialist Committee for the Advancement of Education’ pada tahun 1930. Melalui organisasinya inilah pandangan-pandangan esensialisme dikembangkan dalam dunia pendidikan. Sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa esensialisme mempunyai pandangan yang dipengaruhi oleh paham idealisme dan realisme, maka konsep-konsepnya tentang pendidikan sedikit banyak ikut diwarnai oleh konsep-konsep idealisme dan realisme.

Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggrakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada dimasyarakat.

 

 

3. ALIRAN PERENNIALISME

            Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “Lasting for a very long time” – abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu’ aliran perennialisme mengandumg kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.

            Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah nmenimbulkan banyak kritis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi kritis ini perennialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regressive road to culture. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah terpuji ketangguhannya. Sikap kembali pada masa lampau bukanlah berarti nostalgia – sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi abad silam yang juga diperlukan dalam kehidupan abad modern.

            Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang berkiblat dua, yaitu (a) perennialisme yang theologis – bermaung di bawah supremasi gereja Katolik, dengan orientasi pada ajran dan tafsir Thomas Aquinas – dan (b) perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.

 

Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme

            Di bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya: Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi daripada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah “membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan.

            Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.

            Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, tujuan pendidikan yang dimaui oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “Usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar – memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.

            Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme tersebut perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.

 

4. ALIRAN REKONSTRUKSIONALISME

            Pada dasarnya aliran rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran perennialisme dalam hendak mengatasi kritis kehidupan modern. Hanya saja jalan yang ditempuhnya berada dengan apa yang dipakai oleh perennilalisme, tetapi sesuai dengan istilah yang dikandugnya, yaitu berusaha membina suatu konsesus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia – restore to the original form.

            Untuk mencapai tujuan itu, rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatn semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan, rekonstruksionalisme ingin “merombak tata susunan lama, dan membangun tata susuanan hidup kebudayaan yang sama sekali baru” Di sini nampak ada kesamaan dengan Dewey dalam “education as recontruction”.

            Dalam rangka menwujudkan cita-cita pendidikan yang dimaksud di atas, diperlukan adanya kerja sama semua bangsa-bangsa. Para penganut aliran rekonstruksionalisme berkeyakinan bahwa bangsa-bangsa di dunia mempunyai hasrat yang sama untuk menciptakan satu dunia baru, dengan satu kebudayaan baru di bawah satu kedaulatan dunia, dalam pengawasan mayoritas umat manusia. Barangkali pikiran-pikiran rekonstruksionalisme inilah yang kemudian menjiwai pandangan pemuka-pemuka dunia, seperti yang terumuskan dalam North – south: A Program For Survivat (The Report of the Independent Commission on International Development Issues under the Chairmanship of Willy Brandit – Dialog Utara Selatan komisi Willy Brandit dalam rangka menciptakan kelestarian dunia) dan No limits to Learning: Bridging The Human Gap (A Report to the Club of Rome-Diskusi kelompok Roma dalam rangka menaggulangi kesenjangan yang melanda kehidupan umat manusia dewasa ini).

           

5. ALIRAN EKSTENSIALISME   

            Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia ke dua. Dengan demikian eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.

            Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu : “filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagi tema sentral. Maka, di sini letak kesulitan merumuskan pengertian eksistensialisme-sebagai aliran filsafat. Bahkan para filosof eksistensialis sendiri tidak memperoleh rumusan yang sama tentang eksistensialisme itu perdevinisi.

            Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiyah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang dialami, dantidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.

            Atas dasar pandangan itu, sikap di kalangan kaum eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasab untuk freedom to. Adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.

            Pandangan tentang pendidikan, disimpilkan oleh Van Cleave Morris dalam Existensialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk”. Oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaiman konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai “eksistensialism’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme. Di sini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

      

Related Posts :

0 Response to "ANALISA FILSAFAT dan TEORI PENDIDIKAN ISLAM"

Post a Comment

Komentarnya ya...